44: Final Payback

1.9K 77 2
                                    

"Meong!" teriak Metsuki, tiba-tiba melompat dari gendongan Rira. "Meong!"

Kucing kurus bermata besar itu berlari secepat kilat meninggalkan ruang galeri, melintasi ruang tengah kantor pusat, dan berhenti di depan sebuah dinding kayu polos di sebelah kiri ruangan, satu-satunya dinding yang tidak dihiasi apa-apa di ruangan itu. Metsuki meregangkan badannya dan mulai mencakari dinding, hidungnya mengendus-ngendus dengan curiga.

Rira menghampirinya, ikut mengetuk-ngetuk dinding kayu yang keriput dan hitam. Terdengar gema dari balik dinding. Ada semacam rongga di balik dinding ini—mungkin sebuah ruangan lain.

"Meong," Metsuki bertanya pelan, yang artinya "kenapa Tuan ikut-ikutan?"

"Dia di sini," kata Rira. Setengah menggumam, setengah berteriak memanggil teman-temannya. "Pasti sebelumnya ada pintu di sini."

Teman-temannya berdatangan menghampirinya. Dari wajah-wajah mereka, hanya Genma yang kelihatannya tidak terlalu terkejut. "Memang ada di sana. Aku melihatnya sendiri. Orang itu memasukkan Sakura ke...." Perkataannya menggantung di udara. Diketuknya dinding kayu tersebut dengan tidak yakin. "Sakura?" panggilnya.

Genma menempelkan telinganya ke permukaan dinding, berusaha menangkap setiap suara yang terdengar dari baliknya. Beberapa saat kemudian, ia menegakkan tubuhnya kembali dan beralih pada teman-temannya. "Setelah Sakura dan monster itu masuk ke dalam," ia terdiam sejenak, berusaha mengingat-ingat. "Ada orang lain yang masuk ke sana. Seorang elf. Dan saat aku kembali, pintunya tidak ada."

"Itu sihir," celetuk Ayumi tiba-tiba. "Ada yang menghilangkan pintu ini, padahal sebenarnya pintunya masih ada," jelasnya. "Dan menutupinya dengan dinding kayu biasa. Itu salah satu jenis ilusi. Sihir sederhana."

"Kalau begitu, kau tinggal meraba-raba di mana kenop pintunya," potong Tabitha dengan bersemangat. Dilihatnya Ayumi menggeleng-geleng kecewa.

"Ilusi memengaruhi semua indra, Tabitha. Maaf."

Tabitha tertegun beberapa saat sebelum memahami maksud Ayumi. Apabila suatu benda diselimuti sihir, siapapun tidak bisa melihat atau menyentuhnya. Kalau ia mencoba mencari-cari kenop pintunya dengan meraba-raba sekalipun, ia hanya akan menemukan dinding kayu biasa, seolah-olah tidak pernah ada pintu di sana. Semangatnya pun menguap. "Ada ide lain?"

Mereka bertukar pandang satu sama lain. Higina, yang sedari tadi masih memikirkan seraut wajah mungil berekspresi memelas, berkulit sepucat pualam yang selalu membuatnya merinding setiap malam, tiba-tiba berkata.

"Kau bisa menangani yang satu ini, Ayumi. Ini, 'kan, hanya ilusi. Mengerti maksudku?"

***

"Lihat," kata Sakura, berusaha agar suaranya terdengar setegar mungkin. "Kami bukan petinggi kecil yang sok." Meskipun terkadang aku memang sok, tambah Sakura dalam hati. Terkadang aku memang gadis kecil yang sombong. Umurku baru 126—setara dengan 180 atau 170 tahun bagi perhitungan umur di dunia elemen, karena 6 tahunku dihabiskan di bumi—

"Kau gadis cantik yang sadis," tampik Ælfric, matanya menelusuri lekuk-lekuk tubuh Sakura dari atas sampai bawah. Sakura mundur beberapa langkah, dan tiba-tiba merasa tidak nyaman dalam balutan pakaian elf pemberian Salvatrix yang sekarang berlumuran darah. Mungkin setelah ini ia harus ganti baju. "Terlalu cantik sebagai seorang pengendali, malah. Lebih cocok dipajang bersama boneka-boneka yang lain sebagai pengganti Arashi-ku yang hilang."

"Sinting!" teriak Sakura keras-keras. Suaranya memantul-mantul di dinding koridor, menimbulkan gema panjang berulang-ulang. "Kau bajingan sinting yang memutarbalikkan otak semua rakyatku, iya, 'kan? Mengirimkan musik penghipnotis, pertunjukan boneka, menghalangi jalan kami dengan menumbangkan pohon dan membunuh anak-anak yang bermain di bawahnya... dan... dan... dan mengambil perempuan dengan imbalan fasilitas mewah!" Diteriakinya pria itu bertubi-tubi, untuk sekian kalinya dalam hari ini kehilangan kontrol atas emosinya. Sakura terkesiap mendengar perkataannya sendiri. Monster itu melakukan semuanya, pikirnya. Dia melakukan semuanya ditambah membunuh Paschalis. Dia pantas mati.

ElementbenderWhere stories live. Discover now