1.3: Ame Matsuzaki

4.7K 254 10
                                    

2 bulan kemudian

"Jadi," wanita berkacamata merah marun itu memulai. "Siapa namamu... lagi?"

"Ame Matsuzaki," jawabnya tenang.

"Itu namamu yang sebenarnya? Apa kau merasa bahwa itu namamu yang asli?"

"Tentu saja iya," pemuda yang kurang lebih berumur 16 tahun tersebut menjawab lugas. "Karena Aya-nee yang memberikannya padaku, jadi itu.... nama resmiku sejak sekarang."

"Hmm," wanita itu, yang rambut cokelatnya diikat dan digulung ke atas, berpikir sebentar. "Apa kau merasa memiliki nama lain sebelum itu?"

"Mungkin sebelumnya aku tidak dipanggil apa-apa."

Helen, psikiater berusia 30 tahun ini harus memutar otak sebelum menanyakan Ame hal selanjutnya. Menurut diagnosanya, anak muda ini mengalami semacam hilang ingatan yang membuatnya seolah-olah tidak pernah dilahirkan di Bumi. Misalnya, tidak mengetahui tangga eskalator, mobil, bahkan bahasa slang sehari-hari. Dalam kata lain; hilang ingatan total.

Aneh. Segala hal tentang anak ini benar-benar aneh.

Helen sudah membaca berita tentang dia di koran—terutama tentang luka-luka yang diterima anak itu. Pukulan benda tumpul di kepala, bekas luka di sejumlah tempat di dada, leher, dan dua luka "sobek" di punggung. Orang macam apa yang (meskipun gagal) membunuh seorang anak laki-laki dengan melukai punggungnya? Dan orang macam apa seperti Ame Matsuzaki ini yang tidak mati setelah mengalami pendarahan cukup lama?

"Dokter? Dokter?"

"Ah, iya," Helen kembali ke dunia nyata. Dihempaskannya bahunya yang tegang ke sandaran kursi. Bahkan dengan segala dekorasi ruangan bergaya Inggris tahun 80-an di ruang terapinya, ia masih... merinding setiap menangani laki-laki misterius ini.

Helen adalah pendiri sekaligus pengelola rumah terapi di pinggiran Fukui ini. Therapy and Personal Treatment: by Helen Fagworth. Berawal dari karirnya sebagai psikiater dan ahli terapi, wanita itu merantau ke Jepang demi penghidupan yang lebih baik. Oxford memang menjanjikan, ya—sejumlah rumah sakit dan universitas memanggilnya untuk bekerja atau memberikan pengarahan kepada para mahasiswa psikologi. Hal-hal membosankan seperti itu. Di Fukui, setidaknya ia mendapat atmosfer baru, orang-orang baru, pengalaman baru, dan nuansa ketimuran yang awalnya tidak pernah terbersit di otaknya. Meskipun di sini ia harus bekerja juga.

Ame adalah salah satu pasiennya yang paling keras kepala. Seminggu lalu, anak itu menjalani terapi dan hasilnya malah mimpi buruk. Kasihan sekali.

"Bagaimana soal mimpinya?" tanya Ame, buru-buru menegakkan punggung dari sandaran kursi panjang. Rambut teal anehnya bergerak-gerak mengikuti perpindahan tubuhnya. "Jadi begini. Aku mendengar suara wanita menangis setiap malam dan—"

"Ame, dengar," potong Helen tegas. Ia tidak ingin dipusingkan oleh hal lain untuk sekarang. "Kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya, dan dua minggu sebelumnya. Aku di sini untuk membantumu mengingat keluargamu. Lupakan mimpi burukmu dan belajarlah berdoa sebelum tidur."

Ame mengerutkan kening. Selama beberapa saat wajahnya berubah cemberut, seperti tirai yang menutup. Ketika tirai tersebut terbuka, Ame kembali memandangnya. Kali ini dengan senyum mengejek... yang sangat-bukan-Ame. "Hei, kau, 'kan psikiater. Seharusnya kau bisa menangani yang itu juga."

"E-eh..."

"Haruna-san," Aya, perempuan yang membawa Ame ke sini, muncul dari balik pintu. Wanita itu selalu salah menyebut "Helen" menjadi "Haruna". Atau "Heruna", kadang-kadang. "Sesi hari ini sudah selesai, 'kan? Boleh Ame pulang?"

Ame memandangnya dengan tatapan seolah ia baru saja menang lotre.

"Ya, ya, silahkan saja. Silahkan pergi."

Aya masuk ke dalam ruangan dan menepuk bahu Ame pelan. Keduanya berjalan meninggalkan ruang praktek.

Helen tidak akan main-main terhadap anak satu ini.

ElementbenderWhere stories live. Discover now