25.2: Soldiers Mobilized

2.4K 114 0
                                    

Sementara itu, Takumi sedang melamun setengah tertidur di dalam bangunan tua, menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia tidak memedulikan celana pantalonnya yang penuh debu berminyak. Pikirannya terpecah ke mana-mana. Bagaimana nasib para pengendali elemen yang dibawa pergi, jalan mana yang harus ia—atau mereka—tuju, dan yang paling penting: di mana ia bisa mendapatkan makanan. Tabitha pasti juga terlalu lemas untuk bangun, jadi mereka butuh sesuatu untuk mengisi perut. Yang tidak beracun, tentunya.

Metsuki mencakar-cakar dan mengendus-endus gaun Tabitha yang tidak lagi tertutup jubah hijau, kemudian mengeong bingung. Diletakkannya satu cakarnya ke atas pipi Tabitha sambil menatap Takumi erat-erat. Mata bulat polosnya terlihat begitu mengiba.

“Tidak boleh, Metsuki. Jangan.” Nah, dari yang ia dengar, nama kucing ini memang Metsuki. Disingkirkannya cakar Metsuki dari pipi Tabitha, tetapi kucing itu langsung menaruh cakar satunya ke pipi yang sama. “Oke, oke. Kau mau apa?”

Metsuki mengeong. Ditekankannya cakarnya lebih kuat dan—

“Aduh!”

Tabitha terbangun.

***

“Apa yang kau punya, Genma?” teriak Sakura dari seberang ruangan, menghadapi tiga lawan seorang diri. Berkali-kali dia harus naik ke atas meja-kursi untuk menghindari pisau yang beterbangan. Cambuk misterius sudah ada di tangan.

“Dua benda aneh dan satu masalah besar,” balas Genma. Penyerangan mendadak ini terlalu janggal untuk disebut sebuah penyerangan mendadak, karena orang-orang kerdil berjubah cokelat yang dibekali banyak pisau ini kelihatannya ahli dalam lempar-melempar barang-barang tajam. Di satu sisi, orang-orang kerdil ini menyerang mereka dengan asal-asalan. Rasanya lebih mirip pengalihan perhatian daripada penyerangan.

Sakura hanya mendengar setengah perkataan Genma sebelum sebuah pisau berhasil menggores kulitnya. Gadis itu menggenggam cambuknya erat-erat—dia hanya perlu menunggu waktu yang tepat.

Sang pemuda api mengayunkan pedangnya dengan lihai. Tiga orang berjubah mengelilinginya, menggodanya dengan pisau di tangan. Salah satu dari mereka menghindari ayunan pedang Genma dengan mudah, tetapi dua temannya—akibat menghindar terlalu keras—terpelanting ke atas meja. Orang-orang berjubah cokelat itu bangkit, kemudian kembali menyerang; hanya saja kali ini lebih wapada.

Ayumi menemukan satu hal; senar pada busur biola yang dibawanya berubah menjadi bilah pisau kapanpun ia butuh. Setiap Ayumi menyatukan busur tersebut kepada biolanya, senar tersebut kembali seperti semula. Ia bisa dengan mudah melukai orang-orang kerdil yang harus ia hadapi dan membuat mereka lebih mudah disingkirkan.

Rira menemukan hal lain; ia melempar emblem peraknya dan seketika, emblem tersebut berubah menjadi shuriken raksasa. Shuriken tersebut tepat mengenai seorang kerdil yang akan melempar sebuah pisau lagi ke arahnya. Leher orang kerdil itu putus; sementara tubuh kecilnya ambruk ke lantai.

Genma, Ayumi dan Sakura terbelalak. Terutama ketika tubuh tanpa badan itu berubah menjadi patung batu.

“Kita selesaikan mereka, kemudian susul Higina,” kata Rira datar. Dilemparkannya shuriken tersebut sekali lagi, memenggal seorang kerdil lainnya. “Setelah itu, cari jalan keluar.”

Ketiga temannya mengangguk. Mereka sadar bahwa taktik kabur terkadang tidak berhasil.

Mereka punya cambuk, sepasang pedang, satu biola pembunuh, dan satu shuriken ternoda darah. Saat-saat para pengendali elemen sebagai dewa-dewi sempurna yang bermanja-manja di tempat tinggal mewah sudah lenyap.

ElementbenderWhere stories live. Discover now