7.2: A (Not-So) Light Conversation

3.1K 157 0
                                    

"Aku tidak yakin kita akan makan ini."

Keenam pengendali elemen—atau sekarang, remaja biasa—mengitari konter meja makan di mana Sakura dan Genma menghidangkan makanan mereka malam ini.

Tabitha bertanya skeptis. "Benda bundar apa ini?"

"Hadiah dari Shino-sama karena aku bekerja cepat hari ini," jelas Sakura dengan nada bangga. "Genma yang membakar—ehh, menghangatkannya di kotak elektronik itu dan aku membantu. Apabila kalian tidak mau, ya buatku saja," gadis berambut emas itu mengambil seiris bagian dari makanan tersebut dan menggigitnya. "Mmh. Namawa mwiwya (namanya pizza)," katanya lagi, kali ini dalam keadaan mulut mengunyah. Higina melotot padanya.

"Makan sambil bicara itu tidak baik, tahu."

"Memarahi orang yang sedang makan itu tidak baik, tahu," balas Sakura sengit—setelah menelan makanan di mulutnya. Higina menghela napas putus asa.

Ayumi memungut kotak kardus tipis yang awalnya menutupi makanan tersebut sebelum dihangatkan. "Ini pizza. Sakura bekerja di toko pizza, 'kan?"

"Apa itu pizza?" tanya Tabitha yang—ia yakin—tidak akan dijawab siapa-siapa. Ia mengambil seiris pizza dari kotak dan melihat bagian bawah rotinya. "Gosong. Kau pasti membakar benda ini daripada menghangatkannya."

"Microwave tidak bisa membakar makanan, Tabitha," bantah Rira datar.

Rira adalah satu-satunya pengendali elemen yang, mungkin, masih mengikuti perkembangan peradaban manusia dari hari ketika ia dibawa ke dunia elemen hingga sekarang. Kastilnya lebih mirip perpustakaan raksasa dengan triliunan koleksi buku yang—entah bagaimana—berubah dari dekade ke dekade, bersamaan dengan berkembangnya teknologi manusia. Dengan itulah ia mengembangkan beberapa teknologi yang kemudian diterapkan di dunia elemen, dengan catatan teknologi tersebut tidak akan membahayakan hidup makhluk di dalamnya.

Tabitha mengerutkan kening. "Tapi pasti bisa membuat gosong."

"Hei, aku juga tidak tahu harus diapakan." Genma mengangkat bahu. "Makan saja."

Mereka tidak bicara apa-apa selama beberapa menit hingga dua lingkaran pizza ukuran besar itu akhirnya habis. Rasanya tidak terlalu buruk juga. Ayumi beranjak dari kursinya, mengambil enam gelas kaca dari rak perabotan makan, dan berjalan ke mesin dispenser. Yang ia tahu, benda itu bisa menghasilkan air minum.

"Jadi... bagaimana tentang pencarian hari ini?" tanya Sakura, ketika Ayumi mengisi air pada gelas pertama; sementara gelas yang lain ditaruh di atas nampan. "Ada kemajuan tentang pencarian sang pangeran?"

Gadis pengendali ilusi itu tercekat; nyaris menjatuhkan gelasnya.

"Tidak—belum," jawab Higina. "Tahu, 'kan. Sudah kupelototi wajah setiap manusia yang kulihat, tapi tidak ada yang mirip Pangeran Takumi. Apa harus kutanya manusia sekitar sini?"

Sisanya melirik satu sama lain.

"Ya, kalau mau terlihat konyol," komentar Sakura sinis. "Bayangkan saja. 'Permisi, apa ada yang melihat pangeran kami di sekitar sini? Kami mencarinya dan dia harus pulang'. Nah, menurutmu bagaimana?"

"Tidak. Maksudku begini—Pangeran Takumi punya sayap. Manusia tidak. Seharusnya itu masalah untuknya."

Ada keheningan sejenak ketika Ayumi menaruh nampan berisi enam gelas air putih di atas meja konter. Tabitha berpikir. "Kalau Pangeran Takumi benar-benar ada di dunia manusia, dia pasti menyembunyikan atributnya atau apalah, seperti... memotong sayapnya."

Ayumi terkejut; tidak bisa menyembunyikan wajah pucat pasinya lebih lama lagi, dan menaruh gelas terakhir ke meja hingga menimbulkan suara berdenting keras. Semua yang ada di sana menoleh. Gadis itu kemudian menutup wajahnya dengan tangan dan—

menangis lagi.

Mula-mula, bayangan tubuhnya di lantai bergerak-gerak—bayangan hitam dari lampu apartemen yang terlalu terang itu memudar dan memekat, menampilkan sosok Ayumi menangis di pinggir konter dengan lebih intens. Bayangan orang-orang dan perabotan di sekitarnya pun berubah: menjadi benda-benda aneh, monster, anak kecil, simbol-simbol dalam bahasa asing...

Sakura yang pertama kali menyadari hal itu, tanpa sadar berkata, "Ayumi?"

Ayumi bahkan belum menyadari perubahan keadaan di sekelilingnya bersamaan dengan berubahnya kondisi pikiran yang ia alami. Seakan bayang-bayang gelap di bawah kaki mereka mulai mengambil bentuk lain itu belum cukup, kelima temannya mulai menatap dinding-dinding apartemen sebagai ruangan kaleidoskop yang memantulkan bayangan orang-orang di dalamnya beberapa kali—memusingkan. Halusinasi. Dunia berputar-putar, pelangi di mana-mana...

"Ayumi!" teriak kelima orang tersebut panik. Halusinasi-halusinasi itu terpecah—Ayumi sudah kembali seperti sedia kala.

"A-apa?"

Yang lain hanya bertukar pandang dengan bingung. Mereka semua tahu bahwa Ayumi mudah sekali menangis, dan saat itu terjadi, dia harus dijauhi; kecuali kalau Ayumi bisa mengontrol emosinya. Kalau tidak....

Sakura yang setelah itu berbicara.

"Ayumi."

"I-iya, Sakura?"

"Apa-apaan kau tadi?"

Kalimat terakhir diucapkan dengan penekanan berkesan menuduh di setiap katanya. Terutama karena Sakura yang mengucapkannya. Setitik keringat muncul di pelipis sang gadis ilusi, mengalir ke matanya, bersatu dengan butiran-butiran air mata yang sudah ada. Gadis itu benar-benar menangis.

"A-aku hanya—"

"Kau bereaksi ketika kami membicarakan sang pangeran. Ada apa? Tahu sesuatu tentang Pangeran?" tanya Tabitha penuh selidik.

Ayumi tersudut. Ia harus berbicara sesuatu atau para pengendali ini akan menanyainya terus-terusan.

"... atau malah bertemu dengannya?" tanya Higina tajam.

Andaikan hidup adalah permainan catur, gadis itu sudah skakmat.

Tidak boleh berbohong. Tidak boleh berbohong. Ayumi.... Tidak boleh berbohong.

Ada keheningan janggal sesudah itu. Ayumi masih tetap berkutat dengan hatinya; harus memberitahu soal Pangeran atau tutup mulut. Ia takut teman-temannya kecewa ketika mengetahui Pangeran bahkan bersikap seolah-olah tidak mengenalnya. Apa orang di kafe itu benar-benar Pangeran Takumi atau bukan?

"Ya... sebenarnya, bisa dibilang... hampir—ah. Aku sendiri tidak tahu..." ujar Ayumi akhirnya. Suaranya nyaris berupa bisikan. "Di kafe, ada seseorang bertudung yang wajahnya persis seperti Pangeran Takumi!" Ia menahan napas. Kelima remaja tersebut terperanjat. "Tapi dia tidak... tidak..." Air matanya mengalir lagi, sementara Ayumi menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan. "Dia tidak...."

"Dia tidak mengenalmu," sambung Rira cepat.

Ayumi sudah malas membicarakannya.

"Bukannya—" Higina menggeleng-geleng, menggantungkan kalimatnya di udara. "Ayumi, kau pasti salah lihat. Pangeran yang kita cari pasti mengenal kita. Tidak mungkin tidak."

"Jadi itu sebabnya—" gumam Sakura, yang langsung dipotong Ayumi.

"Ciri-ciri Pangeran Takumi... matanya, tanda lahirnya, warna rambutnya, karakteristik wajahnya..." Ayumi menunduk. "Semuanya ada di laki-laki itu. Yang kurang hanya ingatannya, Higina. Aku sendiri masih tidak tahu harus berbuat apa," lanjutnya pelan.

Genma berpikir sejenak. "Apa sayapnya juga masih ada?"

ElementbenderWhere stories live. Discover now