27.1: A Little Snack

2.2K 108 1
                                    

Rira menghela napas lambat, berat. Dia mulai terlihat konyol. Apa-apaan ini—membeli makanan tanpa memakai penyamaran? Bahkan untuka menutup sayapnya pun tidak bisa. Pemuda itu terpaksa melipat sayapnya sebisa mungkin; berharap siapapun yang nanti dihadapinya tidak melihat sayap tersebut. Atau tidak pingsan.

Bayangkan saja. Ia lebih terlihat sebagai kerangka berjalan daripada seorang pemuda, meskipun bukan dalam arti sangat kurus.

Sayap—bagi siapapun yang memiliki sayap—adalah lambang kemuliaan di dunia elemen. Seperti yang pernah Yuki ceritakan kepadanya. Sewaktu Rira terjerembab dari tebing tempat Charonte berdiri, sayap kirinya terluka parah; bulu-bulu hitam tercerabut dari dagingnya. Beberapa saat kemudian, sayap kirinya dipotong. Rira akan divonis sebagai satu-satunya pengendali elemen yang tidak bisa terbang, sebelum keajaiban terjadi.

Tunas sayap baru tumbuh di tempat sayap kirinya sebelumnya berada. Hanya tunas. Rangkaian-rangkaian tulang sayap tanpa daging maupun bulu sedikit pun—mirip ranting pohon mati. Sayap tulang barunya bisa digerakkan seperti sayap asli, dan di luar perkiraan semua orang—bisa digunakan terbang sebagaimana sayap asli. Konyol, memang. Lebih konyol lagi mengingat Rira baru 10 tahun berada di Charonte (dan baru menua setahun semenjak ia dibawa ke dunia elemen) ketika semua hal itu terjadi.

Dan beginilah jadinya. Yuki menyebutnya Rira, si Rira bersayap aneh yang malang.

Rira tertawa pelan. Suaranya yang serak karena kurang minum dan berat karena jarang digunakan membuatnya terdengar aneh. Ia mengetuk meja kios lagi.

Ia baru akan pergi, ketika seseorang berjubah hijau muncul dari balik pintu rumah di belakang kios.

***

Oda kelihatannya tidak peduli akan ketukan di meja kios. Wanita itu masih sibuk di ruangannya; memanggang lebih banyak kue, tetapi tidak repot-repot membagikannya kepada mereka. Seperti... sebuah mesin otomatis. Mesin pembuat kue otomatis yang pelit.

“Tolong, salah satu dari kalian saja.” Setidaknya, Oda masih mengucapkan kata ajaib itu. “Aku menerima kalian berdua di sini bukan dengan cuma-cuma. Bayar dengan sopan santun.” Nah, kalau yang ini jauh lebih kasar. Ketukan di meja kios sudah tidak terdengar lagi.

Tabitha takut mengintip dari balik pintu. Ia refleks menjelajahi seisi ruangan dengan matanya; berharap menemukan jendela yang langsung menghadap halaman rumah, tetapi tidak ada apa-apa selain lubang-lubang di dinding yang menghadap ke lapangan luas. Kalau si pengetuk itu berjubah cokelat... dia masih sayang nyawanya.

“Batu-gunting-kertas?” tawar Takumi otomatis. Tabitha terkejut.

“Hah?”

“Batu-gunting-kertas,” ulang Takumi, kemudian terdiam sesaat, sambil menyeringai sinis. “Maaf, kukira ini masih di Fukui. Biar aku saja,” sang pangeran bangkit, berjalan ke arah pintu—tetapi Tabitha menahannya.

“Biar aku saja, Yang Mulia.” Dirapatkannya jubah hijau kebesaran itu ke sekeliling sayap, menutupi rambut silvernya, mengaburkan separuh wajahnya di balik bayang-bayang. Meskipun sebenarnya itulah hal yang ditakutinya sedari tadi: keluar rumah.

Takumi menggeleng. “Panggil aku Takumi. Hanya Takumi.”

Sang pengendali air memandangnya; wajah pucatnya merona sekilas. “Takumi. Takumi-sama. Oke.” Ia mengangguk. Langkahnya menuju pintu rumah memelan. “Metsuki?”

Kucing itu—yang sedari tadi duduk nyaman sambil menjilat cakarnya—melompat menghampiri Tabitha, bertepatan dengan suara ketukan sekali lagi. Metsuki menengadah menatapnya. Dia mengeong pelan.

Tabitha mengangkat kucing jantan itu dan berjalan keluar rumah.

Udara luar dipenuhi pasir meskipun anehnya terasa dingin; selebihnya tidak banyak berubah. Kemudian terdengar suara derakan; seolah semua pohon-pohon tumbang di Gaelea menegakkan tubuhnya kembali. Namun, bukan itu yang menyebabkan Tabitha menjatuhkan Metsuki dan membuka jubahnya sebatas kepala.

“H-hai. Kau.”

Andaikan orang di balik meja kios itu Higina, Sakura, Ayumi, atau bahkan Genma, Tabitha akan langsung menghambur memeluknya. Dipertemukan dengan salah satu temannya sudah cukup membuatnya senang—yang jelas, bukan dengan seorang pemuda bermata kucing yang hanya mengangkat sebelah alis begitu melihatnya.

“Hmm.”

Metsuki memanjat ke bahu Rira. Senyum kecil pun merambati bibir Tabitha.

“Takumi-sama dan aku mencari makanan. Wanita pemilik kios itu memberi kami kue, biskuit—yah, hanya itu. Mau masuk?” tawarnya. Daripada canggung, lebih baik mengatakan sesuatu yang netral.

Rira tidak berkomentar, hanya menaruh sebungkus entah apa di atas meja kios. “Kami hanya ingin beli makanan.”

Kami?” Tabitha nyaris kehabisan napas karena senangnya. “Ada yang lainnya? Takumi-sama!” Gadis itu masuk ke dalam rumah, mengagetkan Takumi. “Kita bisa melanjutkan perjalanan. Mereka ada di luar!”

“Siapa yang ada di luar?” tanya sang pemuda, baru akan mengambil satu lagi biskuit dari jatah Tabitha.

“T-Takumi-sama?” tanpa disangka-sangka, Oda terbang menghampiri mereka. Wanita itu melayang dengan canggung; dan ekspresi kaget bukan main tergambar di wajahnya yang kaku dan letih. “Anda p-p-pangeran yang hilang?”

Kecanggungan instan memenuhi seisi ruangan. Tabitha tercekat, menampar mulutnya. Takumi menelan ludah. Hilang sudah biskuitnya.

“Eh... bisa dibilang.”

Reaksi Oda justru lebih buruk; wanita muda itu malah ketakutan mendengar respon sang pangeran. Diremas-remasnya ujung topi lebar yang menutupi rambut pirangnya keras-keras. Dia nyaris tidak berpikir saat berkata,

“P-Pangeran Takumi! Maafkan kelancangan saya. A-A-Anda bisa ambil semua. Semuanya! K-k-kue di kiosku—a-ambil semuanya. Itu milik Anda, Yang Mulia,” Oda ribut sendiri; menggumamkan sesuatu bernada panik. “Cepat pergi dari sini. G-G-Gaelea tidak aman untuk Anda. K-ke Etheres. Semoga Synthetic Elf lebih bermurah hati pada pendatang...”

Synthesis El?” ulang Takumi. Oda mengatakan apapun dengan cepat dan terburu-buru.

“Pergi, pergi, pergi. Kau juga, Nona.” Didorongnya Takumi dan Tabitha keluar rumah. Dikuncinya rapat-rapat dari dalam, setelah yakin baik tangan Takumi maupun “nona” itu tidak terjepit atau lainnya. Kemudian, setengah melupakan nasibnya tanpa makanan untuk dijual, wanita itu  berteriak—“kue-kue itu untuk Anda! Pergi!”

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang