38.2: Poisoned Arrows

2.1K 81 5
                                    

Sakura menyentak-nyentakkan pagar dengan putus asa. "Keluar kau, Bajingan!" teriaknya. Gadis itu mulai terbiasa dengan kata-kata umpatan.

"Yah, panjat pagarnya, Sakura," komentar Higina. "Buat apa ada pagar kalau rakyatmu bisa terbang, ngomong-ngomong?" tanyanya malas.

"Sebagai pembatas kebun," jawab Sakura singkat. Ia masih menyentak-nyentakkan pagar itu. "Ujungnya dipasang jarum, dan sayapku belum sembuh. Sialan," gumamnya pasrah. Disandarkannya punggungnya ke jeruji pagar; sepasang sayapnya menembus celah-celah jeruji dan mengepak-ngepak lemah. Ia tidak ingin menatap ke depan—di mana sekumpulan elf terhipnotis sudah mengepung mereka. Hampir.

Higina mengerutkan kening. "Sejak kapan kau jadi pemalas?" Ditariknya kapak perangnya dari selipan ikat pinggang. Diputar-putarnya sejenak, merasakan gagangnya yang berat, kemudian beralih pada segerombolan elf di hadapannya. Ditunjukkannya kapak kotor itu kepada mereka. "Hei! Di sini!"

Teriakannya menarik perhatian seorang elf terdekat, dan pria itu langsung memanggil teman-temannya.

Dalam sekejap, sekelompok elf bersenjata sudah mengelilinginya. Mereka berdatangan dari segala penjuru—beberapa terbang, sisanya berlari cepat—dan dengan cepat memenuhi jalan setapak. Masing-masing berdesakan agar bisa melihat lebih jelas sosok Higina; tubuh mereka yang kurus kering dicondongkan ke arah sang gadis kehidupan, menggertaknya tanpa kata-kata. Higina mundur selangkah, berusaha menghindar, ketakutan merayapi tubuhnya—tetapi sayapnya terantuk tubuh elf lain. Ia tidak bisa ke mana-mana. Akhirnya, gadis itu hanya berdeham dan bertanya sopan.

"Ingat dia?" Ditunjuknya sosok Sakura yang masih berkelit dengan kalung cambuk di lehernya. Para elf bertukar pandang sekilas. "Itu Fairy Mistress kalian. Pengendali elemen sungguhan. Dia datang untuk membereskan tempat ini. Kalian tega menyakitinya?" tanya Higina kalem. Ia menoleh sekali lagi ke arah Sakura. Gadis itu kini melihatnya di antara sekumpulan elf bersenjata, menggeleng-geleng, mulutnya mengucapkan sesuatu seperti "jangan!", tetapi perkataan seorang elf mengalihkan perhatian Higina.

"Kewajiban kami hanya kepada Synthetic Elf, Nak. Bukan Fairy Mistress. Fairy Mistress? Siapa?" pria itu tersenyum heran. Dia menoleh kepada teman-temannya, meminta jawaban. Para elf menggeleng-geleng. "Dia bukan siapa-siapa lagi."

Higina tersenyum kecut. Pengaruh hipnotis itu sudah keterlaluan, rupanya.

"Tapi dia tidak mengambil istri-istri kalian. Dia—"

"Apa-apaan ini?" seorang elf lain menyeruak di antara kerumunan—seorang elf pria bersenjata gigi binatang, dengan kulit berwarna cokelat tua, nyaris keunguan malah. Tubuh elf itu tidak proporsional; kedua tangannya nyaris terlalu kurus untuk bagian tubuh atasnya. Higina terkejut melihat tatapan mata elf tersebut. Kedua matanya kecil, miring ke atas, berjauh-jauhan satu sama lain—membuatnya selalu terlihat marah. Higina menatap elf lain di sekelilingnya dan mendapati sorotan mata yang sama.

"Tangkap mereka untuk Synthetic Elf, hmm," jawab seorang elf bersenjata pisau. "Setelah itu, tugas kita selesai."

"Bunuh mereka sekarang! Bunuh!" teriak elf bertangan kurus dengan nada berapi-api. "Synthetic Elf akan lebih bangga."

"H-hah?" Higina tersudut. "Ap-apa-apaan—"

Elf yang tadi berbicara menggeleng-geleng bingung, tetapi dianggukkan juga kepalanya. Dengan cepat, dua elf bertubuh semampai sudah menahan tangan Higina, meredam sentakan-sentakan gadis itu, sementara elf bertangan kurus mengeluarkan sepotong gigi binatang dari saku dalam rompinya dan mengarahkannya ke leher Higina. Seorang elf lain menyambar leher Higina, mencekiknya, menahannya agar tidak ke mana-mana. Elf bertangan kurus itu mengumumkan.

ElementbenderWhere stories live. Discover now