52.2: The Town Square Tragedy

1.7K 77 5
                                    

Di luar bangunan toko roti, keadaan alun-alun kota masih sama seperti saat Genma meninggalkannya. Tetap ramai dan berisik. Paling tidak tempat ini lebih baik daripada pasar, dan bau ikan asin di sini tidak terlalu kentara.

Alun-alun kota berbentuk lantai mozaik bundar yang dikelilingi bangunan-bangunan toko, bengkel pandai besi, kantor pos, dan kantor kepala desa. Lantai bundar yang dihiasi mozaik berwarna-warni itu juga berfungsi sebagai jam matahari. Di tengah-tengahnya terdapat monumen berbentuk jarum, tidak terlalu tinggi, tetapi lumayan untuk sebuah penunjuk waktu raksasa. Ketika sinar matahari menyinari lantai mozaik itu, kepingan-kepingan marmernya berkilau memantulkan cahaya sementara bayangan monumen yang jatuh di atasnya menunjukkan jam berapa sekarang. Para falcon memiliki waktu khusus untuk bekerja, beristirahat, dan tidur.

Paling tidak, Genma senang melihat rakyatnya baik-baik saja... atau setidaknya, terlihat baik-baik saja. Agak jauh di depannya, anak-anak falcon membentuk lingkaran di sekeliling monumen jarum dan berputar-putar, menarikan tarian asal-asalan sambil tertawa dan terkikik. Suara riang mereka mengisi atmosfir alun-alun yang suram. Para falcon dewasa hilir-mudik di sekeliling Genma, suara kepakan sayap mereka memenuhi langit Pyrrestia yang mulai mendung.

Para falcon adalah pekerja keras dan nyaris tidak memikirkan istirahat. Perangai para falcon dewasa yang kaku dan kasar, terkadang tidak pernah tersenyum dalam sehari, berkebalikan dengan anak-anak falcon yang tertawa dan bercanda sepanjang hari di alun-alun ini, tidak perlu memikirkan apapun selain bermain dan sekolah. Hanya seorang pemimpin Pyrrestia yang bisa memahami sifat unik mereka. Genma memahami mereka, mencintai mereka seperti mencintai keluarganya sendiri—karena hanya merekalah keluarganya. Dan ia akan langsung bertindak apabila ada sesuatu yang membahayakan mereka.

Kawasan kumuh itu, pikir Genma dengan gusar. Itu salahku.

Genma mengitari pinggiran lantai mozaik tersebut, berjalan tanpa tujuan. Tingkah anak-anak falcon yang menari-nari di sekeliling monumen membuatnya tersenyum sendiri, mengingatkannya akan masa kecilnya di bumi sebagai seorang manusia biasa. Ringan dan tanpa beban. Genma menggeleng-geleng dan memfokuskan perhatiannya pada apa yang ada di depannya—jalanan dan orang-orang berlalu-lalang. Ia nyaris menabrak seorang falcon tadi.

Astaga, di mana mereka?

Mendadak, angin bertiup lebih panas dari sebelumnya. Lebih kering, lebih gersang, lebih... menakutkan. Sapuan angin yang menyerbu alun-alun kota secara tiba-tiba itu mengagetkan semua orang yang ada di sekitarnya, memaksa mereka menghentikan aktivitas masing-masing. Para falcon yang masih berada di udara perlahan-lahan mendarat. Tawa anak-anak yang sedari tadi didengar Genma melenyap. Kebingungan dan kecemasan memenuhi atmosfer tempat itu,  dan baik Genma maupun para falcon mulai merasa tidak nyaman.

Genma menatap sekelilingnya; orang-orang dewasa yang tertegun menatap langit dan anak-anak yang terdiam di tempatnya, takut bergerak ke mana-mana. Awalnya ia kira mereka terhipnotis, tetapi tidak. Para falcon hanya... terkejut. Mereka mendadak ketakutan ketika mendengar suara kepakan sayap di langit,  kepakan sayap yang tidak mereka dengar sebelumnya. Genma menengadah. Asalnya dari sepasukan tentara berkuda. Sepasukan tentara berkuda yang melayang rendah di atas alun-alun, menghalangi cahaya matahari dengan sayap-sayap kuda mereka yang terbentang lebar. Alun-alun berubah mendung.

Salah satu dari kuda tersebut mendarat di atas lantai mozaik, dan di atas kuda tersebut terdapat seorang pria dewasa. Pria dewasa yang angkuh.

“Di mana Mildgyd dan Mildred?” teriaknya, sementara kuda-kuda lain mulai mendarat di sekitarnya dan membentuk lingkaran di sekeliling pria dewasa itu, melindunginya. Kuda-kuda itu meringkik dan menggetarkan sayap-sayap mereka. Si pria dewasa melompat turun dari kudanya, keluar dari lingkaran pasukan tersebut, berhadapan langsung dengan para falcon yang berdiri terpaku di sekitarnya. Para falcon bergerak menepi ke pinggiran lantai mozaik, anak-anak dan dewasa, antara ingin meninggalkan tempat ini dan tidak mau dianggap lancang. Genma mundur beberapa langkah ke arah kerumunan falcon yang ketakutan, berbaur dengan mereka.

Pria itu adalah seorang komandan—terlihat dari cara berpakaiannya—tetapi bukan komandan yang Genma kenal. Űbeltat pasti mengangkat orang lain sebagai komandan yang mau menuruti kata-katanya. Seorang komandan bermata sipit, berwajah persegi. Tidak ada falcon bermata sipit sebelumnya, tetapi bisa saja pria itu hanya mengantuk. Kelopak matanya yang selalu turun mengindikasian bahwa pria itu sudah menenggak banyak alkohol dan menghisap berbatang-batang cerutu.

“Di mana Mildgyd dan Mildred? Dua pelacur itu?” teriaknya, mencipratkan ludah ke mana-mana. Beberapa falcon di pinggiran alun-alun mengernyit. Pria itu berjalan mendekati sekumpulan falcon wanita, sepatu botnya beradu dengan lantai mozaik yang keras, menimbulkan suara ketak-ketuk yang menegangkan. Para gadis muda tersebut mundur perlahan. “Di mana teman-teman kalian? Űbeltat ingin bertemu dengan dua sialan itu. Mereka melukai hatinya.” Pria itu beralih pada sekelompok anak-anak yang berada tidak jauh dari tempat Genma berdiri. “Mildgyd dan Mildred? Di mana nona-nona kalian itu?”

Anak-anak itu merapatkan diri satu sama lain. Perkataan keras sang komandan menakuti mereka, dan bau cerutu yang menguar dari mulut pria itu membuat mereka terpaksa menutup hidung. Salah satunya, seorang anak laki-laki yang paling tinggi, angkat suara. “Kami tidak tahu, Tuan.”

“Bedebah!” teriak sang komandan, marah.

Sementara pria itu kembali ke pasukannya sendiri dan menyumpah-nyumpah dalam suara pelan, Genma melirik anak-anak itu. “Sembunyi di belakangku,” bisiknya, dan anak-anak itu mematuhinya. Mereka menghampiri Genma, berbaris rapi di balik punggungnya, dan merapatkan tubuh mereka satu sama lain. Genma membentangkan sayapnya menutupi sosok anak-anak itu, kemudian tersenyum puas.

“Kau, anak muda,” tiba-tiba, sang komandan sudah berbalik ke arah para falcon lagi. Tatapannya mengarah pada Genma. “Kelihatannya kau orang baru. Rasanya aku pernah melihatmu.” Sang komandan berjalan mendekati Genma, menyipitkan mata, kemudian matanya teralih pada kaki-kaki kecil di balik sayap pemuda itu. “Melindungi berandalan-berandalan itu, ya? Kau bisa dipenjara kalau membantu bedebah-bedebah cilik seperti mereka. Tapi sudahlah.” Tatapannya kembali terarah pada Genma. “Di mana tempat pelacuran Mildgyd dan Mildred? Laki-laki muda sepertimu pasti tahu.”

Genma terhenyak. Tempat pelacuran? Jadi itu yang berubah dari Pyrrestia. Ia bahkan tidak mengenal Mildgyd dan Mildred, atau siapapun yang namanya mirip dengan mereka. Genma membalas tatapan sang komandan, menyeringai, dan memutuskan untuk menjawab pertanyaan tadi dengan singkat. “Anda juga laki-laki muda, Komandan. Anda tahu letaknya di mana.”

“Sialan!” teriak sang komandan, nyaris menjerit, sebelah tangannya refleks menampar pipi pemuda itu keras-keras. Genma terhuyung ke belakang, barisan anak-anak kecil di belakangnya buyar. Mereka memegangi punggung Genma agar tidak terjatuh. Genma mengernyit ketika mendapati cairan amis di dalam mulutnya, dan salah satu giginya yang goyang. Tamparan sang komandan—yang mengenakan sarung tangan yang terbuat dari kulit tebal—menggemeretakkan gigi-giginya, membuat gusinya berdarah.

Sang komandan menatap mata Genma lekat-lekat, kali ini dengan murka, wajahnya yang sebelumnya tenang kini memerah dan acak-acakan.

“Siapa bilang aku mau dilayani orang murahan seperti mereka? Ringkus dia!” jeritnya.

Namun, sebelum pasukan pengawal bergerak selangkah pun, sebuah tombak putih melesat ke arah sang komandan, terbidik ke kepalanya. Sang komandan baru melihat tombak putih tersebut setelah mata tombaknya menghantam sisi samping kepalanya, ujung mata tombak yang keras memecahkan kepalanya dan memburaikan isinya.

ElementbenderWhere stories live. Discover now