Suara deringan handphone milik Gavriel yang sejak tadi mengalun dan menyapa indra pendengaran Elang membuatnya mau tidak mau segera bangun. Sumpah, rasanya ia ingin membantingnya jika tidak mengingat harga handphone ini masih cukup mahal di pasaran saat ini.
Setelah teman-temannya baru pulang pukul satu dini hari, ia baru tidur pukul dua dan bangun pukul lima pagi. Menyiapkan Leander untuk ke sekolah, mengantarnya dan ia memilih kembali ke atas ranjang. Permintaan Gavriel kepadanya untuk mengantarkan handphonenya tentu saja akan ia lakukan, namun ia akan menikmati waktu tidurnya terlebih dahulu. Kala ia melihat jam yang ada di sudut kamarnya, tampak jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Tak ingin membuat telinganya pekak karena handphone Gavriel yang terus berdering, akhirnya Elang mengangkatnya. Baru juga Elang akan mengucapkan kata "Hallo" namun yang ada orang diujung telepon sudah nyerocos lebih dulu.
"Handphone gue kapan sampai di kantor?"
"Oh, gue baru aja bangun. Gue delivery pakai ojek online aja, ya?"
"Enggak, lo buruan ke sini. Ada sesuatu yang harus gue ceritain."
"Okay, jam dua belas gue sampai di kantor lo. Lo tunggu di depan lobby, kita lunch bareng."
"Okay."
Dan dengan begitu berakhirlah panggilan Gavriel dan Elang ini. Setelah mendapatkan konfirmasi dari Elang, Gavriel memilih menyelesaikan pekerjaannya dan buru-buru turun ke lobby gedung kantornya. Tidak lama menunggu akhirnya Elang meneleponnya dan memintanya keluar. Ternyata mobil Elang sudah berada di depan lobby kantornya. Gavriel segera masuk ke sisi penumpang depan mobil.
"Mau makan apa kita?" Tanya Elang sambil memanuver mobilnya untuk keluar dari halaman gedung kantor.
"Terserah lo aja."
"Gue lagi mau makan bakso."
"Ya udah enggak pa-pa."
Elang segera melajukan mobilnya menuju salah satu warung bakso langganannya. Sesekali ia melirik ke arah Gavriel yang tampak memiliki banyak pikiran.
"Lo lagi banyak pikiran, Bro?"
"Gimana ya gue jelasinnya. Gue itu lagi bingung gimana menghadapi kemarahan Gadis besok waktu dia samperin gue."
"Kenapa memangnya?"
"Lambenya si Alena bocor banget. Pakai acara keceplosan bilang sama Gadis kalo gue sewa bodyguard buat jagain dia selama di Bontang."
"Tinggal lo cium aja bibirnya. Dia pasti diam enggak akan banyak ngoceh."
"Habis itu gue digampar sama dia."
"Resiko sih kalo itu. Setidaknya kalo Gadis khilaf ngajakin naik ke ranjang ya udah jabanin aja."
"Bangke lo, Lang. Lo kira Gadis perempuan macam apa?"
"Gini ya, Bro. Enggak semua tapi kebanyakan, ya ini kebanyakan. Orang itu kalo pernah merasakan biduk rumah tangga terus gagal, hubungan selanjutnya meskipun belum naik ke pelaminan ya naik ke ranjang dulu. Test drive gitu."
"Terserah lo deh, Lang. Gue enggak mau begitu. Gue menghormati Gadis sebagai sosok perempuan yang enggak pantas diperlakukan seperti itu."
Elang tidak mau meneruskan percakapan ini karena ia bisa melihat Gavriel yang tetap kekeuh menganggap Gadis berbeda dari kebanyakan perempuan yang pernah mereka temui.
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Angela baru saja duduk di hadapan Gadis. Ia baru saja sampai di apartemen tempat Gadis tinggal selama di Bontang. Gadis yang melihat wajah Angela tampak mengamati seisi apartemen ini hanya tersenyum.
"Ini bukan apartemen saya."
"Oh, maaf saya kira ini apartemen ibu Gadis. Karena kalo ini apartemen ibu, kita bisa memasukkan ke dalam list harta gono gini."
"Selama menikah dengan Mas Dipta, aset tanah dan bangunan hanya ada satu, Bu."
"Bisa ibu informasikan detailnya?"
"Ya. Rumah itu ada di Bontang. Selama ini rumah itu yang kami tempati. Dana pembeliannya sebagian diberikan oleh Papa saya. Saya mau rumah itu dijual."
"Sertifikat atas nama siapa dan posisinya di mana?"
"Atas nama Mas Dipta, posisinya ada di berangkas rumah kami bersama perhiasan dan logam mulia."
"Apa ibu berniat mengambil isi berangkas?"
"Iya. Saya rasa lebih cepat lebih baik."
Angela menganggukkan kepalanya. Ia tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Dirinya membutuhkan orang untuk mengawal dirinya dan Gadis. Tidak ada salahnya ia meminta tolong demi keselamatan mereka saat memasuki rumah tersebut.
Saat jam sudah menunjukkan pukul satu siang, Angela memilih mengajak Gadis untuk segera menuju ke kantor pusat perusahaan tempat Dipta bekerja dulu.
Selama di perjalanan, Angela menerangkan tentang apa saja yang akan mereka lakukan di sana. Terlebih proses hibah saham sedang diproses. Meskipun Gadis meminta ini semua baru berjalan saat ia dan Dipta sudah resmi bercerai, namun Sudibyo meminta ini dilakukan secepatnya. Toh seminggu lagi proses mediasi perceraian Gadis dan Dipta akan berlangsung.
"Saya sudah tidak sabar untuk menjual semua saham pertambangan ini."
"Sebaiknya ibu sabar dulu karena sebentar lagi ada pembagian deviden. Nominalnya cukup besar."
"Saya kurang sreg dengan berinvestasi di sektor pertambangan karena efek dari kegiatan pertambangan itu pasti merusak alam dan lingkungan."
"Setiap perusahaan pasti memiliki anggaran dana CSR, Bu."
Gsdis tersenyum kecil dibalik kemudi mobil Brio putih yang ia sewa. Sejak dulu dirinya tidak pernah yakin jika dana CSR akan sampai di tangan masyarakat dengan mulus tanpa ada yang bocor. Itu juga alasannya ingin menjual semua saham pertambangan yang Papanya miliki. Ia sudah siap dengan pro kontra yang akan ia terima dengan keputusannya ini. Toh lebih baik menggantinya dengan membeli saham-saham perusahaan yang dipasarkan di NYSE (New York Stock Exchange), SSE (Shanghai Stock Exchange) dan Euronext N.V.
Kini saat mereka sudah sampai di lobby kantor pusat ini, Angela segera mengajak Gadis untuk menuju ke ruang rapat kecil yang ada di lantai tiga. Saat sampai di sana, suasana masih sepi dan mereka harus menunggu lagi. Sambil menunggu para jajaran orang-orang penting perusahaan ini hadir, Gadis memilih mempelajari data-data yang Angela bawa. Gadis tersenyum puas kala melihat berapa harga per lembar saham saat ini. Ia rasa Papanya tidak akan keberatan menjualnya karena mereka sudah mendapatkan keuntungan di atas dua puluh persen, belum lagi deviden yang selama tiga tahun ini orangtuanya terima.
Gadis baru mengangkat wajahnya kala mendengar pintu ruang rapat ini dibuka dari arah luar. Sosok Hamdani beserta para jajarannya muncul di sana yang membuat Gadis tersenyum. Ia lalu berdiri dari posisi duduknya untuk menyalami mantan atasan serta mantan rekan kerja suaminya ini.
Meksipun sedikit terkejut dengan kabar beberapa waktu lalu yang ia terima tentang rumahtangga Pradipta dan Gadis, namun Hamdani bersyukur karena Gadis tampak tegar dengan apa yang terjadi di hidupnya. Selama ini baik dirinya maupun orang-orang terdekat Pradipta di kantor tahu tentang hubungan Pradipta dengan Rachel. Hanya saja mereka tidak mau ikut-ikutan karena itu tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan.
Sekitar satu jam mereka membicarakan semua hal mengenai hibah saham milik Sudibyo ke Gadis yang ternyata tidak harus sampai mengadakan rapat jajaran direksi dan pemegang saham. Ini cukup menguntungkan bagi Gadis yang sudah berniat menjual semua kepemilikan saham di perusahaan ini saat proses pembagian deviden selesai dilaksanakan dan saham ini berubah nama menjadi namanya.
Kini selesai membicarakan hal itu dan jajaran anggota Hamdani keluar dari ruangan ini, Gadis memilih untuk menikmati secangkir kopi sambil menunggu Angela kembali dari toilet. Hamdani yang memilih tetap berada di dalam ruangan ini bersama Gadis sangat menyadari jika Gadis nampak menjaga jarak dengannya berbeda dengan dulu saat masih bersama Pradipta. Ini membuatnya menjadi merasa bersalah tanpa sebab yang jelas.
"Dis?" Panggil Hamdani yang membuat Gadis mengangkat pandangannya. Ia lalu menaruh cangkir kopi yang ada di tangannya itu di meja kembali.
"Ya, Pak?"
"Saya turut prihatin atas kejadian yang menimpa kamu kemarin."
Gadis hanya tersenyum tipis mendengar hal itu. Prihatin? Bukannya itu hanya sebuah basa basi. Tidak mungkin Hamdani tidak tahu kelakuan Pradipta selama ini. Mereka sering tugas ke luar kota bahkan luar negri bersama. Setidaknya ia pernah bertemu dan berkenalan dengan Rachel.
"Bapak tidak perlu sok peduli jika pada kenyataannya Bapak memilih diam dan tidak memberitahu saya selama ini tentang kelakuan Mas Dipta di sini."
Hamdani menelan salivanya. Ia tahu Gadis bukan perempuan yang akan mudah menerima rasa kasihan dari orang lain. Jika diibaratkan Gadis adalah sebuah pohon besar, ia terlihat memiliki akar yang kuat hingga tak mudah goyah apalagi tumbang setelah bencana tornado yang menghampiri hidupnya.
"Kami ini rekan kerja. Jika tidak ada hubungannya dengan kinerja dia di kantor, saya tidak bisa ikut campur urusan pribadinya meskipun saya tahu."
"Ya, ya, ya... Karena Bapak berpikir seperti itu, saya tidak akan menyalahkan Bapak. Yang jelas, saya sudah bertekad untuk menghapus Mas Dipta dan semua yang berhubungan dengan dia di hidup saya."
Hamdani cukup terkejut dengan perkataan Gadis ini. Kata-kata Gadis yang akan menghapus semua yang berhubungan dengan Pradipta langsung terngiang-ngiang di kepalanya. Apakah ini akan berhubungan juga dengan status kepemilikan saham Gadis di perusahaan ini!? Akankah Gadis menjual semua sahamnya?
"Apa kamu berniat melepas semua kepemilikan saham di perusahaan ini?"
Gadis memilih tersenyum lalu ia berdiri dari kursi yang ia duduki. Setelah berdiri dan mengambil tas miliknya, Gadis menatap Hamdani kembali dengan tatapan seriusnya. Selama ini Gadis tahu jika ia menatap orang dengan tatapan fokusnya, beberpa orang bisa merasa terintimidasi. Salah satu yang mengatakan itu secara lugas adalah Alena. Meksipun tak pernah mengatakan itu secara gamblang, tatapan mautnya ini juga efektif untuk membuat Gavriel langsung diam dan tak bertingkah lagi di hadapannya dulu.
"Saya bukan perempuan bodoh yang akan begitu saja melepaskan deviden yang akan dibagi sebentar lagi, jadi Bapak tenang saja."
Setelah mengatakan itu, Gadis memilih segera melangkahkan kakinya keluar dari ruangan ini. Sengaja ia membuat Hamdani berpikir tentang langkah yang akan ia ambil. Gadis yakin jika ia melepaskan jutaan lot saham yang ia miliki kelak, itu sedikit banyak akan berpengaruh pada harga saham perusahaan ini. Yang jelas ia tak peduli lagi. Menghapus Dipta dan kenangannya sama dengan menghapus saham perusahaan ini dari hidupnya untuk selama-lamanya.
***