Ceklek...
Gadis membuka pintu ruang kerja Pradipta dan ia menemukan sosok Pradipta berdiri di depan pintu. Gadis tersenyum kala melihat suaminya yang badannya terlihat jauh lebih berisi daripada saat terakhir kali mereka bertemu.
Gadis masih diam saja menatap suaminya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Satu hal yang membuat Gadis ingin tertawa adalah bahu Pradipta yang naik turun seakan ia menahan rasa kesal bercampur baru saja berlari maraton. Gadis melipat kedua tangannya di depan dada dan memilih untuk terus berada di sini. Ia tidak mengundang Pradipta masuk ke dalam ruangan untuk segera membicarakan apa yang perlu ia dengar dan ketahui.
Sebagai laki-laki, kali ini Pradipta merasa bahwa prediksinya benar-benar jauh dari kenyataan yang ia temui. Ia kira Gadis akan menangis sejadi-jadinya hingga melampiaskan kekesalannya dengan melemparkan semua barang yang ada dalam jangkauan tangannya ke arahnya. Namun ternyata apa yang ia temui justru sebaliknya. Gadis terlampau terlalu tenang untuk ukuran seorang istri yang baru saja menemukan selingkuhan suaminya ada di dalam rumah.
"Kamu minta aku pulang ada apa?"
Gadis tersenyum karena pada akhirnya Pradipta yang memulai pembicaraan ini, bukan dirinya yang sebenarnya sedang diselimuti amarah dan sebentar lagi akan meledak hebat.
"Yang minta kamu pulang itu Rachel."
Pradipta mencoba mengabaikan perkataan istrinya yang mencoba memancing-mancing emosinya. Ia harus tetap berusaha tenang karena bagaimanapun pembicaraan ini tidak akan berjalan baik jika ia sudah kehilangan kesabaran di depan.
"Bisa kita bicara sambil duduk?"
Gadis nampak berpikir hingga akhirnya ia melangkah ke samping untuk memberi jalan suaminya. Saat suaminya sudah duduk di sofa yang ada di dalam ruang kerja ini, Gadis memilih menutup pintu ruang kerja. Ia tidak mau Rachel mengintip apa yang mereka lakukan dan bicarakan. Semoga saja Rachel masih memiliki rasa malu dengan tidak menguping dari balik pintu atau tembok.
Merasa bahwa kali ini dirinya adalah pihak yang paling banyak membutuhkan penjelasan atas semua yang terjadi, Gadis memilih diam sambil menunggu Pradipta berbicara. Hampir lima menit mereka terdiam hingga Gadis tidak sabar dan memilih memecah kesunyian ini langsung ke point masalah mereka berdua tanpa harus beramah tamah dengan menanyakan kabar.
"Sekarang kita sudah sama-sama duduk. Apa yang kamu ingin jelaskan, Mas?"
"Aku akan menjelaskan semuanya."
"Kalo ujungnya kamu cuma minta maaf lebih baik kamu urungkan niat itu, Mas karena semua itu hanya buang-buang waktu dan tenaga."
Pradipta tahu jika istrinya ini sosok wanita tenang namun ketenangannya mirip seekor Harimau yang meskipun tenang tapi sekali menerkam, ia tidak akan membiarkan buruannya kabur begitu saja.
"Tidak, aku tidak mau minta maaf sama kamu karena aku tahu kamu tidak akan memaafkannya dan apa yang aku lakukan tidak pantas untuk dimaafkan. Aku hanya akan menjelaskan kenapa aku memilih mengambil jalan ini."
Sial...
Rasanya kali ini Gadis semakin ingin meledak. Ia ingin berteriak dan menumpahkan semua rasa kesalnya. Saking marahnya, hanya sebuah senyuman sinis yang bisa Gadis ekspresikan di depan Pradipta. Ia benci pada dirinya sendiri yang terlalu baik dalam melakukan kontrol diri. Jika Gadis mau merunut lebih jauh, satu-satunya orang di luar keluarganya yang pernah melihat ia kehilangan kontrol diri adalah Gavriel. Laki-laki itu satu-satunya orang di luar keluarganya yang tidak lari tunggang langgang melihat amarahnya. Bahkan sumpah serapah yang biasa ia katakan jika emosinya sedang membara.
Karena Gadis tak kunjung menanggapi kata-katanya, Pradipta mulai menjelaskan semuanya. Sudah kepalang tanggung jika ia harus mundur saat ini.
"Sejak awal aku memang tidak pernah mencintai kamu."
Satu pisau menancap dengan begitu dalam di dada Gadis hingga ia rasanya lupa caranya untuk bernpas selama sepersekian detik. Bagaimana bisa Pradipta mengatakan semua ini dengan begitu mudah? Baiklah, mungkin di awal hubungan mereka, Pradipta tidak mencintainya, tapi dengan semua pengorbanan yang sudah ia lakukan dalam hubungan mereka hingga pernikahan ini berjalan di tahun ketiga, kenapa Pradipta masih tega mengatakan semua ini? Apa Pradipta tidak pernah memikirkan perasaannya? Baru Gadis sadari jika Pradipta tentu saja tidak pernah memikirkan dirinya apalagi memprioritaskannya karena jika ia memikirkan perasaannya tentu saja ia tidak akan tega berselingkuh di belakangnya.
Baiklah, meskipun dunia gonjang ganjing, tsunami di kehidupan rumah tangganya baru saja datang, tapi pantang bagi Gadis terprovokasi apalagi sampai menangis di depan suami gilanya ini. Ia harus tetap berdiri tegak dan tidak goyah karena ia adalah seorang Gadis Sekarwangi. Jangan sampai ia merasa kalah dengan memperlihatkan semua kesedihannya apalagi kekalahannya begitu saja di depan laki-laki yang kini telah menggeser posisi Gavriel sebagai laki-laki yang paling ia benci di dunia. Berbeda dengan Gavriel yang ia benci karena sering menggodanya hingga ia kehabisan kesabaran, ia membenci Pradipta jauh lebih dalam.
"Dulu aku terpaksa putus dari Rachel karena kedua orangtuaku melarang kami untuk menikah."
Gadis menganggukkan kepalanya. Ia berharap bahwa stock oksigen di ruangan ini cukup hingga beberapa waktu kedepan. Dadanya semakin sesak setiap kali mendengar kalimat meluncur dari bibir Pradipta. Ingin rasanya Gadis menyumpal bibir Pradipta dengan tisu toilet agar mulut sampah itu diam. Sayangnya ia memang membutuhkan penjelasan atas semua yang terjadi ini, jadi ia harus benar-benar bersabar sambil memikirkan langkah apa yang ia akan ambil setelah kejadian saat ini.
"Aku kira aku akan mudah melupakan Rachel dengan kehadiran orang baru di hidup aku. Ternyata tidak, Dis. Aku enggak bisa hidup tanpa dia. Dengan penuh kesadaran, akhirnya aku mengambil langkah yang jelas menyakiti kamu."
Gadis bertepuk tangan untuk kejujuran suaminya dan tentunya keberaniannya dengan tidak playing victim. Biasanya orang akan mengatakan khilaf atas perselingkuhan yang dilakukannya, tapi Pradipta dengan bangga memproklamirkan itu di depan istri sahnya jika ia melakukan perselingkuhan secara sadar.
Sambil bertepuk tangan, Gadis memberikan pujian untuk suaminya, "Good job, Mas. Kamu memang luar biasa menjadi suami. Setelah mulut atas dan bawahmu aku beri makan, masih bisa-bisanya kamu seperti ini?"
Pradipta terdiam. Ia tahu bahwa istrinya sedang menahan amarahnya yang luar biasa kali ini. Ia sadar bahwa setelah pembicaraan ini terjadi maka ia akan menghadapi masalah besar terlebih masalah dengan keluarga besarnya yang mencintai Gadis luar biasa. Bahkan kakak-kakaknya serta orangtuanya dengan gamblang mengatakan bahwa mereka akan berdiri di belakang Gadis dan mendukungnya jika ada masalah dalam rumah tangga yang ia arungi. Perlakuan mereka benar-benar berbeda sekali dengan cara mereka memperlakukan Rachel sejak awal hingga saat ini. Mama dan Papanya tidak pernah mengijinkannya membawa Rachel pulang ke rumah sekedar untuk bersilaturahmi. Kedua kakaknya bahkan melarangnya dengan tegas untuk membawanya ke acara-acara keluarga inti apalagi keluarga besar. Meskipun begitu, semua keluarganya sudah mengetahui siapa Rachel dan hubungan yang terjalin diantara mereka berdua.
"Kenyataannya aku memang tidak pernah merasakan kepuasan selama berhubungan dengan kamu."
Satu detik...
Dua detik....
Tiga detik....
Gadis diam dengan kedua mata yang ia kedipkan sebanyak dua kali. Ia mencoba menyadarkan dirinya sendiri bahwa apa yang dia dengar itu bukanlah halusinasinya semata.
"Memang aku tetap mendapatkan kepuasaan ketika benihku keluar, tapi tidak dengan batinku. Sejak awal kita menikah, aku merasa hampa, Dis."
Gadis menutup kedua matanya sekejap dan ketika ia membukanya lagi, ia merasa bersyukur karena air matanya tidak menetes sama sekali. Tidak ia sangka jika tanggul air matanya begitu kuat meskipun baru saja di bom dengan kata-kata yang menyakitkan hati istri manapun di dunia ini bila kata-kata itu meluncur dari bibir sang suami.
"Aku kurang apa, Mas? Aku serahkan mahkotaku buat kamu. Aku juga tidak pernah menolak kalo kamu minta. Oh, apa karena aku tidak kunjung hamil sampai sekarang?"
"Itu juga salah satunya. Aku tahu kamu bermasalah. Karena itu, aku rasa akan percuma saja kita berhubungan karena toh kamu tidak kunjung hamil dan aku tidak merasa bahagia berhubungan dengan kamu."
Kedua tangan Gadis mengepal di samping kiri dan kanan tubuhnya. Mungkin salahnya juga kenapa harus memulai menyinggung-nyinggung masalah momongan. Toh yang bermasalah adalah dirinya bukan Pradipta. Sosok laki-laki seperti Pradipta pastinya dituntut untuk memiliki anak oleh keluarganya. Mereka membutuhkan penerus karena Pradipta adalah anak laki-laki satu-satunya dan kedua kakaknya adalah perempuan.
"Tapi itu bukan pembenaran untuk kelakuan kamu, Mas. Lebih baik kita bercerai dahulu baru kamu bisa meneruskan hubungan kamu dengan Rachel."
Mendengar perkataan Gadis, Pradipta jadi membayangkan reaksi keluarganya jika tiba-tiba surat dari pengadilan agama sampai datang ke rumah. Tidak, ia tidak bisa melakukan itu sebelum memastikan jika Mama dan Papanya siap mengetahui hal ini. Lebih baik dirinya yang menggugat cerai Gadis agar keluarganya tidak membombardir dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sudah mereka ketahui jawabannya sejak awal. Rencananya dulu untuk mengirim Gadis ke Surabaya agar orangtuanya memiliki konflik dengan istrinya karena mereka mengetahui sifat asli masing-masing setelah tinggal bersama gagal sudah. Yang ada semakin hari keluarganya justru mencintai Gadis yang dengan tulus merawat dan menjaga kedua orangtuanya.
Pradipta memilih berdiri dari sofa yang ia duduki. Saat ini yang ia butuhkan adalah mengamankan buku nikah dan kartu keluarga asli. Ia yang akan menggugat cerai Gadis langsung ke pengadilan melalui pengacara keluarganya. Ia tidak bisa membiarkan Gadis melakukan itu karena jika Gadis yang melakukannya, ia tidak bisa memegang kontrol atas apa yang terjadi serta apa saja akan Gadis jadikan alasan gugatan cerainya.
"Kamu mau ke mana, Mas?" Tanya Gadis sambil mendongak untuk melihat suaminya yang tampak sedang berpikir.
Tidak ada jawaban dari Pradipta namun kedua mata Gadis sudah mengikuti ke mana suaminya berjalan. Ternyata Pradipta menuju ke brangkas yang tadi ia buka. Gadis tahu apa yang Pradipta cari, namun ia memilih diam. Ia tunggu Pradipta selesai dengan apa yang ia lakukan. Yang terpenting berkas itu sudah aman saat ini. Ia pastikan Pradipta tidak akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia akan mempertahankannya sekuat yang ia bisa hingga titik darah penghabisan.
"Kamu simpan di mana buku nikah dan kartu keluarga kita?"
"Kamu yang selama ini tinggal di sini, kenapa kamu jadi tanya sama aku?"
Gemas, itulah yang Pradipta rasakan pada Gadis saat ini. Kini ia berdiri dan segera menghampiri Gadis. Saat sampai di hadapan Gadis yang sudah berdiri, Pradipta memberikan tatapan garang yang membuat Gadis tidak kalah garang menatapnya. Apa yang ia lakukan ini nyatanya tidak membuat Gadis merasa terintimidasi sama sekali. Tatapan Gadis justru terlihat menantang dirinya untuk menunjukkan sejauh mana ia bisa mengambil sikap.
"Aku yakin kamu sudah mengambilnya! Sekarang kamu kasih ke aku. Biarkan aku yang mengurus semuanya."
Gadis tersenyum dan kini ia kembali melipat kedua tangannya di depan dada. Jika pernikahan ini harus berakhir, maka ia tidak akan dengan mudah membuat Pradipta menang atas semuanya. Ia akan membuat Pradipta pusing tujuh keliling terlebih dahulu hingga laki-laki ini memohon ampun kepada Tuhan atas apa yang telah ia perbuat. Syukur-syukir Pradipta juga meminta maaf kepadanya.
"Mengurus apa? Perceraian?" Tanya Gadis lalu setelahnya ia tertawa namun tawanya terdengar begitu getir. Ia tidak akan membuat semuanya terasa mudah dan cepat bagi Pradipta. Jika laki-laki tak memiliki masa idah setelah perceraian, maka ia yakin jika Praidpta akan langsung menikah dengan selingkuhannya. "Aku rasa aku tidak akan membuat hal ini begitu mudah untuk kamu, Mas! Kalo aku hancur maka kamu pun juga harus merasakan apa yang aku rasakan!"
Pradipta mencoba mengatur emosinya namun ucapan Gadis membuatnya gelap mata. Kini ia sudah mulai menggunakan kedua tangannya untuk mencekik leher Gadis sekuat yang ia bisa. Perlawanan dari Gadis yang menendang selangkangammya membuatnya melepaskan tangannya yang sedang mencekik leher istrinya itu.
Gadis yang melihat suaminya kesakitan segera menuju ke laci kerja Pradipta. Ia ambil barang yang dicari oleh suaminya sejak tadi. Secepat yang ia bisa, Gadis berusaha untuk berjalan meninggalkan ruang kerja Pradipta.
Sayangnya apa yang ia lakukan ini sia-sia karena Pradipta sudah mencekal tangannya dan berusaha merebut ketiga barang itu. Aksi tarik menarik terjadi dan baru berakhir kala Pradipta mengayunkan tangan kanannya di pipi Gadis sekeras yang ia bisa. Apa yang dilakukannya ini berhasil membuat Gadis melemah dalam mempertahankan dokumen itu.
"Lepaskan!"
"Enggak, Mas!"
Pradipta mendorong tubuh Gadis dengan tangan kanannya hingga punggung Gadis menabrak tembok yang ada di belakangnya dengan cukup keras. Seketika kepala Gadis terasa berat dan sakit yang ia rasakan membuat kedua matanya tertutup rapat. Pelan-pelan tubuhnya mulai terjatuh di lantai.
Melihat kondisi Gadis yang sudah terkapar, Pradipta memilih segera keluar dari ruangan ini dan meneriakkan nama Rachel. Rachel yang sejak tadi memilih menunggu di lantai dua segera turun.
"Ada apa, Dip?"
"Kita harus pergi dari sini sekarang."
"Gadis di mana?"
Rachel melihat wajah Pradipta yang nampak panik. Entah kenapa ia jadi khawatir sendiri.
"Dip, Gadis di mana?"
"Gak usah mikirin dia. Kita harus berkemas sekarang!"
Pradipta segera berjalan meninggalkan Rachel dan menuju ke kamarnya. Ia mengambil koper cabin size dan memasukkan beberapa pakaian serta barang pribadinya. Begitu selesai berkemas ia segera turun sambil menyeret Rachel dengan kasar.
Seumur-umur mengenal Pradipta, baru sekali ini Rachel melihat laki-laki ini kehilangan kontrol diri. Saat mereka sampai di lantai satu rumah, sosok Gadis sudah menunggu mereka di dekat tangga. Dari apa yang Rachel lihat, Gadis seperti sedang menahan sakit dan terlihat lemah. Penampilannya pun terlihat berantakan. Berbeda dengan tadi ketika masuk pertama kali ke rumah ini.
Rachel hanya bisa diam. Melihat Gadis yang berusaha merebut koper milik Pradipta.
"Balikin ke aku, Mas!"
"Enggak, biar aku yang urus!"
Tarik menarik terus terjadi hingga Pradipta mengangkat koper itu dan memukul Gadis di samping kepalanya memakai koper itu yang sukses membuat Rachel berteriak karena Gadis langsung terkapar dan tidak sadarkan diri di lantai.
Rachel masih berusaha menguasai dirinya yang shock dengan apa yang baru saja ia lihat di depan matanya. Ia mulai melangkah mendekati Gadis untuk melihat lebih dekat kondisi perempuan itu, tapi Pradipta sudah menggeret tangannya lagi untuk segera keluar dari rumah ini.
***