Chapter 58 | Indonesia

Start from the beginning
                                    

"Anda butuh sesuatu?" Auristela langsung menghapus air matanya. "Tidak, terima kasih." Pramugari yang tadi bertanya, masih setia memandangi Auristela. "Anda baik-baik saja?" Seperti sadar, pramugari itu langsung menanyakan kondisi Auristela. "Ya. Aku baik-baik saja. Bisa kau tinggalkan aku sendiri?" Pramugari itu mengangguk paham dan langsung melangkah pergi.

Auristela memilih untuk memejamkan matanya agar tertidur. Mungkin masih sangat lama untuk sampai di Bandung. Namun bukannya tertidur, Auristela malah menangis. Entahlah, Auristela tidak paham dengan dirinya yang terus menerus menangis saat mengingat Sean. Auristela seperti terikat kencang.

Kemanisan yang ditinggalkan Sean begitu sulit Auristela lupakan. Dan kenyataan yang Sean beri, terlalu menusuk untuk Auristela. Lama menangis dalam kondisi menutup mata, Auristela mulai hanyut terbawa rasa kantuk. Beristirahat sebentar mungkin akan membuat diri Auristela sedikit lebih baik.

~*~*~*~

Hampir dua puluh empat jam lebih mengudara dan beberapa kali transit, akhirnya Auristela sampai di kota kembang. Tidurnya sama sekalih tidak menenangkan. Mimpinya selalu tertuju pada Sean. Kalau seperti ini, Auristela bisa gila. Baiklah, mungkin nanti ia akan membeli obat penenang agar dirinya bisa lebih baik.

Hujan deras menyambut Auristela saat sampai di kota Bandung. Lagi-lagi Auristela kembai mengingat Sean. Hal-hal kecil seperti hujan dan pesawat selalu bisa membuat Auristela meneteskan air matanya. Dulu Auristela tidak menyukai hujan. Namun sekarang hujan sangat menyenangkan bagi Auristela.

Disaat orang lain terburu buru turun dari pesawat dan cepat-cepat masuk ke dalam Bandara agar tidak kehujanan, Auristela malah memperlambat jalannya sembari menunduk kebawah. Membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Bahkan sesekali Auristela berhenti berjalan dan menatap ke langit. Orang-orang memperhatikan Auristela aneh. Tidak sedikit dari mereka yang membicarakan dan menertawai Auristela. Auristela tidak terlalu peduli. Rasa sakitnya lebih mendominasi dari pada rasa malunya.

Kaki Auristela terlekuk di aspal. Kepalanya mendengak ke atas. Mata sembabnya menatap ke langit. Ingatannya berputar, mengingat Sean dan dirinya saat itu bermain hujan di atas rerumputan hijau, dibawah jam satu dini hari. Ingatannya kembali berputar, mengingat Sean memeluk Valeska erat dibawah guyuran air hujan. Air matanya kembali jatuh ke pipi, berbarengan dengan tetesan air hujan.

"Sky! Thank you for crying with me," parau Auristela. Kepalanya kembali menunduk. Menangis tersedu sedu. Berharap terlalu banyak tidaklah bagus. Berekspetasi tinggipun tidaklah baik. Keduanya sama-sama bisa menghancurkan.

Auristela menghentikan tangisannya. Ia tidak merasakan tetesan air hujan lagi. Padahal hujan masih turun dengan deras. "Bangunlah. Seorang putri tidak boleh menunduk. Jika menunduk, maka mahkota yang dikenakannya akan jatuh. Seorang putri tidak menangis." Auristela langsung menengok melihat siapa yang berbicara dengannya. Pria itu membantu Auristela berdiri. Pria itu juga yang memayunginya agar Auristela tidak kehujanan.

"Jangan sia siakan waktumu yang berharga," ucap pria itu. Pria itu juga memberikan sapu tangan untuk Auristela. "Usap air matamu yang berlinang itu. Seorang putri tidak boleh menangis." Auristela menerima sapu tangan pria itu. Auristela mengusap air matanya dengan sapu tangan yang diberikan oleh pria itu.

"I am not a princess. But I am a queen! So I can cry," tegas Auristela. Auristela menatap tajam mata pria itu. Pria itu memiliki bola mata berwarna hitam pekat. Terlihat jelas kalau pria itu adalah orang Asia. "Mahkota yang ada di kepalaku terlalu berat. Jadi tak apa kalau aku menunduk." Setetes air mata kembali jatuh ke pipi Auristela.

"Lepas mantel hitammu. Mantelmu basah. Ganti dengan jaketku saja." Pria itu melepaskan jaketnya, lalu memberikannya pada Auristela. Auristela hanya terdiam. Ia tidak berniat melepaskan mantelnya yang basah.

Arco Iris | TAMATWhere stories live. Discover now