DEEP [ENAM PULUH]

Start from the beginning
                                    

Dear Dekka

Hallo Dekka. Apa kabar? Semoga saat kamu menerima surat dari saya, entah itu dua hari kemudian, berbulan bulan kemudian ataupun setahun kemudian, bahkan dua tahun kemudian, semoga kamu tetap dalam keadaan yang baik-baik saja.

Sebentar saya tebak. Pasti kamu sekarang makin ganteng. Hehe engga bercanda. Ini agak menye-menye sih. Tapi gaada salahnya bukan kamu baca seksama dan hati-hati tulisanku ini. Baik. Saya mulai saja ya.

Kamu tahu tidak? Semenjak perkenalan saya dengan kamu sewaktu beberapa tahun yang lalu dunia saya berubah menjadi lebih menyenangkan.

Rasa-rasanya dunia saya diaduk-aduk oleh segala macam warna kamu.

Sebelum kamu datang, rasanya dunia saya hanya abu-abu.

Maaf, perkenalan saya dengan kamu sama sekali tidak menyenangkan.

Memang saya bersikap tidak menerima kamu. Bahkan kesannya seperti menolak. Namun jujur, pada waktu itu saya mempunyai alasan yang kuat.

Saya beri tahu alasannya. Saya tidak suka sama kamu karena kamu selalu bermain hati.

Saya sangat benci dengan orang seperti itu. Belum lagi resiko dekat denganmu akan dimangsa oleh satu sekolah. menyebalkan.

Apalagi melihat wajah kamu yang angkuh itu. Malas saya.

Belum lagi kamu yang jadi langganan guru BK, tawuran, jail, suka bolos. Huh benci saya.

Tapi saya salah duga. Benar kata orang, saya tidak boleh menilai hanya dari sampulnya saja.

Saya ingat betul waktu itu kamu sangat penasaran sekali dengan saya.

Karena di antara teman cewek satu kelas, hanya saya yang benci kamu. Lucu sekali waktu itu.

Kamu mencari-cari nomor telfon saya. Berusaha untuk menganggu saya dengan berdalih iseng. Ah gemas juga kita waktu itu.

Berkali-kali kamu menghubungi saya, tapi saya tidak gubris.

Namun anehnya saya penasaran.

Akhirnya saya mengetahui bahwa itu nomor kamu. Sontak saya semakin malas saja dengan kamu.

Puncaknya saya ingat betul, kamu menunggu saya di parkiran dan mencegah saya untuk pulang.

Kamu terang-terangan bertanya kenapa saya benci kamu. Tapi saya tidak menjawab.

Lalu kamu terdiam. Anehnya kamu tidak marah. Kamu malah bercerita tentang segalanya.

Keluargamu. Di situ saya menyadari sesuatu. Sikapmu begini karena faktor yang berusaha kamu tutupi.

Semenjak saat itu, saya jadi tidak membencimu lagi Ka. Sama sekali. Saya malah sangat ingin merangkulmu agar merasa tidak sendirian.

Ajaibnya, saya yang ingin memberimu warna malah sebaliknya. Kamu yang memberi warna untuk saya.

Saya hanya tahu buku dan sepi, sedang kamu mengajari bercerita dan ramai.

Saya hanya tahu senyum, sedang kamu mengajari tertawa.

Saya hanya tahu abu-abu, sedang kamu memberi pelangi.

Saya hanya tahu berjalan lambat-lambat untuk menghadapi hidup, sedang kamu mengajari saya berlari untuk mengejar hidup.

Saya hanya tahu sedih, sedang kamu mengajari saya bahagia.

Tak ada yang sepengertian kamu dalam memahami saya. tak pernah ada.

-DEEP-Where stories live. Discover now