DEEP [EMPAT PULUH TUJUH]

1K 76 8
                                    

Keesokan harinya sekitaran jam 9 pagi Abel sudah siap. Dia terlihat rapi dengan setelan jeans dan kaos merah kebanggaannya. Hari ini dia berniat menjalankan misi keduanya.

Abel meraih handphonenya. Menghubungi nomer yang baru didapatnya kemarin dari Ama. Setelah menghubungi nomor itu, Abel menyambar kunci mobil di atas meja belajarnya. Mengambil jaket dan menuruni tangga pergi dari rumah. Dia harus menjelaskan semuanya pada orang di sana. Agar orang di sana tahu kebenerannya. Agar orang di sana tidak memandang gadis itu sebelah mata.

Abel melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Hanya butuh waktu sekitaran sepuluh menit untuk sampai di rumah megah itu lagi.

Abel turun dari mobilnya sambil membawa tas berisi berkas-berkas. Dia memencet bel rumah itu. Tak lama kemudian, keluarlah pemilik rumah.

"Nak Abel? Ada apa?" Astrid agak sedikit terkejut.

Abel menarik napasnya dalam-dalam. "Tante, Abel boleh bicara sebentar?"

"Boleh, masuk dulu gih, tante buatin minum ya."

Abel hanya tersenyum kikuk dan mengekori Astrid. Abel duduk di ruang tamu sambil menunggu Astrid kembali.

Tak lama kemudian, Astrid kembali dengan nampan berisi makanan dan minuman.

"Maaf, nak Abel tadi mau bicara apa?"
Entah kenapa jantung Abel berpacu dua kali lebih cepat. Dirinya sebenarnya tak siap jika harus mengungkapkan fakta itu. Tapi kalau tidak diungkapkan pastinya masalah ini tidak akan kelar, malah bisa jadi nantinya akan melebar.

Abel mengeluarkan map coklat dari dalam tasnya. Di berikannya map coklat itu kepada Astrid.

Astrid menerima map itu dengan ragu.

"Ini apa?"

"Buka aja tante,"

Dengan penuh keraguan, Astrid membuka map coklat itu. Dengan seksama Astrid membaca detail demi detail keterangan yang tertera di selembar kertas dari map coklat yang ada di tangannya.

Di situ ada nama putri sulungnya dan beberapa catatan medis tertera di sana.

Astrid mengerutkan keningnya semakin dalam. Tidak paham apa yang tertera dalam selembar kertas itu. Nama-nama keterangan yang tertera begitu asing di mata Astrid. Sehingga Astird hanya diam setelah membaca selembar kertas itu.

"Ini apa nak Abel?" Astrid mengulang pertanyaannya.

Abel lagi-lagi menarik napas dalam-dalam. Mengumpulkan segala keberaniannya untuk menjelaskan detailnya.

"Itu hasil pemeriksaan Quinta sekitar 10 tahun yang lalu tante." Akhirnya Abel dapat mengungkapkannya.

Alis Astrid hampir saja menyatu karena ia semakin mengerutkan keningnya. "10 tahun yang lalu?"

"Iya, selama ini ternyata Quinta menderita Diseleksia tante."

"Diseleksia itu apa?"

"Diseleksia adalah suatu gangguan proses belajar di mana seseorang mengalami kesulitan dalam hal membaca, menulis, atau mengeja. Penderita Diseleksia akan sulit mengidentifikasi bagaimana kata-kata harus diubah atau diucapkan menjadi bentuk huruf atau kalimat." Terang Abel.

Seketika itu juga Astrid langsung membungkam mulutnya sendiri. Rasa penyesalan yang mendalam mulai menyusup kedalam hatinya.

Selama ini Astrid selalu menuntut Quinta agar sama dengan adeknya. Tapi Quinta sama sekali tidak bisa. Ternyata selama ini bukan karena Quinta tidak mau berusaha atau tidak pintar, tapi karena kelainan yang dideritanya membuat aktivitas belajarnya jadi terhambat.

Sungguh, Astrid amat sangat menyesal karena memarahi Quinta gara-gara nilainya jelek. Pantas saja nilainya jelek. Quinta tidak bisa membaca dengan baik dan benar seperti anak normal pada umumnya.

"Kamu tahu dari mana?"

"Kemarin waktu Abel ke rumah tante Astrid terus dibawa sama tante Alya, nah di situ Abel diceritain semua yang terjadi sama Quinta. Jujur awalnya Abel sama sekali gak percaya. Sampai pada akhirnya cerita tentang kelainan Quinta terbongkar juga."

"kalo boleh tahu sejak kapan Quinta menderita diseleksia?" tanya Astrid dengan penuh kehati hatian.

"Sejak kecil tante. Waktu itu sekitar umur 5 kalo enggak 6 tahun, Quinta lamban dari anak-anak biasanya. Dia kesulitan dalam hal menulis, membaca dan mengeja. Tante Alya pikir itu adalah hal yang wajar, karena Quinta masih anak-anak. Dan mungkin lama kelamaan dia akan paham. Namun hal itu terus saja berkelanjutan. Sampai pada akhirnya tante Alya memutuskan untuk memeriksakan Quinta ke dokter. Ternyata Quinta menderita diseleksia. Pada saat itu tante Alya bingung harus bagaimana. Usia Quinta masih kecil. Dan tidak mungkin tante Alya menjelaskan masalah ini. Mau membicarakan masalah ini sama tante Astrid tapi tante Alya gak enam hati, karena waktu itu tante Astrid sedang sibuk-sibuknya merawat adeknya Quinta. Tante Alya mencari solusi agar Quinta dapat belajar dengan nyaman. Tante Alya membelikan earphone untuk Quinta. Dan earphone itu di isi pelajaran-pelajaran yang di sampaikan memalui rekaman. Kadang tante Alya juga merekam buku yang dibacanya lalu didengarkan Quinta." Jelas Abel panjang lebar.

Lagi-lagi Astrid meneteskan air mata. Dia sekarang tahu kenapa kemana-kemana anaknya itu selalu mebawa earphone yang bertengger di lehernya. Ternyata dia tidak mendengarkan musik, melainkan mendengarkan pelajaran. Rasa menyesal semakin merasukinya. Dia salah sangka kepada Quinta.

"Tapi nak Abel, apa Quinta tahu tentang kelainan yang dideritanya?"

"Kata tante Alya awalnya dia enggak tahu tante. Tapi suatu ketika Quinta menemukan berkas-berkas yang tante baca tadi. Dan mau tidak mau tante Alya menjelaskan semuanya. Awalnya Quinta sempat down. Karena waktu itu dia baru kelas 6 sd. Tapi tante Alya menyemangati Quinta terus menerus. Dan akhirnya Quinta bangkit dari keterpurukannya berkat semangat dari tante Alya." Terang Abel lagi.

"Tapi kenapa Quinta gak pernah menjelaskan semuanya sama tante?"

"Kalau itu Abel kurang tahu tante. Abel di sini cuma mau meluruskan semua. Supaya tante tahu kebenarannya. Kasian Quinta tante."

"Tante gak tahu harus ngomong apalagi. Tante menyesal telah membentak Quinta. Memarahinya hingga membuat dia pergi seperti sekarang ini."

Lagi-lagi tangisan Astrid tumpah begitu saja. Dia baru menyadari kesalahannya. Andai saja anaknya bercerita tentang kelainannya, pastilah Astrid tak akan memperlakukan Quinta seperti itu. Pastilah Astrid akan memaklumi keadaan itu.

Tapi anaknya itu hanya bisa diam tanpa protes sedikitpun. Hingga pada titik puncaknya ketika tidak bisa menahan semuanya, Quinta memilih pergi dari rumah tanpa adanya pamitan.

"Nak Abel, tante bisa minta tolong?"

"Selama Abel bisa bantu pasti Abel bantu tante." Kata Quinta tulus.

"Tolong bantu tante cari Quinta nak Abel. Tante mau minta maaf sama dia. Tante menyesal." Mata itu menyiratkan penyesalan yang tulus.

Abel menganggukkan kepalanya pelan, "Iya tante, pasti Abel bantu. Sekarang Abel pamit dulu ya tante, masih ada keperluan lain."

Astrid menganggukkan kepala dan mengantar Abel sampai depan.

Abel menaiki mobilnya dan menancapkan gas meninggalkan rumah Quinta.

Jam menunjukkan pukul 12 siang. Ia ada janjian dengan seseorang di sebuah kafe. Misi kedua selesai. Sekrang Abel menjalankan misi ketiganya.

Semoga lo baik-baik aja di sana

🌊🌊🌊

Salam jomblo!

-DEEP-Where stories live. Discover now