DEEP [ SEPULUH]

1.6K 138 2
                                    

Jam istirahat sudah berlalu sejak lima menit yang lalu,  namun yang dilakukan Gladis justru hanya berdiam diri di kelas. Suasana kelas begitu sepi. Hanya dirinya saja yang ada di kelas. Ajakan dari beberapa temannya pun ditolak dengan alasan gak enak badan. Jujur, dia tidak suka dengan ajakan teman-temannya itu. Karena mereka hanya sekedar basa basi saja. Dan Gladis muak akan sandiwara itu.

Pernah sekali ia mengiyakan niat baik teman-temannya,  namun yang ia dapat malah kebalikannya. Dia tidak di anggap ada di sekitar mereka. Dianggap kasat mata. Jadi untuk apa mereka mengajak Gladis di sana jika dianggap angin lalu?

Selama ini dia keluar ke kantin hanya ketika diajak Quinta saja. Selebihnya ia memilih berdiam diri di kelas memakan bekalnya, menonton idolanya di handphone, atau sekedar pergi ke perpustakan.

Merasa terasingkan dan tidak dianggap membuatnya terbiasa. Hingga akhirnya dia menarik diri dan bersikap dingin seperti sekarang ini. Bukan anti sosial atau apa,  namun cenderung bentuk pertahanan agar dia tidak sakit akan sikap teman-temannya yang fake itu. Dia selalu di anggap aneh oleh teman-temannya. Karena selalu mengindar ketika di ajak ke kantin atau hangout. Gladis benci keramaian.

Ingin rasanya dia menyampaikan semua itu pada Quinta dan Abel. Namun rasanya dia belum siap akan respon keduanya. Dia tidak mau menjadi beban untuk kedua sahabatnya itu. Lagian dia juga masih bisa memendam semuanya.

Siapa yang tahu, dibalik wajah yang tenang dan dingin itu menyimpan berjuta masalah yang berusaha dia pendam sendiri. Sebisa mungkin ditutup rapat-rapat agar tidak mencuat ke mana-mana.

Bukannya tidak ingin bercerita, namun dirinya tidak ingin membebani. Gladis tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Quinta dan Abel jika tahu dirinya diperlakukan seperti ini. Di asingkan dari dunia.

Tes.

Tanpa sadar bulir-bulir bening menetes dari mata sipit Gladis. Selalu saja seperti ini. Mengingat semuanya membuat Gladis tak sanggup membendung cairan bening itu untuk terjun.

Kepalanya juga terasa berat dikarenakan omelan orang tuanya. Awalnya dia hanya menganggap angin lalu saja,  tapi semakin ke sini orang tuanya semakin mengekangnya. Dia bagai burung dalam sangkar. Selalu dianggap anak kecil oleh orang tuanya. Padahal dia bukan anak bungsu. Adeknya saja tidak diperlakukan sampai segitunya.

Yang membuat kepala Gladis berdenyut adalah kata-kata orang tuanya belum lama ini. Kata-kata itu membuatnya tak dapat berkutik. Yang membuatnya menjadi harus menarik diri lebih jauh dari dunianya. Dunia yang hanya di situ dia bisa jadi diri sendiri.

Namun lagi-lagi Gladis hanya bisa pasrah. Dia tidak ingin dibilang tidak patuh terhadap orang tuanya. Mau tidak mau dia harus mengiyakan dan melaksanakan. Meski itu teramat berat bagi Gladis. Karena dunia satu-satunya yang membuatnya tertawa di rampas juga. Miris memang.

Gladis mengusap sisa air mata yang jatuh di pipinya. Menyemangati dirinya sendiri untuk bangkit dengan kaki yang kokoh.

You can do it Dis!

🌊🌊🌊

Pulang sekolah,  Quinta berniat akan mengembalikan celana olahraga milik Amar. Dia sedari tadi duduk di bangku depan kelas Amar. Berharap cowok itu melihat dirinya. Namun sudah sepuluh menit berlalu, dan hampir seluruh isi kelas XI ipa 2 kosong.

Apa gue kembaliin besok aja ya?

"Ngapain di sini?"

Suara itu berhasil membuat Quinta tidak jadi berdiri dari tempatnya duduk.

"Mau ngembaliin ini." Quinta memberikan tas kecil berisi celana olahraga yang sudah dia cuci dan setrika rapi tentunya.

Tanpa berkata apapun cowok itu menerimanya.

-DEEP-Où les histoires vivent. Découvrez maintenant