DEEP [DUA PULUH ENAM]

1K 88 0
                                    

Hari berikutnya Abel menjalani hidupnya seperti biasa. Dia sudah siap dengan seragamnya. Ia celingak celinguk di meja makan. Tak ada siapa-siapa. Yang terdengar hanya suara orang memasak dari dapur. Sudah di pastikan itu adalah bundanya.

"Bunda, Bang Varo kemana?"

Bela yang mendengar suara Abel mematikan kompornya.

"Loh? Gak ada?"

Abel menggeleng.

"Mungkin nginep di rumah temannya karena nugas semalaman." Kata Bundanya.

Abel berpikir sejenak, tidak seperti biasanya Varo sampai menginap karena ada tugas. Seperti ada yang menganjal di hati Abel.

"Yaudah, Abel berangkat sendiri ya?"

"Iya, hati-hati, kuncinya di atas kulkas."

"Oke,"

Setelah berpamitan, Abel bergegas mengambil kunci mobil di atas kulkas. Tangan kanannya menenteng sebuah paper bag berisi jaket yang dipinjamkan Gilang waktu roknya robek depan.

Dalam perjalanan, Abel masih terpikir tentang Varo abangnya. Dari kemarin abangnya itu menghilang tak ada kabar. Rasa khawatir menyelimuti hatinya.

Semoga lo gak kenapa-napa bang.

Setelah sampai di sekolah, Abel turun dari mobilnya. Menyusuri lorong demi lorong menuju kelasnya. Hari ini dia berencana akan mengembalikan jaket itu kepada sang pemilik.

Namun baru sampai dekat ruang seni musik, langkahnya mendadak berhenti ketika mendengar suara yang familiar. Seperti suara Gilang. Karena penasaran, Abel mendengarkan percakapan Gilang dengan gerombolannya.

"Gimana bro? Masih inget kan taruhan kita?"

"Bisa gak lo naklukin si galak Abel?"

"Udah hampir dua minggu nih, waktu lo hampir habis."

"Mana nih si playboy sekolah kita yang katanya bisa naklukin cewek manapun?"

"Sorry bro, gue rasa ini salah. Gak seharusnya gue mainin hati dia. Dia itu baik." terang Gilang lirih.

Hati Abel mencolos mendengar itu semua. Ternyata Gilang mendekatinya ada maksud. Ternyata Gilang hanya menjadikannya bahan taruhan.

Tanpa pikir panjang, Abel membuka pintu ruang musik tersebut.

"Jadi selama ini lo cuma jadiin mainan lo? Lo jadiin gue bahan taruhan lo?" nada Abel meninggi. Matanya memerah.

Mendengar suara Abel, Gilang membalikkan badan. Betapa terkejutnya Gilang melihat Abel sekarang ada di depannya. Begitu juga teman-temannya. Wajah Gilang berubah pucat pasi.

"Bel, ini gak—"

"Cukup! Gak perlu ngasih penjelasan apapun. Semua udah jelas. Gue kira lo beda. Gue kira lo itu gak kayak omongan orang-orang. Ternyata gue salah. Lo lebih bejat dari itu!" Napas Abel naik turun, dia benar-benar marah.

Gilang mendekati Abel, meraih tangan Abel. Namun dengan kasar Abel menepisnya.

"Jangan pernah muncul dihadapan gue lagi! Gue gak nyangka lo kayak gitu!" Abel melempar paper bag yang di bawanya. Berlari sekencang kencangnya. Sedangkan Gilang diam di tempat.

Hatinya benar-benar diliputi rasa bersalah yang besar. Dia harus menjelaskan semuanya.

Gilang mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar bingung sekarang.

"Ini semua salah lo pada!!" Bentak Gilang kepada keempat temannya.

Gilang keluar dari ruang musik dan membanting pintu dengan kasar. Dia mengejar Abel. Namun dia tak menemukan Abel. Ia berteriak putus asa. Rasa menyesal menyelimuti hatinya. Harusnya dia tidak mengiyakan tantangan teman-temannya itu. Harusnya dia tidak menjadikan Abel korban.

-DEEP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang