DEEP [EMPAT PULUH DELAPAN]

1.1K 88 11
                                    

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, akhirnya Abel sampai di sebuah kafe tempat janjiannya dengan seseorang.

Abel turun dari mobil sambil terus melihat handphonenya. Karena Abel sama sekali belum pernah melihat orang itu. Hanya foto yang dia dapat dari akun sosmednya saja yang menjadi panduan Abel menemukan orang itu.

Sampai di kafe itu, Abel menyapukan matanya ke seluruh area. Matanya menangkap sesosok yang mirip dengan foto di handphonenya.

Dengan langkah ragu, Abel menghampiri meja di pojokan kafe itu.

"Amar?" ucap Abel lirih.

Yang merasa terpanggil langsung mendonggakkan kepalanya. Amar mengerutkan dahinya samar. Merasa asing dengan orang yang memanggil namanya.

Abel menarik kursi di depan Amar. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. Tapi sayangnya keduluan oleh Amar.

"Jadi yang sms gue tadi itu elo?"

Abel menganggukkan kepalanya pelan.

"Gue ke sini mau ngajak lo nyari Quinta. Apa lo tau kalo dia kabur?"

Amar tambah mengerutkan dahinya dalam. Air mukanya berubah menjadi tak terbaca. Pertanyaan tentang keberadaan Quinta terjawab sudah.

"Kabur?"

Abel mengangguk, "Gue kemarin di kasih alamat sama maminya Quinta. Kata maminya dia kemungkinan ada di sana. Lo gak di line Quinta sebelum dia kabur atau ketemu gitu?"

Amar menghela napasnya kasar. Ternyata Quinta kabur. Pantas saja handphonenya tidak aktif. Seharian kemarin Amar mencari cari Quinta sampai kewalahan sendiri.

Dia bodoh. Dia meruntuki kesalahannya. Andaikan saja dia menjawab telpon dari Quinta atau paling tidak dia membalas line nya pastilah Quinta sekarang ada bersamanya. Dia akan baik-baik saja. Tapi nyatanya dia egois. Dia lebih mementingkan teman-temannya. Andaikan saja waktu itu handphonenya tidak ketinggalan di rumah Arya, pastilah Quinta ada bersamanya sekarang.

Namun penyesalan hanyalah tinggal penyesalan.

"Kok lo diem aja?"

Lagi-lagi Amar menghela napas kasar.
"Sebenernya empat hari yang lalu Quinta line gue banyak banget. Dia juga telpon gue tapi gue gak angkat. Gue tiga hari kemarin pergi sama temen-temen gue. Handphone gue ketinggal di rumah Arya, dan dayanya habis. Pulang-pulang banyak banget notif dari dia. Gue hubungin dia gak aktif. Gue cari dia kemana-mana dari kemarin. Gue sekitaran jam 6 tadi ke rumah Quinta."

"Rumah Quinta?"

"Iya, tapi gak ada sautan."

"Lo bego dipiara sih. Jam 6 pagi tu biasanya pada masih di pasar. Mamanya Quinta kan buka toko besar. Biasanya keluarganya ikut semua ke pasar buat beli keperluan toko. Lo gak tau?"

Amar hanya menggeleng pelan. Dia ingin menertawai dirinya sendiri saat itu. Bahkan kebiasaan di keluarga Quinta pun dia sama sekali tidak tahu. Ah atau Amar saja yang tidak bertanya pada Quinta?

"Dengerin gue ya Mar. Lo boleh sibuk sama temen-temen lo tapi lo jangan lupain Quinta dong. Kurang ngertiin apa sih dia? Lo tertutup sama dia. Dia mau cerita jadi segan juga. Lo harus banyak-banyak peka Mar." terang Abel telak.

Amar mengacak rambutnya frustasi. Abel benar. Dia memang tidak peka mengenai perempuan. Dia kaku soal hal itu. Amar yang selalu mementingkan teman-temannya dan di lain sisi Quinta yang selalu mengertikan hal itu. Amar yang selalu sibuk dengan gamenya dan Quinta yang tidak pernah protes akan hobinya. Dan disaat sedang dalam keadaan kalut seperti ini, lagi-lagi Amar tidak ada di samping Quinta. Lagi-lagi dia sibuk dengan temannya.

Sekarang dia bingung. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dakukannya. Dari kemarin dia sudah mencari keberadaan Quinta, tapi dia tidak menemukannya. Perasaan gelisah menyelimuti hati Amar. Takut jika gadisnya itu sakit. Takut jika gadisnya itu melakukan hal yang nekat di luar kendali. Takut jika gadisnya itu menghilang dan tak akan mau kembali lagi.

Lagi. Amar mengacak rmabutnya hingga tak berbentuk.

Abel yang melihat itu menghela napasnya pelan. Abel tahu, Amar sekarang sedang kalut. Tanpa berkata apapun, Abel menggeret paksa tangan Amar keluar dari kafe itu. Amar yang di tarik paksa tentu saja memberontak.

"Lepasin gue."

"Gak. Lo harus ikut gue. Kita cari Quinta. Kalo lo diem aja dan pasrah kayak tadi, sampe lebaran kingkong gak bakalan ketemu." Tegas Abel.

"B aja. Galak banget." Amar tak kalah sadis.

"Diem lu. Lo yang nyetir." Abel menyerahkan kunci mobilnya lalu masuk ke dalam.

Amar menatap Abel sadis, lalu masuk ke dalam mobil juga.

"Nasib mobil gue gimana?"

"mobil lo aman di situ. Gak bakal di derek elah, khawatir doang timbang mobil. Tu mobil gak punya kaki gak bakalan jalan sendiri." jawab Abel yang membuat Amar naik darah.

Amar menghela napasnya. Untung saja Abel itu sahabatnya Quinta, kalau bukan, Amar pasti sudah melumatnya habis-habis.

"Ini alamatnya, lo tahu?"

Amar mengamati tulisan yang tetera di secarik kertas yang di berikan Abel.
Amar mengerutkan dahinya samar, "Ini bener alamatnya?"

"Gak tau, tapi Maminya Quinya ngasih ini. Emang kenapa?"

"Alamat ini ada di Solo."

Deg!

Jantung Abel mau mencolos dari tempatnya. Quinta sampai sana sendirian? Lagi. Perasaan gelisah melingkupi hati Amar dan Abel. Rasa khawatir sudah menggerogoti setengah rasa tenangnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Amar langsung menancap gas ke alamat yang tertera di secarik kertas itu. Yang ada di pikiran Amar sekarang hanya Quinta. Tidak ada yang lain. Rasa bersalahnya semakin besar ketika mengetahui gadis itu kabur sendirian sampai ke kota orang. Amar akan menyalahkan dirinya sendiri jika terjadi apa-apa terhadap gadisnya.

Semoga lo baik-baik aja, maaf.

🌊🌊🌊

Setelah dua jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai di tempat yang di tuju. Alamat yang tertera di secarik kertas itu membawa mereka ke sebuah apartemen.

Amar dan Abel turun dari mobil dan memasuki apartemen itu. Mereka berdua bertanya pada resepsionis tentang nomor kamar yang tertera di secarik kertas yang di bawa. Setelah mendapat informasi mengenai kamar itu terletak di mana, Amar dan Abel segera menaiki lift. Kamar itu berada di lantai 17.

Abel dan Amar membaca setiap nomor kamar yang tertera di pintu. Dan kamar nomor 229 yang tertera di kertas itu akhirnya ketemu.

Dengan keraguan, Abel mengetuk pintu kamar itu beberapa kali. Dan pintu itu terbuka juga. Menampakkan penghuninya yang tak lain dan tak bukan adalah Quinta. Penampilannya begitu kacau. Rambutnya yang acak-acakan dan mata panda yang menghiasi matanya itu memperlihatkan kelelahan yang berarti.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Abel langsung berhamburan memeluk Quinta. Perasaan lega membuncah begitu saja ketika menemukan sahabatnya itu dalam keadaan baik-baik saja.

Quinta mengurai pelukan itu.

"Kok lo—?" Quinta masih bingung dan kaget dengan kehadiran Amar dan Abel. Dia tidak menyangka jika keduanya dapat menemukan dirinya di sini. Terutama Amar.

"Sttt ... Lo gak perlu tahu gue bisa nyari lo itu dari mana, lo gak perlu tahu Ta. Yang penting lo baik-baik aja itu udah cukup buat gue. Jagan buat gue khawatir kayak gini lagi. Gue gak mau kehilangan lo Ta. Gue pergi dulu ya, baik-baik di sini. Selesaiin masalah lo sama Amar dan Tante Astrid." setelah berkata seperti itu, Abel hanya tersenyum simpul dan meninggalkan Amar dan Quinta di sana.

Maaf Ta, gue harus pergi. Baik-baik ya, semoga waktu membela pertemuan kita. Lagi. Makasih udah mau jadi sahabat terbaik gue.

🌊🌊🌊

-DEEP-Where stories live. Discover now