DEEP [ENAM PULUH LIMA]

74 15 0
                                    

Selamat membaca!!

.
.
.
.

Abel melirik jam tangannya. Jam menuju pukul 7 pagi. Ia meregangkan badannya. Beberapa jam di pesawat hanya duduk membuat badannya sedikit pegal. Matanya berbinar-binar menatap pemandangan di depannya. Ia hirup dalam-dalam udara di sekitarnya seakan-akan takut kehabisan. Senyumnya mengembang. Akhirnya setelah sekian lama, setelah bertahum tahun ia kembali ke kota kelahirannya. Kota kenangannya. Sungguh demi apapun Abel selalu menunggu waktu ini datang.

Orion menepuk pundak Abel pelan, "Bel, itu dah di jemput sama Pak Anto."

Abel mengangguk pelan sambil melangkah menarik kopernya dan diikuti oleh Orion di belakang.

Sepanjang perjalanan ke rumah, Abel benar-benar tidak bisa menyembunyikan bahagianya. Bagaimana tidak? Setelah bertahan-tahun matanya dapat bertumbuk lagi dengan kota yang kata orang terbuat dari rindu, angkirngan dan kenangan. Awalnya Abel tidak percaya, namun ketika ia pergi dari kota ini. Abel benar-benar menyakininya sekarang. Matanya tak lepas dari jendela mobil. Memandang apapun yang dilihatnya. Apapun yang terlewat selama bertahan tahun di kotanya ini. Tak banyak yang berubah dari kotanya. Tetap teduh dan menenangkan. Ah sungguh rasanya Abel sangat ingin memeluk kota ini jika bisa.

Setelah setengah jam perjalanan, Abel akhirnya sampai di rumahnya. Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki lagi di rumahnya itu. Rumah yang tentu penuh kenangan. Di depan rumah Abel sudah disambut oleh Bunda dan Abang kedatangannya. Melihat itu Abel langsung berhamburan memeluk mereka berdua.

"BUNDAA!!! ABANG!!!"

"Yaampun udah besar ya anak Bunda." Bunda ya Abel mengelus elus puncak kepala Abel.

"Adek Abang dah bongsor nih."

Abel tersenyum lalu merangkul Abangnya.

"Eh Orion. Sini dong. Jangan malu-malu kayak baru pertama ketemu aja."

"Ah Bunda mah gitu suka ngegodain." Orion menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Weits broo!" Abangnya Abel bertos ria dengan Orion. "Yok bro langsung ke belakang rumah aja nih kita."

"Sikat!!"

Seddang Abel hanya menggeleng gelengkan kepalanya melihat abang dan lelaki yang di cintainya seakdab itu.

"Yauda yuk gek ke kamar terus beres-beres." Abel dan Bundanya masuk ke rumah.

Setelah Abel beres-beres ia langsung metebahkan dirinya di kasur. Sungguh ia sangat rindu dengan kamarnya ini. Saksi bisu segala kejadian dalam hidupnya selama di kota ini. Ketika mata Abel mengamati kamarnya, matanya tertumbuk pada satu bingkai di meja belajar. Abel langsung bangkit dari tidur dan beranjak ke meja belajar. Diambilnya bingkai tadi.

Seketika cairan bening keluar dari pelupuk mata Abel. Ia memeluk bingkai itu dan mengamati satu-satu wajah orang di bingkai itu. Siapa lagi kalau bukan sahabat-sahabatnya. Sungguh ia sangat rindu dengan keenam sahabatnya. Terutama orang itu. Orang yang berhasil membuat Abel sayang sekali dengannya. Orang yang mengajari Abel tentang banyak hal. Tetiba pikirannya melayang ke masa-masa di mana semua masih normal. Masih baik-baik saja. Sungguh ia sangat rindu dengan segala hal tentang dia. Tentang sahabat-sahabatnya.

Abel berjalan ke arah jendela. Bayang-bayang Dekka tiba-tiba tergambar di sana. Sedang melambai-lambai di bawah dengan motor sportnya. Yah jendela ini adalah saksi di mana Abel akan mengetahui kedatangan Dekka dari jauh atau ketika Dekka iseng lewat rumah Abel dan memberi kabar lewat pesan menyuruh Abel melihat ke luar dari jendelanya.

Abel keluar ke balkon kamarnya. Memandang taman mawar di depan rumahnya. Tiba-tiba bayangan Dekka ada di sana. Sedang bercakap-cakap dengan dirinya. Yah di sana Abel dan Dekka banyak menghabiskan waktu berjam jam hanya untuk menyantap roti bakar dan kopi saja. Lalu mereka berdua akan larut dalam percakapan sampai berganti hari. Sungguh kenapa setiap sudut rumah Abel mengandung unsur Dekka. Tidak bsiakah segala kenangan ini menguap begitu saja tanpa perlu adanya pamitan? Bisakah Abel amnesia sekarang juga?

-DEEP-Where stories live. Discover now