DEEP [SEBELAS]

1.5K 130 1
                                    

Hari ini adalah hari yang ingin cepat-cepat Aruna lalui. Bahkan jika bisa, dia akan meniadakan hari ini. Tapi ada daya, waktu tak bisa berjalan sesuai kemauannya.

Hari ini dia bertekat akan menemui cowok itu. Mendengarkan semua penjelasannya. Dan melakukan tindakan yang semestinya. Yah, Aruna harus berani mengambil resiko apapun itu. Apapun.

Sekali lagi, dia memandangi kafe itu dari dalam mobil. Meyakinkan hati, memantapkan hati untuk bertatap muka dan berbicara.

Ia menarik napas panjang. Kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Setelah dirasa yakin, dia turun dari mobil dengan langkah satu satu masuk ke dalam kafe. Baru beberapa langkah, rasanya kenangan menyerbunya dengan sadis. Kafe ini menjadi saksi kebisuan. Menjadi satu-satunya keterangan dua tahun yang lalu. Lihat. Sudut-sudutnya tak ada yang berubah. Masih sama.

Aruna mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Dan lihat. Bahkan cowok itu masih memilih tempat duduk yang sama seperti dua tahun lalu. Tak perlu waktu lama, Aruna langsung dapat menemukan cowok itu. Dia hafal betul postur tubuhnya.

Cowok yang sedari tadi menundukkan pandangannya langsung mengangkat wajah begitu indra pendengarannya itu menangkap sosok suara langkah kaki yang mendekat.

Aruna menarik kursi di depannya. Duduk tanpa melihat ke arah cowok yang sekarang sedang memandangnya lekat-lekat.

Atmosfer canggung memenuhi lingkup mereka berdua. Seakan akan udara sesak di antara mereka berdua. Hanya diam yang mendominasi mereka saat ini.

Pelan, Aruna mencoba mengangkat wajahnya. Dan sempurna. Matanya beradu dengan mata cowok di depannya. Ah, mata itu. Mata penuh ceria yang selalu Aruna rindukan dua tahun belakangan ini. Mata yang tak pernah mengisyaratkan kesedihan.

"Maaf." Akhirnya Bintang membuka pembicaraan. Dan hanya satu kata itu yang berhasil lolos dari mulut Bintang.

"Maaf?"

Bintang menghela napas.

"Maaf Aruna, waktu itu aku gak bermaksud kayak gitu. Aku punya alasan tersendiri."

"Aku butuh inti, bukan pembuka atau basa basi." Suara Aruna agak terdengar ketus.

"Oke, Aku jelasin." Lagi, Bintang menghela napas panjang. "Maaf, dua tahun yang lalu aku pergi tanpa kejelasan. Aku gak bisa ngomong alasannya waktu itu. Aku takut kamu gak bisa terima."

"Setidaknya kamu kasih penjelasan. Bukannya main tinggal gitu aja. Aku ini apa buat kamu? Apartemen? Pergi dan dateng sesuka kamu? Iya?"

Bintang berdecak. Dia tahu, pembicaraan ini akan menyulut emosi Aruna.

"Gak. Bukan itu Runa." Bintang hampir saja frustasi menjelaskan pada Aruna.

"Terus apa?"

"Aku dijodohin sama mamah aku."

Jleb!

Kata-kata Bintang berhasil membuat Aruna kicep. Berhasil membuat Aruna diam di tempat tanpa berkata apa-apa. Kakinya mendadak lemas. Tanpa sengaja ia melihat cincin yang tersemat di jari Bintang. Membuat mata Aruna memerah.

"Kamu—?"

"Iya Runa, aku udah tunangan, maafin aku." Ucap Bintang penuh penyesalan.

"Jadi kamu ke sini cuma buat ngomong kalo tunangan?"

"Enggak Runa, justru aku ke sini mau ngajak kamu kembal. Kita perjuangin sama-sama. Aku bakalan ngomong sama mama aku kalo aku itu sayangnya sama kamu."

Aruna tertawa hambar "Sayang sama aku? Mana ada Bin, sayang tapi ninggalin tanpa kejelasan."

"Tapi aku punya alasan buat semua itu Runa."

-DEEP-Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα