DEEP [TIGA BELAS]

1.3K 107 0
                                    

Pecahan gelas dan piring berserakan di mana-mana. Rasanya Abel tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Adu mulut memenuhi indra pendengaran Abel.

"Aku tahu mas, mas ada main kan sama istri sopir kita si Sinta itu? Iya kan mas?" untuk pertama kalinya Bela—bunda Abel menggunakan nada tinggi kepada Anto—suaminya.

"Kalo iya kenapa? Hah? Aku memang suka dengannya, lalu kau mau apa?!"

Bela menggeleng tak percaya. Cairan bening tak dapat dibendung. "Tega mas kamu sama aku!"

"Banyak omong kamu!" Anto mengambil kursi kayu di depannya dan hendak melemparkannya ke Bela.

"Berhenti semua!! Cukup!!" Varo—kakak Abel berteriak kencang hingga membuat Ayahnya menghentikan aksi melempar kursi itu.

"Jangan sakiti Bunda! Saya pikir anda ini laki-laki yang bertanggung jawab. Yang bisa menjadi panutan keluarga, tapi saya salah besar. Ternyata anda tak pantas saya sebut sebagai ayah!" Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulut Varo.

Plakk!

Tamparan keras dilayangkan dengan mulus oleh Anton di pipi anaknya.

Varo tertawa hambar. "Tampar saja saya. Silakan. Asal jangan sakiti bunda saya!"

"Cukup mas! Kamu boleh sakiti aku. Tapi jangan anak-anakku." Bela berteriak. Teriakan syarat akan kepedihan. "Aku mau cerai dari kamu!!"

"Baguslah kalau begitu. Akan ku urus secepatnya!"

Kaki Abel melemas. Dia mencoba mencerna satu persatu kalimat yang didengarnya. Mencoba memahami maksud dan isinya. Pelupuk matanya sudah di penuhi cairan bening yang jika Abel berkedip satu kali saja maka cairan itu akan tumpah.

Abel membungkam mulutnya. Cairan itu akhirnya keluar juga. Bebas meluncur dengan deras.

"Abel benci Ayah!!"

Setelah mengatakan itu, Abel langsung pergi begitu saja.

"Varo, kamu cepat kejar adek kamu, bunda takut dia kenapa-kenapa."

"Ta—"

"Udah, bunda gakpapa." Bela meyakinkan anaknya.

Varo mengangguk, lalu mengejar Abel.

Varo menahan tangan Abel yang tadinya hendak keluar dari pintu gerbang.

"Bang, lepasin gue, Gue butuh sendiri." Abel mengurai tangan Varo yang menahannya. Lalu meninggalkan Varo yang terdiam di ambang pintu gerbang.

Varo membiarkan Abel pergi bukan karena dia tidak sayang atau tidak peduli, namun dia paham. Adeknya itu butuh waktu untuk memahami semuanya.

🌊🌊🌊

Sudah satu jam Abel berjalan tanpa tujuan. Jam bahkan sudah menunjukkan pukul 9 malam. Dan Abel sendirian. Kakinya terasa lemas. Air matanya bahkan sudah habis untuk menangis. Dia sama sekali tak ada niatan untuk pulang ke rumah.

Kejadian satu jam lalu masih saja terekam jelas di otaknya. Suara kasar yang di lontarkan kedua orang tuanya masih saja bersahut sahutan. Pedih dan sakit rasanya. Ayah, laki-laki yang selama ini tak pernah membuatnya sakit, laki-laki yang tak pernah membuatnya menangis, kini pandangan itu seketika sirna.

Abel menepi. Duduk di trotoar jalan. Kakinya tak kuat lagi untuk berjalan. Ia meringkuk. Memeluk tubuhnya sendiri. Menenggelamkan kepalanya berharap suara isakannya akan teredam.

"Abel?"

Suara itu membuat Abel mendongakkan kepalanya. Dan dia mendapati Arel di depannya. Segera Abel menghapus jejak air mata yang tersisa.

-DEEP-Where stories live. Discover now