DEEP [DUA PULUH]

1.2K 98 0
                                    

Mereka semua sudah sampai di rumah Dekka. Duduk di taman belakang rumah sambil membentuk lingkaran. Kali ini mereka hanya berenam saja. Karena Gladis tidak bisa ikut.

Mereka saling tatap. Keheningan memenuhi lingkup sekitaran mereka. Jika sudah posisi seperti ini dan suasananya hening, pasti akan ada sesuatu penting yang akan di bicarakan.

Lima menit ...

Sepuluh menit ...

Dua puluh menit ...

Tidak ada yang berbicara. Semua hanya diam dan hening.

"Elah, kita tu lagi lomba siapa paling lama diem dia yang menang ya?"celetuk Arel.

Seketika itu juga Arel mendapat tatapan tajam dari ke lima temannya.

"Piss, oke-oke gue diem." Arel kicep.

"Oke, kalian tahu kan kalo kita udah bentuk formasi kayak gini mau ngapain?" Dekka bersuara. Membuka percakapan.

Semua mengangguk.

"Gue cuma mau ngomong aja sih, kita itu sahabatan udah lama. Lima tahun ada lah ya. Tapi gue rasa kita itu kurang terbuka. Buat apa punya sahabat kalo gak buat berbagi suka duka. Ayolah, kita udah sama-sama dewasa. Jangan nunggu di suruh baru cerita. Elo Bel, La, Na, Ta, lo juga Rel, ya gue juga."

Semua lagi-lagi diam. Satu persatu hati mereka tersentil. Di liputi rasa aneh yang mulai menjalar.

"Lo La, kalo cerita gak cuma sama Runa doang. Lo juga Na. Lo juga Bel, kalo cerita gak cuma sama Quinta sama Gladis doang."

Lagi. Hati mereka di liputi rasa bersalah. Mereka membenarkan kata-kata yang Dekka ucapakan. Memang benar, mereka kurang terbuka dengan semua. Mereka hanya terbuka dengan orang-orang tertentu saja. 

"Lo juga Ka, lo cerita juga cuma sama Abel sama Arel doang." Celetuk Quinta sebagai bentuk pembelaan.

"Iya, gue juga. Makanya ayo di selesaiin sekarang. Biar semuanya clear. Mungkin ada unek-unek atau masalah apa gitu, siapa tau kita bisa saling bantu ya kan?"

"Iya, Buat apa punya sahabat kalo gak cerita satu sama lain. Berbagi sakit juga oke-oke aja kan? Gak selamanya kita bisa berbagi bahagia terus, pasti ada sedihnya. Mungkin diantara kita ada yang lagi punya masalah besar. Mungkin bisa cerita? Siapa tahu ada solusi ya kan Bel?" Arel menatap Abel. Sedangkan Abel hanya diam. Hatinya bimbang.

Lama Abel diam, akhirnya dia buka suara.

"Gue mau cerita." Suara itu begitu lirih. Namun masih dapat di dengar oleh pendengaran kelima temannya. Semua tatapan tertuju pada Abel.

Abel menundukkan kepalanya. Memejamkan matanya sejenak. Menarik napas sedalam dalamnya. Mempersiapkan diri untuk bercerita.

"Bokap nyokap gue mau pisah."

Dan kata-kata itupun membuat raut wajah kelima sahabatnya berubah.

Quinta refleks memegangi pundak Abel. Merangkulnya. Berharap dapat menyalurkan kekuatan.

"Bisa ceritain lebih detail?" Kata Nila hati-hati.

"Bokap gue selingkuh sama istri sopir gue sendiri. Nyokap gue dimarah-marahin gara-gara dia mergokin bokap gue lagi telpon-telponan sama selingkuhannya." mata Abel mulai memerah lagi. "Nyokap gue minta cerai."

"Apa gak ada jalan keluar lagi?" tanya Dekka hati-hati.

"Gak. Itu yang terbaik. Gue gak bisa lihat nyokap gue di sakiti lebih dalam. Gue gak bisa."

Tes.

Cairan bening itu keluar lagi dari mata Abel.
Cepat-cepat Quinta merangkul Abel. Sedangkan Dekka mengambilkan tissue. Mengusap air mata Abel.

-DEEP-Where stories live. Discover now