DEEP [DUA PULUH SEMBILAN]

1K 84 0
                                    

Hari ini Abel memang berniat berangkat pagi. Karena dia malas jika berangkat siang pasti akan terkena macet. Jam setengah enam pagi, Abel sudah siap dengan seragamnya. Baru saja ia akan keluar kamar, suara gaduh terdengar samar-samar dari ruang tamu. Abel melangkahkan kaki menuju ruang tamu, dan betapa terkejutnya Abel melihat pemandangan yang ada di depannya.

"Bun, kenapa sih ayah kayak gitu? Ayah gak sayang sama kita ya Bun?"

"Sayang nak, dia sayang sama kita." jawab Bela setengah terisak.

"Lalu kenapa Bun dia setega ini sama kita." Varo mengambruk. Dia dalam keadaan tidak sadar. Bau alkohol tercium dari tempat Abel berdiri.

"Varo, udah yuk nak, sekarang kita ke kamar aja." Bela menuntun anaknya. Namun tangan Bela di tepis kasar oleh Varo hingga Bela jatuh ke lantai.

Dengan gerakan cepat Abel mendekati bundanya.

"Bunda gak papa?"

"Enggak sayang, bunda gak papa."

Lalu Abel membantu Bundanya berdiri. Mata Abel memerah. Dia menatap abangnya tajam.

"Sejak kapan sih abang mabuk-mabukan kayak gini?"

"Apa urusan lo tentang hidup gue? Ha? Lo siapa?" Suara itu naik satu oktaf.

"Bang sadar bang, putus asa boleh tapi jangan sampai kayak gini. Yang lo lakuin itu salah bang. Jauhi minuman laknat itu bang! Lo salah!" suara Abel juga naik satu oktaf.

Plak!

Entah kesambet apa, Varo menampar Abel. Abel hanya diam. Menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Belum pernah abangnya itu main tangan dengan Abel, ah jangankan main tangan, bicara kasar saja tidak pernah.

"Lo bukan Varo yang gue kenal!"

Lalu Abel berlari meninggalkan ruang tamu. Namun tangannya di cekal oleh Varo. Varo merasa bersalah dengan apa yang di lakukannya.

"Dek, maafin gue dek, gue—"

"Lepasin tangan gue!" Abek menepis tangan Varo kasar. Lalu dia berlari secepat yang dia bisa. Berharap abangnya itu tidak mengejarnya.

Sampai di sekolah ternyata masih sepi. Belum ada banyak anak di sekolah. Perasaan Abel sekarang sedang kacau. Moodnya rusak gara-gara inseden tadi pagi. Dia memutuskan untuk mengisi amunisi perutnya. Karena dengan makan, mood Abel akan sedikit membaik. Setidaknya nanti waktu pelajaran matematika dia bisa berkonsentrasi lebih.

Jalanan menuju kantin cukup lenggang. Dari arah berlawanan, ternyata ada Gilang. Abel pura-pura tidak melihatnya. Dia tidak ingin mood nya tambah rusak.

"Abel?"

Suara itu memanggil namanya. Abel mempercepat langkahnya. Namun secepat apapun dia melangkah, Gilang tetap bisa mengejarnya. Buktinya sekarang Gilang berhasil meraih tangan Abel.

"Bel, lo kenapa?"

Abel berdecak," Lepasin. Tangan. Gue."

Gilang melepaskan tangan Abel.

"Lo kenapa?"

Abel tersenyum miring, "Lo bego atau gimana sih? Lo masih tanya gue kenapa? Bisa mikir gak?" kata Abel dengan nada ketus seperti pertama kali kenal Gilang.

"Bel tapi gue bisa jelasin." Gilang memelas.

"Jelasin apalagi? Udah jelas kan semuanya? Telinga gue masih normal buat denger omongan lo kemarin." tegas Abel

"Tapi Bel itu semua gak kayak yang lo duga."

"Udah lah Lang. Gue gak mau tambah ngerusak mood gue pagi ini." setelah berkata seperti itu, Abel meninggalkan Gilang yang hanya diam tanpa bisa mengejar.

-DEEP-Место, где живут истории. Откройте их для себя