DEEP [TUJUH PULUH TIGA]

60 9 0
                                    

Dengerin mulmed asik juga lho sambil baca part ini. Enjoy it(:

.
..
...
...
.....
.....

Sudah sejak sepuluh menit yang lalu Abel berada di depan rumah megah ber cat putih ini. Rumah yang sejujurnya sudah dianggap Abel seperti rumahnya sendiri. Akan tetapi rasanya sekarang ingin masuk seperti dulu saja seperti ada sekat yang tidak bisa diterobos begitu saja tanpa izin yang empu rumah.

Perasaan Abel sejak tadi berkecamuk. Gemuruh di hatinya tidak bisa berbohong. Ia rindu. Sangat rindu. Matanya menangkap segala kenangan di sini. Seakan-akan semuanya menjelma menjadi Dekka dan Abel.

Abel menarik napasnya panjang. Mengumpulkan segala keberanian yang tersisa setengah karena sudah lenyap duluan. Mau bagaimanapun Abel harus bisa melakukan ini. Yah. Harus.

Dengan segala kekuatan yang tersisa, Abel membunyikan klakson mobilnya. Satpam yang mendengar klakson itu bergegas membuka pintu gerbang dan mengetuk kaca mobil Abel.

Abel membuka kaca mobilnya perlahan. Di sana tampak Pak Tatang dengan wajah yang masih sama seperti dulu. Hanya ubannya semakin terlihat jelas saja yang berbeda.

Pak Tatang sempat mengucek ucek matanya sebentar. Seakan tidak percaya dengan pemandangan di depannya.

"Mbak Abel? Ini beneran Mbak Abel? Ya Allah Mbak. Kemana aja to. Bapak rindu sama Mbak Abel je,"

Lihatlah senyum tulus itu. Ingin rasanya Abel mengabadikannya sekarang juga. Tapi bukan itu tujuannya datang ke sini.

"Mbak masuk aja, sudah tau kan harus apa? Kan setiap hari ke sini. Mas Dekka masih di kantor Mbak. Sebentar lagi pulang paling jam 4 sudah otw,"

'kan setiap hari ke sini' Abel mengulang perkataan Pak Tatang dalam hati. Lihat. Bahkan satpam rumahnya Dekka saja sudah hafal sangat dengan dirinya.

Abel mengangguk pelan dan memasukkan mobilnya ke pekarangan.

Abel turun dari mobil. Ia segera bergegas menuju pintu dan membunyikan bel.

Beberapa menit kemudian, muncul bibi rumahnya Dekka.

"Loh? Mbak Abel to? Ini beneran mbak Abel?" mata bibi itu berkaca-kaca.

Abel mengangguk sambil menunjukkan seulas senyum kecil.

"Masuk mbak, Mas Dekka masih ada di kantor Mbak. Sebentar lagi pulang kok. Sudah tau kan isi rumah ini? Bibi tinggal ke dapur dulu ya Mbak,"

Lagi-lagi Abel mengangguk.

Abel melihat sekeliling rumah Dekka. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Aroma ruangannya pun masih sama. Semua masih sama. Entahlah, segalanya masih sama seperti dulu.

Langkah kaki Abel refleks membawanya ke taman belakang rumah Dekka. Dan betapa terkejut ya Abel, taman belakang rumah Dekka juga tidak berubah. Tata letak dan tentu saja penghuni tamannya. Mawar merah. Bunga kesukaan Abel.

Tiba-tiba saja rasa sakit seperti menjalar perlahan sampai ke Ulu hati Abel. Sakit. Itulah yang Abel rasakan sekarang. Cairan bening mulai menggenangi pelupuk mata Abel. Cepat-cepat ia segera menengadahkan kepalanya. Berharap Cairan bening itu tidak membuat gerimis di pipinya.

Ternyata benar, di dunia ini ada rasa sakit yang datang bersamaan dengan rasa bahagia. Dan Abel tengah merasakannya.

Abel merasa akan gila sekarang. Segala sudut rumah Dekka terutama taman ini berubah wujud menjadi dirinya dan Dekka. Apakah sampai sebegitunya dia menaruh rasa kepada Dekka? Atau memang hati Abel sudah ditinggal sejak awal di sini? Entahlah. Semuanya tampak rumit. Yang jelas dan tidak rumit di permukaan mata Abel sekarang hanyalah kenangan demi kenangan tentang mereka berdua yang terus saja minta diputar.

-DEEP-Where stories live. Discover now