DEEP [ENAM PULUH ENAM]

75 13 2
                                    

Selamat membaca!!
.
.
.
.
Abel sudah siap dengan kaos garis-garisnya dan Hot pans serta sepatu vans nya. Di tangannya kini telah ada enam lembar kertas lumayan tebal yang semalam membuat kegamangan hebat untuk hatinya. Dan pagi ini pun kegamangannya masih belum berkurang. Sudah hampir setengah jam ia hanya berdiri duduk berdiri duduk sambil mengamati enam lembar kertas lumayan tebal di tangannya. Sungguh dia bingung sekali dan tidak yakin dengan apa yang dilakukan ini memang sudah benar. Dari luar pintu kamar, Orion melihat Abel gelisah. Ia lalu tersenyum simpul dan sangat paham. Orion bersender di ambang pintu dan mengetuk pelan pintu kamsr Abel yang terbuka.

Sontak hal itu membuat Abel menoleh. Di didapatinya Orion tengah tersenyum simpul ke arah Abel.

"Are you okay? Hm?"

Abel hanya menggeng, lalu menjawab, "jawab satu Pertanyaan ku bisa?"

"Sure."

"Kalo kamu jadi aku kamu bakal juga ngelakuin apa yang aku lakuin?"

"Iya. Karena gimanapun dia sahabat kamu Bel. Dia berhak tahu dan itu bukan dari orang lain. Dia berhak tau semua sayang. Tapi balik lagi. Semua balik ke kamu. Apapun keputusan yang kamu ambil aku dukung. It's okay." Orion menghampiri Abel dan mengeluh puncak kepala Abel pelan,"Mau di anter?"

"No. Aku bisa sendiri. Janji aku ga ngelakuin hal aneh-aneh atau hal bodoh. Trust me, right?"

Orion mengangguk, "hati-hati ya. Kalo ada apa-apa telfon aja."

Abel mengangguk pelan lalu berjalan mengambil kunci mobil di mejanya dan  pergi meninggalkan Orion.

Ia menaiki mobilnya dan dengan kekuatan yang sudah ia kumpulkan, Abel menancapkan gas meninggalkan rumah.

Rasanya seperti sebuah kejadian de javu. Yah hal ini pernah ia lakukan bertahun tahun lalu. Saat momen ia meninggalkan sahabat-sahabatnya dan mendatangi rumah mereka satu-satu. Hanya mendatangi. Tidak masuk. Dan kali ini ia melakukan hal yang sama. Mendatangi rumah mereka satu-satu. Kali ini tidak hanya mendatangi. Namun Abel eminggalkan kertas lumayan tebal yang sudah di bawahnya dan sekarang ia geletakkan tepat di sampingnya.

Tidak sampai sepuluh menit, ia sudah tiba di rumah Quinta. Abel terpaku sebentar. Benar kata orang, manusia akan cepat berubah, namun tepat tidak. Dan benar rumah ini masih sama. Benar-benar sama saat Abel terakhir kali meninggalkan rumah ini dan meninggalkan sepucuk surat di kotak pos Quinta. Ia menghela napasnya. Sungguh rasanya ia ingin masuk ke rumah ini dan menemui si empu rumah. Akan tetapi dengan cepat niat tersebut Abel urungkan. Belum saatnya. Bukan sekarang.

Abel turun dari mobil, ia mengamati kertas yang ia bawa sekali lagi. Kemudian ia memasukkannya ke dalam kotak pos rumah Quinta dan bergegas kembali ke dalam mobil.

Sorry Ta, ada saatnya. Will miss u so bad Ta. See you soon.

Kemudian Abel melanjutkan mobilnya ke rumah Gladis. Sungguh ketika Abel mengingat nama itu rasanya Abel hanya ingin tertawa dengan kepolisian gadis itu. Ah rindu ya Abel berantem dengan Gladis hanya karena kepolosannya.

Abel telah sampai di depan rumah Gladis. Tanpa disadari air mata Abel sudah di ujung pelupuk dan siap terjun bebas. Rasanya sangat nanonao. Tidak bisa dijelaskan. Dulu rindunya berbatas jarak jauh. Sekarang rindunya hanya berbatas pagar dan dinding rumah saja namun Abel belum bisa juga untuk menemui Gladis. Abel mengambil kertas lumayan tebal tsdi  dan turun dari mobil menuju kotak pos Gladis. Di letakkannya kertas itu di sana. Lalu Abel kembali lagi ke dalam mobil.

Dis, Gue kangen banget sama lo. Gue harap lo ga marah ya setelah lo liat yang gue kasih. Kita bakalan ketemu kok. Miss you.

Abel melanjutkan mobilnya lagi. Kali ini ia berhenti disebuah rumah. Rumahnya Aruna. Ingatan tentang Aruna berputar begitu saja di otak Abel. Gadis itulah yang menemani kegilaan Abel dan selalu membuat Abel tertawa hanya dengan perilaku keplesetnya Aruna. Rasanya Abel ingin memanggil dan meneriaki nama Aruna dari sini seperti yang biasa dia lakukan jika menjemput Aruna tiap mau pergi.

-DEEP-Where stories live. Discover now