DEEP [EMPAT PULUH SATU]

983 77 0
                                    

Sehabis olah raga, Gladis langsung menuju kantin. Dia memesan es jeruk untuk di bawa ke kelas.

Setelah mendapatkan es jeruk itu, Gladis langsung menuju kelas tanpa mampir-mapir. Karena dia memang sendiri. Tidak ada teman. Siapa yang mau berteman  dengan Gladis si anak aneh?

Baru saja dia melewati depan kantor guru, tiba-tiba ada yang memanggil namanya.

"Dis, lo dicari tu sama Bu Eni." kata salah seorang teman sekelasnya Gladis. Gladis mengerutkan dahinya samar.

"Di mana?"

"Di gudang penyimpanan buku, katanya suruh bantu ngangkatin buku-buku ke perpus."

Gladis hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Tanpa rasa curiga atau apapun, Gladis menuju gudang penyimpanan buku di ujung lorong.

Gladis membuka pintu itu. Dan ternyata pintunya tidak dikunci. Dengan langkah pelan, Gladis masuk ke dalam gudang itu. Dia tak menemukan Bu Eni.

Gladis meruntuki kebodohannya sendiri. Pasti dia hanya dikerjai teman sekelasnya. Baru saja Gladis membalikan badannya, Terdengar suara pintu dikunci.

Gladis berlari menuju pintu. Tapi sayangnya pintu itu sudah terkuci rapat. Gladis mengedor gedor pintu itu. Namun tak ada sautan. Tak ada yang membukakan pintu itu untuknya. Yang terdengar hanyalah suara tawa dari banyak orang di luar sana.

Gladis terduduk meringkuk. Kepalanya berada di antara tekukan lututnya. Dia takut gelap. Dia benci kegelapan.

Napasnya sesak. Air matanya tak dapat terbendungkan lagi. Ia tidak tahu cara keluar dari gudang yang gelap ini. Semua jendela terkunci rapat. Tak ada jalan pintas atau pintu lainnya selain pintu yang terkunci rapat.

Gladis hanya pasrah. Dia tidak bisa berpikir lagi. Yang Gladis lakukan hanya merapalkan doa-doa. Berharap yang di atas sana menolongnya. Membantunya keluar dari situ entah bagaimana caranya.

Sepuluh menit Gladis dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja pintu yang tadinya terkunci, terbuka lebar-lebar. Menampakkan penjaga sekolah yang melihat Gladis dengan tatapan terkejut.

"Loh? Ngapain mbak di sini?"

Gladis hanya diam. Dia sama sekali tidak menjawab. Mulutnya terlalu kelu untuk berbicara. Lututnya terlalu lemas untuk berdiri. Bibirnya sudah pucat.

Penjaga sekolah yang melihat keadaan Gladis langsung membantu Gladis berdiri. Di dudukkannya Gladis di kursi depan gudang.

"Mbak tunggu sini, saya ambilkan minum dulu."

Tidak ada dua menit, penjaga sekolah itu tergopoh gopoh membawa air minum.

Di sodorkannya air minum itu pada Gladis. Gladis menegukknya sampai habis.

"Mbak kenapa bisa kekunci di gudang?" tanya penjaga sekolah itu panik.

Gladis masih tidak menjawab. Dia hanya menggeleng gelengkan kepalanya.

"Mbak bisa ke kelas sendiri?"

Gladis lagi-lagi hanya mengangguk pelan.

Penjaga sekolah itu meninggalkan Gladis yang masih terduduk dengan wajah pucat pasinya. Pelan, Gladis mengatur napasnya. Mengatur detak jantungnya yang berdetak tak karuan.

Ia mengambil kaca di sakunya. Memastikan bibirnya tidak terlihat begitu pucat. Ia menguatkan kaki-kakinya untuk berjalan sampai ke kelas. Menghapus jejak air matanya. Setelah memastikan semua aman, dia berjalan menuju kelas.

Beberapa tatapan mata tertuju padanya. Bahkan ada yang sampai tertawa terbahak bahak.

Gladis menulikan pendengaran seperti biasanya. Mencoba tidak mendengarkan suara tawa penuh ejekan itu.

Entah siapapun yang menguncinya di gudang tadi itu termasuk perbuatan ysng kelewatan. Untung saja ada penjaga sekolah yang tahu. Kalo tidak Gladis pasti akan membusuk di dalam gudang itu tanpa sepengetahuan orang-orang sekolah.
Setelah melewati lorong demi lorong, akhirnya Gladis sampai di depan kelasnya. Gladis bisa bernapas lega. Setidaknya dia sudah sampai kelasnya. Tempat ternyaman baginya.

Gladis memasuki kelasnya, awalnya dia biasa saja. Tidak merasakan keanehan sedikitpun. Tapi begitu dia duduk di bangkunya, betapa terkejutnya Gladis melihat pemandangan di depannya. Gladis membungkam mulutnya. Tak percaya dengan apa yang di lihatnya.

Gladis medekat ke depan kelas. Tepatnya ke arah papan tulis. Di sana terpajang rok abu-abu dan seragam atasan Gladis dalam keadaan mengenaskan. Rok selututnya sobek di bagian mana-mana mirip seperti habis terkoyak tikus. Sedangkan atasannya sudah tak berlengan. Bukan hanya itu saja, seragamnya itu dipenuhi coretan pilok warna warni. Yang menambah seragam Gladis sekarang lebih mirip kain lap lantai, bahkan bisa dikatakan lebih layak kain lap lantai timbang kondisi seragamnya Gladis.

Di papan tulis tertulis banyak sekali cemooh dan ejekan. Tulisan itu bentuknya berbeda-beda. Sepertinya bukan hanya satu orang saja yang menulis. Melainkan banyak orang.

Air mata Gladis turun dengan deras. Perlakuan ini sudah melebihi batas. Sudah membuat kesabaran Gladis habis. Jika di cemooh atau di siram air tepung itu sudah biasa bagi Gladis. Namun kali ini keterlaluan. Dirinya di kunci di gudang gelap dan sekarang seragamnya sudah tak berbentuk.

Gladis mengambil tasnya. Berlari sekuat tenaga. Dia tak peduli keesokan harinya dia akan dihukum oleh guru. Yang dia pikirkan adalah bagaimana dia bisa lari dan keluar dari sekolahan ini.

Sampai di parkiran, Gladis mendapat kejutan lagi. Kali ini kejutannya sama sekali tak terduga.

Mobil Gladis yang tadinya berwarna pink tua, kini sudah berubah menjadi warna-warna yang absurd karena berbagai coretan pilok di mobilnya.

Di kaca depan juga ada sebuah tulisan yang sepertinya di tulis menggunakan lipstik berwarna merah.

Di tambah lagi, bagian atas mobilnya banyak sekali sampah dedauan kering yang entah datangnya dari mana. Padahal di atas mobil itu sudah ada atap peneduh. Tidak mungkin daun-daun dari pohon di atas atap tersebut jatuh di atas mobilnya.

Tangisan Gladis semakin deras saja. Tangisan itu sarat akan keputusasaan. Sudah habis benar kesabaran Gladis menghadapi pembullyan temannya selama ini. Kali ini bukan hanya kelewat batas, tapi ini sudah termasuk sadis.

Hatinya semakin sakit ketika mendengar tawa menggelegar dari berbagai sisi. Tawa itu berasal dari teman-temannya yang ternyata ada di sekitar parkiran itu.

Tanpa memperduliakn tawa itu, Gladis masuk ke dalam mobilnya. Menancapkan gas sekuat-kuatnya meninggalkan parkiran sekolah.

Diam-diam ada orang yang merekam kejadian itu. Ada yang mengabadikannya. Orang itu berniat untuk memberitahukan info ini pada seseorang di sana.

Otaknya sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Pikirannya benar-benar kacau dan kalut. 

Sampai di rumah, Gladis langsung masuk kamar. Tak peduli dengan panggilan mamanya.

Dia masuk kamar mandi. Menyalakan showernya. Lalu dia menangis di bawah guyuran shower itu. Berteriak-teriak penuh keputusasaan. Dia sudah lelah dengan semuanya. Dia tidak tahan dengan perlakuan teman-temannya. Perlakukan mamanya yang selalu menekan dan menuntut. Bahkan dunia yang menjadi satu satunya sandaran ikut di rampas juga.

Mamanya mengedor gedor pintu kamar mandi sambil memanggil namanya. Namun Gladis menulikan telinganya. Pura-pura tak mendengar suara mamanya.

Gladis membanting kaca yang ada di sampingnya. Hingga kaca itu berserakan di mana-mana.

Gladis menertawakan dirinya sendiri. Kebodohan dirinya yang mau ditindas. Kebodohan dirinya yang mau diatur-atur seperti boneka.

Gladis mengambil pecahan kaca di sampingnya. Lalu tiba-tiba semua gelap.

🌊🌊🌊

-DEEP-Where stories live. Discover now