DEEP [DUA PULUH LIMA]

992 88 0
                                    

Hati Abel ingin mencolos dari tempatnya melihat pemandangan yang terpampang di depan mata. Suara-suara kasar itu memenuhi indra pendengarannya.

"Rumah ini sudah aku beli dengan harga yanh lebih mahal. Jadi kamu bisa angkat kaki dari rumah ini!" Suara Anto memenuhi seluruh ruangan. Suara itu begitu terdengar kasar dan sadis. Di samping Anto berdiri seorang wanita dengan tatapan angkuh.

"Apa maksud mas ngelakuin semua ini? Apa gak cukup dengan mengusir aku dan anak-anak dari rumah?" suara Bela begitu memilukan. Membuat Abel dan Varo di liputi rasa emosi.

"Aku pengen kamu menderita!"

"Hati kamu terbuat dari apa sih mas? Tega-teganya kamu buat anak-anakmu sengsara." Air mata Bela sudah tak terbendung lagi.

"Halah banyak ngomong kamu! Sekarang juga kamu angkat kaki dari rumah ini. Karena rumah ini bukan punyamu lagi. Sekarang ini milikku."

"Setega itu kah anda dengan Abel, saya dan bunda saya? Dimana hati nurani anda!?" Varo bersuara. Suara itu sarat akan kecewa. Tangan Varo sudah mengepal. Buku buku jarinya sudah memutih menahan amarah.

"Salah kamu sendiri memilih ikut bunda kamu. Rasakan akibatnya."

"Saya gak nyangka anda sebejat ini. Hati anda sudah hilang. Saya benci anda. Anda bukan ayah yang saya kenal." kali ini Abel bersuara. Suara yang begitu memilukan. Sarat akan kekecewaan yang mendalam. Matanya memerah menahan tangis juga amarah.

"Baik mas, kalo itu mau mu aku pergi dari sini!"

"Bagus. Aku tunggu sampai nanti sore. Kalo kalian belum angkat kaki, aku yang akan turun tangan sendiri memindahkan kalian secara paksa!"

"Saya tidak meyangka anda sebejat ini! Jangan pernah temui saya sama bang Varo sampai anda tidak dengan wanita ini lagi. Urusi saja wanitamu itu! Dan untuk anda wanita perebut istri orang, dengar baik-baik karena saya gak akan ngomong dua kali. Hidup anda tidak akan pernah bahagia. Hidup anda akan sengsara. Ingat! Semua ada karmanya." Abel menatap tajam ayahnya dan wanita di sampingnya. "Saya benar-benar kecewa dengan anda!! Pergi dari sini! Pergi! Dasar wanita jalang! Pergi kalian!"  suara Abel meninggi.

Amarahnya tumpah ruah saat itu juga. Abel kalap. Tangisannya keluar bersama amarahnya. Hatinya kesal melihat semua ini. Hatinya berontak. Segera Varo memegangi adiknya itu. Merengkuhnya dalam dekapannya. Menenangkan adiknya.

"PERGI KALIAN! JANGAN PERNAH PERLIHATKAN WAJAH KALIAN DI DEPAN KAMI!" bentak Varo dengan nada suara yang meninggi dan kasar.

Anto dan Wanita yang ada di sampingnya tadi langsung pergi meninggalkan rumah itu.

Abel menangis sejadi jadinya di dalam pelukan abangnya. Bela ikut menenangkan Abel. Hati Bela teriris melihat kedua anaknya yang harus menanggung beban berat seperti ini. Sedangkan Varo ikut miris mendengar tangisan Abel yang sarat akan kekecewaan. Membuatnya ngilu sendiri. Varo belum pernah mendengar Abel menangis sampai seperti ini. Abel yang ceria kini menujukkan sisi rapuhnya.

"Maafin bunda ya, kalian jadi ikut nanggung beban ini, maaf," Bela di penuhi rasa bersalah.

Abel mengurai pelukan Varo, menghapus jejak air matanya. "Gakpapa Bun, jangan minta maaf, bunda gak salah kok. Kita gak papa kok ya bang?" Abel tersenyum.

Varo mengangguk sambil tersenyum.

"Yaudah, sekarang kita beres-beres lalu pergi dari sini. Bunda mau cari bantuan teman bunda buat cari rumah kontrakan sementara."

Varo dan Abel mengangguk.

Setelah beres-beres, mereka berkumpul di ruang tamu.

"Gimana Bun? Udah dapet?"

"Udah, tapi gak sebesar rumah ini. Cuma kecil, gimana?"

"Gak papa bun, yang penting kita sama-sama."

Bela tersenyum. Dia merasa beruntung mempunyai anak seperti Varo dan Abel yang tak menuntut banyak kepada Bela.

"Yaudah yuk, kita angkatin barang-barang ini, terus kita berangkat."

Keduanya mengangguk.

Setelah semua barang dimasukkan, mobil mereka melaju meninggalkan rumah yang baru saja dihuninya beberapa hari lalu.

Sakit hati Abel bertambah dalam. Dia sama sekali tidak mengenal sosok figur ayah dalam diri Anto. Semua telah hilang. Luka yang kemarin belum sembuh malah di tambah luka baru yang semakin memperparah luka lama.

Hatinya sesak, rasanya amarah itu bergumul jadi satu dalam hatinya. Tak ada yang bisa di lakukan selain bersabar dan menjalani semua yang ada.

Semua cacian dan fitnah tetangga rumah lamanya berbaur menjadi satu dalam luka yang membuat hatinya nyaris retak berserakan.

Ingin rasanya dia menceritakan semua ini kepada para sahabatnya, tapi dia tidak ingin menjadi beban bagi mereka. Dia tidak ingin melibatkan mereka dan menjadikan pikiran mereka tambah runyam.

Cukup Abel saja yang tahu bagaimana rasanya dicampakkan oleh Ayahnya sendiri. Cukup Abel saja yang mengerti bagaimana rasanya broken home. Cukup Abel saja yang kehilangan ayah idamannya. Yah, cukup Abel saja.

Dalam keadaan menyetir, Varo terpikir bagaimana nasib adek dan bundanya. Rasanya ia begitu terpukul dengan masalah ini. Ingin marah tapi kepada siapa? Ingin menyalahkan tapi kepada siapa?

Pikirannya kalut sekarang. Tak ada yang bisa dilakukan. Ia merasa sangat tidak berguna dan hanya merepotkan bundanya.
Mobil mereka berbelok ke sebuah rumah kecil. Rumah itu tak jauh dari rumah yang tadi. Berjarak sekitar 5 km.

Mereka bertiga turun dari mobil.

"Maaf, bunda cuma bisa nyewa ini aja." cicit Bela.

"Gakpapa bunda, ini udah lebih dari cukup."

Varo hanya diam. Lagi, hatinya merasa teriris. Tanpa sadar tangannya mengepal kuat. Rahangnya mengeras. Rasanya dia begitu tak terima dengan semua ini. Rasanya semua ini tak adil.

Bela memasuki rumah itu. Sedangkan Abel dan Varo masih di depan rumah. Sama-sama terdiam.

Abel menatap Abangnya yang masih mengepalkan tangannya. Pelan, Abel menepuk pundak Varo.

"Abang, are you okay?"

Mendengar suara Abel, Varo kembali tersadar dari lamunannya.

"I'm okay, gue cabut dulu ya?"

"Kemana?"

"Gue mau nenangin pikiran."

Setelah berkata seperti itu, Varo pergi meninggalkan Abel yang menatap kepergiannya.

Varo melajukan mobilnya kencang. Pikirannya kalut. Dia harus melampiaskan semuanya. Dia harus pergi ke suatu tempat. Tempat yang membuatnya bisa melepaskan beban.

Varo menepikan mobilnya, menghubungi orang di sebrang sana.

Varo Atala : Lo di mana Sal?

Faisal 🐶 : Di rumah, kenapa?

Varo Atala : Gue otewe, kita ke tempat biasa.

Faisal 🐶 : Ngapain?

Varo Atala : banyak tanya lu kayak petanya dora. Gue butuh pelampiasan.

Faisal 🐶 : Sensi lu ah kek pantat bayi.

Varo Atala : Gue serius ogeb

Faisal 🐶 : Traktir tapi?

Varo Atala : Iya elah, otewe nih

Faisal 🐶 : oke

Setelah memberitahu Faisal teman satu fakultasnya itu, dia melajukan mobilnya lagi dengan kecepatan di atas rata-rata. Membelah jalanan Jogja begitu lihainya. Kali ini dia benar-benar butuh pelampiasan. Dia benar-benar butuh pengalihan sesaat.

Maafin Varo Bun, maafin gue dek

🌊🌊🌊

Salam jomblo!

-DEEP-Where stories live. Discover now