DEEP [EMPAT PULUH]

1K 76 0
                                    

Sampai di tempat yang di tuju, Abel langsung lari memasuki gedung yang ada di pesan yang di bacanya. Varo menyusul tepat di belakang Abel. Setelah bertanya ke bagian administrasi, Abel menaiki lift bersama abangnya menuju lantai tiga. Mencari-cari nomor kamar yang Abel dapat dari mbak-mbak administrasi tadi.

Dan ketemu. Kamar itu ada di ujung lorong. Abel lari menuju kamar itu, begitu juga dengan Varo. Di depan pintu kamar tersebut sudah ada banyak orang termasuk bundanya dan wanita yang mengacaukan hidupnya.

Abel membungkam mulutnya tak percaya ketika melihat pemadangan di depannya dari luar ruangan. Kakinya melemas. Tangannya berpegangan pada dinding di sampingnya. Varo yang ada di samping Abel segera memapah adeknya itu. Menuntun adeknya untuk duduk di bangku tunggu.

Varo memeluk Abel. Menenangkan pikiran Abel yang kalut.

Bela yang saat itu melihat kondisi Abel langsung menghampiri anaknya. Duduk di samping kiri anaknya. Menggenggam tangan anaknya untuk menyalurkan kekuatan.

Tes.

Air mata Abel menetes satu demi satu. Hatinya remuk perlahan. Rasa itu tidak dapat dideskrepsikan.

Dari kamar itu, keluarlah dokter yang mengurus pasien di dalam tadi. Dokter itu membuka maskernya. Raut tidak enak dan menyesal jelas terpancar di wajah dokter tersebut.

"Keluarga bapak Anto?"

Bela bangkit dari duduknya, "Saya dok,"

"Bapak Anto sedang mengalami koma, kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menunggu keajaiban dari tuhan. Yang sabar ya buk." Dokter itu menepuk pundak Bela pelan dan pergi.

Kaki Bela ikut melemas. Hatinya ikut remuk mendengar itu semua.

Abel yang juga mendengar perkataan dokter tadi langsung terdiam. Otaknya mencerna kata demi kata yang terucap dari dokter tadi.

Rasa menyesal dan dendam menghampiri dirinya. Abel kalap. Dia bangkit dadi tempat duduknya dan mendekati wanita yang duduk di sebrangnya.

Mata Abel sarat akan kemarahan.

"Dasar wanita murahan! Lihat! Gara-gara anda Ayah saya jadi kayak gini! Dasar wanita gak tahu di untung! Perusak kebahagian keluarga orang!" Suara Abel meninggi. Dia kalut. Suara itu sarat akan kekecewaan dan amarah yang mendalam. Suaranya bahkan nyaris habis karena di gunakan untuk berteriak sekencang kencangnya. Varo cepat-cepat menarik Abel dari situ. Membawa adeknya keluar dari lorong itu.

Varo mendudukkan Abel di sebuah bangku taman dalam ruangan. Di elus elusnya adeknya itu dengan sayang. Mata Varo sudah memerah. Hatinya sama-sama remuk seperti Abel. Bahkan kalau boleh di bilang melebihi Abel.

Di peluknya adeknya itu dengan erat. Mencoba menyalurkan kekuatan pada hati dan jiwa Abel.

Varo mengurai pelukan itu. Menggenggam tangan Abel. Menghapus sisa-sisa jejak air mata Abel.

"Abelnya abang harus kuat ya? Gak boleh sedih kayak gini. Abel mau lihat ayah?"

Abel menganggukkan kepalanya pelan.

"Yaudah yuk, tapi jangan kayak tadi ya?"

Lagi-lagi Abel mengangguk pelan.

Varo dan Abel berjalan beriringan menuju kamar tempat Ayah mereka di rawat. Yang diperbolehkan masuk hanya satu orang saja. Dan Varo mengalah. Dia membiarkan adeknya itu masuk duluan.

Setelah memakai pakaian rumah sakit agar tetap terjaga kesterilannya, Abel melangkahkan kaki masuk ke ruangan itu.

Deg!

Hati Abel serasa diiris dengan sadis begitu melihat orang yang dia sayang terbaring tak berdaya dengan berbagai alat bantu penopang hidup.

Ayahnya yang gagah itu kini hanya bisa terbaring lemah memejamkan matanya. Tidak tahu kapan akan bangun dari komanya.

Abel menarik kursi di dekatnya. Lalu dia duduk di situ. Pelan, dia memegang tangan Ayahnya yang terbalut selang infus. Matanya mulai memanas. Dan cairan bening itu perlahan turun membasahi pipinya.

Begitu miris Abel melihat Ayahnya berakhir seperti ini. Terbaring lemah di tempat yang paling di bencinya. Monitor pendeteksi detak jantung memenuhi indra pendengarannya. Tak ada suara Ayahnya yang selalu mempermasalahkan hal sepele. Tak ada suara Ayahnya yang selalu memarahi dirinya.

Ingatan-ingatan manis tentang dirinya dan ayahnya itu berputar bagai kaset rusak. Terus terulang ulang tanpa adanya jeda.

Ia ingat betul bagaimana ayahnya itu mengajak kemanapun Abel mau. Dan tidak pernah menolak. Selalu menuruti apapun permintaan aneh Abel. Selalu mengatra Abel kemanapun dia mau.

Abel masih ingat dulu waktu dia berumur sekitar lima tahunan sering diajak ke pantai untuk melihat matahari terbit. Lalu siangnya dia diajak menjajaki kuliner Jogja. Dan malamnya dia akan di ajak ke alun-alun kalau tidak ya berkeliling keliling kota Jogja sampai Abel tertidur lelap.

Yah, Abel ingat itu.

Dari luar, Varo memandangi Abel dan ayahnya yang tengah terbaring lemah. Hatinya ikut ngilu melihat adegan itu.

Sang panutannya kini tumbang tanpa bisa apa-apa. Bahkan ayahnya kini hanya bergantung pada alat-alat mengerikan itu. Jika alat itu dicabut, maka ayahnya akan pergi untuk selamanya.

Varo memang kecewa dengan Ayahnya. Vari memang marah semarah marahnya. Tapi dia masih punya hati. Hati kecilnya mengatakan sangat menyayangi ayahnya itu. Hatinya tersentil begitu ingatan masa kecilnya mulai menyerbu sadis.

Varo benar-benar ingat bagaimana dia selalu meniru apapun yang dilakukan ayahnya. Dari mulai kebiasaan setiap pagi yang tidak bisa makan jika belum mandi. Hobinya yang sama-sama suka  bermain sepak bola. Sikap dan tutur katanya yang lembut dan tak pernah main tangan.

Varo ingat, setiap malam piala dunia dia selalu dibangunkan untuk menonton bersama. Walau Varo kecil berakhir dengan tidur di pangkuan Ayahnya. Varo ingat setiap ada pertandingan sepak bola di stadion maguwoharjo, Varo selalu di ajak menonton. Lalu pulangnya nanti akan di belikan makanan kesukaan Varo.

Tapi waktu sepertinya iri pada keakraban anatara anak dan ayah itu. Hingga waktu yang bekerja sama dengan takdir  membuat mereka menjadi berselisih. Membuat mereka sama-sama membuat jurang yang dalam dan tak bisa di seberangi.

Hatinya semakin miris saat dia mengingat kejadian waktu pertama kalinya Ayahnya main kasar dengannya. Menampar pipinya tanpa rasa bersalah.

Kejadian kejadian pahit itu terus saja berputar tanpa ampun. Membuat Varo mengacak rambutnya frustasi.

Varo menatap tajam wanita yang ada di ujung lorong. Duduk di kursi tunggu dengan tatapan kosong. Wanita itu adalah penyebab dari semuanya. Penyebab ayahnya berubah seratus delapan puluh derajat.

Ingin rasanya Varo memarahi wanita itu. Menumpahkan semua amarahnya yang di pendam. Namun mengingat ada nyawa di dalam perut wanita itu membuat Varo mengurungkan niatnya. Dia tidak ingin bayi di dalam perut wanita itu dalam bahaya. Dia tidak ingin disebut sebagai pembunuh. Varo juga masih punya hati nurani.

Varo memutuskan untuk ke kantin. Mengisi perutnya yang sejak tadi pagi kosong. Dia tidak ingin energinya habis gara-gara memarahi orang yang menurutnya tidak penting sama sekali.

🌊🌊🌊

Salam jomblo!

-DEEP-Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora