DEEP [LIMA PULUH]

1.6K 126 34
                                    

Quinta sudah berdiri di ambang pintu sejak dua puluh menit yang lalu. Amar juga sudah pergi. Dia memang menyuruh cowok itu untuk pulang segera.

Hati Quinta masih ragu. Dia takut kemungkinan-kemungkinan bayangan buruk yang ada di otaknya terjadi. Dia takut mamanya itu akan marah besar. Yah dia takut akan hal itu. Namun mau bagaimanapun, siap tidak siap Quinta harus menerima. Siap tidak siap Quinta harus menghadapinya. Quinta menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya.

Dengan penuh keraguan, Quinta memencet tombol bel rumahnya. Beberapa menit setelah itu, pintu rumahnya itu di buka. Dan menampakkan sesosok mamanya. Quinta langsung menundukkan pandangan. Hatinya sudah siap akan luapan amarah mamanya. Namun, yang dia dapatkan bukanlah marahan sepeti yang di bayangkannya, melainkan sebuah pelukan hangat dan haru dari mamanya.

Satu detik ...

Dua detik ...

Tiga detik ...

Tes.

Dalam pelukan itu, tanpa sadar Quinta meneteskan air matanya. Bahagia yang membuncah memenuhi hatinya saat ini. Untuk pertama kalinya dia merasakan pelukan hangat dari sesosok ibu. Untuk pertama kalinya orang di hadapannya itu menyambutnya dengan penuh suka cita.

Astrid mengurai pelukan itu. Untuk pertama kalinya dalam hidup Quinta, dia melihat senyum Astrid mengembang begitu sempurna hanya untuk dirinya. Hati Quinta semakin menghangat kala tangan itu menggapai tangannya untuk di genggam.

"Maafin mama ya Ta," Air mata Astrid menetes.

Quinta yang melihat itu kebingungan.
"Mama kenapa?"

"Kamu kenapa gak bilang sama mama soal kelainan kamu? Kenapa kamu gak jelasin?"

"Maafin Quinta Ma, Quinta cuma gak mau kalian semua kepikiran tentang kelainan Quinta. Itu aja."

"Tapi jangan kayak gitu dong Ta. Mama ini mama kamu. Berhak tahu apa yang terjadi sama kamu. Maafin mama udah marah-marahin kamu. Sekarang mama tahu kenapa kamu beda, sekarang mama gak akan nuntut kamu ini itu. Maafin mama karena udah beda-bedain kamu sama adek kamu." Rasa penyesalan begitu menyelimuti Astrid.

"Udah ma, jangan minta maaf terus. Udah ya? Jangan nangis lagi. Quinta gak suka liat mama nangis," Quinta tersenyum.

"Jangan kabur kaburan lagi ya Ta? Mama gak mau kehilangan kamu."

Quinta hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum simpul.

"Tapi gimana mama bisa tau semuanya?"

"Abel Ta yang ngasih tau semuanya sama mama. Abel yang ngejelasin semuanya."

Kening Quinta berkerut, "Abel?"

"Iya, sekarang kamu mandi gih, terus makan malem bareng."

Quinta menganggukkan kepalanya.

Ia menaiki tangga menuju kamarnya lalu menuju kamar mandi membersihkan dirinya.

Setelah selesai mandi dan ganti baju,  Ia mengambil handphone yang ada di dalam tasnya. Entah sudah berapa lama handphonenya itu di non aktifkan. Quinta tergerak untuk menyalakan handphonenya. Quinta pikir handphonenya akan habis daya batrainya, ternyata masih. Ketika handphonenya itu menyala, banyak sekali pesan yang masuk. Tapi entah kenapa ada satu nama yang menarik perhatiannya. Ia membuka pesan itu.

AnilaVidel : Ta lo di mana?

AnilaVidel : Ta urgent

AnilaVidel : posdim?

AnilaVidel : Bodok ta. Intinya kalo lo baca pesan ini, malming gur bakalan ke rumah elo titik. Ada yang perlu gur bicarain. Dan gue yakin lo bisa bantu gue.

Malming? Besok dong?

Setelah membaca pesan itu, Quinta mengerutkan keningnya dalam-dalam. Pasti ada sesuatu yang penting jika Nila mengirim pesannya sampai kayak gitu.

Quintasalsabela : Oke, line dulu kalo mau otw.

Quinta malah jadi kepikiran tentang hal apa yang akan di bicarakan Nila. Karena tidak biasanya anak itu bercerita atau sekedar curcol sama Quinta. Namun ia segera menepis pikiran itu dan memilih turun ke bawah, karena sejak tadi mamanya sudah memanggilnya untuk makan malam.

Quinta mengambil duduk di sebelah mamanya. Suasana makan malam kali ini bagi Quinta cukup canggung. Karena ini kali pertama dia makan malam dengan keluarga sebenarnya. Hatinya merasa terenyuh ketika dengan senyuman lebar, mamanya mengambilkan makanan untuknya. Tak lupa dengan tutur kata lembut yang membuatnya seperti hidup di dunia mimpi.

Inilah yang selama bertahun tahun Quinta idamkan. Suasana keluarga yang hangat. Dan entah siapa yang memulai, makan malam keluarga Andre di penuhi canda tawa antar anggota keluarga. Malam itu sungguh hati Quinta menghangat melebihi bara yang ada di tungku pemanas. Dalam hati kecilnya, dia berterima kasih kepada sosok gadis di sana. Yang tanpa sepengatahuannya membuat hidup seorang Quinta menjadi sempurna.

Terima kasih sahabat

🌊🌊🌊

Abel menatap langit dari jendela kamarnya. Malam ini langit tampak cerah, sehingga bintang-bintang bertaburan bak di tebar begitu saja. Bulan pun ikut unjuk wajah. Menampakkan keelokan sinarnya yang mendalu dalu. Malam ini seolah tahu bagaimana suasana hatinya. Yah. Hatinya di selimuti bahagia. Dua misinya terselesaikan dengan apik. Dia berhasil menyelesaikannya sendiri. Dia bisa menyelesaikan masalah terberat para shaabatnya. Dengan itu, jika dia pergi nanti, tak ada yang perlu di khawatirkan lagi tentang mereka.

Di sisi lain bahagianya, jauh dalam lubuk hati Abel, dia merindukan sesosok di sana. Sesosok yang tak pernah lagi muncul di hadapannya untuk sekedar mengucapkan selamat pagi atau seseorang yang rela jadi tukang ojeknya dalam situasi apapun. Dia yang menjadi pembangkit semangat Abel, dia yang selalu membuat si ceria Abel bisa menangis, dan dia yang selalu mengisi penuh ruanh di hati Abel. Abel rindu senyum itu. Abel rindu kejahilan itu. Abel rindu semua tentang sesosok dia.

Hei apa kabar kamu di sana? Semoga baik-baik saja. Termasuk hatimu juga. Biar aku saja yang tidak baik-baik soal hati, kamu jangan.

🌊🌊🌊

-DEEP-Where stories live. Discover now