Dua puluh satu

10.2K 462 2
                                    

Aldrian keluar dari ruangan perawat dengan pikiran yang kosong, ia masih belum percaya kenyataan yang datang menghampirinya begitu dahsyat dan ia bingung harus bersikap seperti apa karena kabar bahagia dan duka ia dengar secara bersamaan.

Langkah Aldrian terhenti saat ia tiba didepan pintu kamar rawat inap Aya, sebelum masuk ruangan dan bertemu dengan Aya, Aldrian menghembuskan nafas kasarnya beberapa kali.

Aldrian memegang handel pintu dengan lemas untuk masuk ke ruangan Aya namun sebuah tepukan halus mendarat di bahunya sehingga Aldrian mengurungkan niatnya dan melihat siapa yang telah menepuknya

"Yang sabar Al, Allah gak akan ngasih cobaan diluar batas kemampuan kita" kata Barata.

Aldrian mengangguk dan berterima kasih kepada Barata yang telah mengingatkan Aldrian.

"Terima kasih, pah. Tapi Aldrian masih belum percaya dengan kenyataan ini" kata Aldrian dengan lirih.

"Papah juga, tapi inilah yang harus kita terima"

"Sudah, jangan banyak pikiran, sekarang temui istrimu, dia yang paling terpukul diantara kami semua" suruh Barata.

Aldrian mengangguk lantas ia membuka pintu kamar rawat inap Aya dan masuk kedalam sana.

"Assalamuaikum" salam Aldrian kepada semua orang yang berada didalam kamar rawat inap Aya.

Keluarga Aldrian, keluarga Aya dan teman-teman mereka yang berada di kamar rawat inap Aya langsung membalas salam Aldrian serta memperhatikan langkah kaki Aldrian yang berjalan menuju ranjang pesakitan Aya.

Sementara Aya yang tengah dihibur oleh orang-orang terdekatnya, melihat lurus ke arah pintu saat pintu kamar rawatnya terbuka.

Dada Aya semakin sesak saat dilihat suaminya masuk ke dalam kamar rawat inapnya tengah melangkahkan kaki menghampirinya.

"Mas" panggil Aya sambil mentap lurus ke arah Aldrian.

Aldrian tersenyum saat Aya memanggilnya, sangatlah berat bagi seorang Aldrian untuk tersenyum disamping kenyataan pahit yang menimpannya begitu menyesakan dada namun Aldrian tidak boleh egois sendiri seolah dirinya yang terpukul oleh kenyataan ini sementara Aya jauh lebih terpukul darinya, Aya lah yang mengandung calon anak mereka yang tumbuh selama enam minggu dirahimnya tanpa mereka ketahui.

"Iya sayang, mas disini" kata Aldrian berhenti melangkah dan berdiri disamping Aya.

Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibir Aya selain cairan bening yang turun dari kedua matanya.

Buru-buru Aldrian mengusap air mata yang jatuh ke pipi Aya "Please, jangan nangis"

Bolehkah aku nyerah dengan semuanya?

Sesak rasanya jika harus melihat orang yang kita amat cintai menjatuhkan air mata karena tidak bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya selain mengeluarkan air mata.

Satu persatu orang-orang yang berada di ruangan kamar inap Aya keluar, Aldrian memasuki kamar Aya, Isti dan Rio pamit untuk pulang terlebih dahulu, lalu Ina serta kedua orang tua Aya yang memilih keluar karena tidak tahan melihat Aya yang lebih banyak menangis dalam diamnya.

"Maafkan Aya mas, Aya tidak bisa menjaga dia baik-baik" ucap Aya, ucapan itulah yang terus terpikir olehnya ketika menanti kedatangan Aldrian.

Aldrian menggelengkan kepalanya "Gak, sayang. Ini bukan salahmu" jawab Aldrian dengan lembut.

Aya menggelengkan kepalanya, apa yang terjadi kepada calon anaknya Aya merasa adalah salah Aya karena Aya tidak bisa menjaganya baik-baik.

"Andai Aya tahu kalau Aya tengah hamil anak kita, pasti Aya akan jaga baik-baik supaya dia gak pergi" racau Aya dengan tangisan yang terus turun dari kedua matanya.

KUTEMUI KAMU (TAMAT)Onde histórias criam vida. Descubra agora