Bagian 42

3.9K 232 63
                                    

1 bulan kemudian...

"Gue khawatir sama Shilla. Udah hampir sebulan dia kaya mayat hidup Mil." Ujar Michele sambil mengoleskan selai diatas rotinya.

Milly pun mengangguk.

"Gita masih belum ngabarin dia?"

Michele menggeleng.

"Vano?"

Michele menggeleng lagi.

"Vano gapernah ngabarin Shilla lagi. Gue juga gatau masalah mereka apa." Ujar Michele yang kini duduk dihadapan Milly.

"Eng-- kalau soal Vano bakal lanjut studi ke London gimana?" Tanya Milly hati-hati takut Shilla mendengarnya.

Michele juga menggeleng.

Hingga tiba tiba Milly dan Michele mendengar suara piring terhempas di lantai.

PRANG!!

Alhasil Milly dan Michele langsung melihat ke asal sumber suara.

"Shilla?!"

Ya. Malangnya Shilla mendengar semua perkataan mereka tadi.

Shilla yang tadi baru saja turun dari kamarnya sambil membawa segelas air, kini langsung berdiri lemas.

"Eh--maaf maaf." Ujar Shilla sambil berpura pura sibuk memunguti retakan kaca gelas tadi.

"Shil hati hati." Ujar Michele dan Milly bergantian sambil menghampiri Shilla.

"Aw!" Pekik Shilla ketika jarinya terkena serpihan kaca.

Kini air mata Shilla tak lagi terbendung.

Shilla pun menangis tersedu-sedu. Bukan karena luka di jemarinya, melainkan luka di hatinya.

"Shil--" Ujar Michele yang ikut iba melihat kembarannya yang kini terlihat sangat hancur.

"Kenapa semua ninggalin gue?" Ujar Shilla disela-sela tangisnya.

Milly pun memeluk Shilla erat. "Engga shil. Engga. Masih ada gue sama Michele."

Namun tiba tiba Shilla berdiri sambil menghapus airmatanya.

"Chele, Mil, gue harus ketemu Vano sekarang."

Michele dan Milly pun saling melempar tatap kemudian mengangguk ragu-ragu.

***

Ditengah terik matahari, lelaki itu memantul-mantulkan bola nya dan kemudian memasukkannya kedalam ring.

Dengan keringat yang bercucuran, lelaki itu memantul mantulkan bolanya seakan meluapkan emosinya kepada bola dihadapannya kini.

Hingga tiba tiba bola basketnya berhenti tepat dihadapan seorang gadis berambut coklat gelap dan mata coklat teduh yang selalu membuat Vano nyaman menatapnya.

Namun tidak untuk kali ini.

Gadis itu mengambil bola basket yang berhenti tepat dihadapannya dan kemudian melemparkan senyumannya kepada Vano.

Ya lelaki itu adalah Vano. Dan gadis itu... Dia Shila.

Vano terdiam, hingga kemudian memutuskan berbalik untuk meninggalkan gadis itu.

"Alvano tunggu."

Vano pun menghentikan langkahnya.

"Lo kenapa?" Ujar Shilla berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.

"Kenapa diemin gue? Gue salah apa?" Lanjut Shilla dengan suara parau berusaha menahan tangis.

"Gapapa." Ujar Vano singkat kemudian melanjutkan langkahnya.

"Al, tunggu." Ujar Shilla yang kali ini menggenggam kaos Vano dari belakang.

"Gue cuma gamau ganggu lo lagi. Gue kira lo udah bahagia."

Shilla yang tadi menunduk pun kini mengangkat kepalanya, "Ba--bahagia? "

Vano mengangguk.

"Bego!"

"Terserah lo mau ngatain gue apa."

"Bodoh!"

Kini airmata Shilla benar benar terjun membasahi pipinya.

Vano yang tak tega melihat Shilla menangis didepannya kini berusaha menghapus airmata yang tumpah dipipi gadis itu.

Namun dengan cepat Shilla menepis tangan Vano.

"1 bulan lo diemin gue tanpa alasan. Sampe gue berusaha mikir keras apa salah gue ke lo. Apa yang buat lo jadi benci gue. Kenapa lo tiba tiba ninggalin gue disaat gue kira--kita bisa bahagia kaya Vero dan Michele--Tapi apa?! Sekarang lo malah nyebutin kata kata konyol itu."

"Tapi Shil--"

"Tapi apa? Ha?"

"Tapi gue gamau ganggu lo sama Arez lagi. Gue cuma mau lo bahagia!"

"Gimana gue bisa bahagia kalo bahagia gue itu Lo!" Teriak Shilla kesal.

Vano terdiam.

"Dan satu hal yang harus lo tau, gue gapernah balikan sama Arez. Karena-- dari dulu sampe sekarang cuma lo yang ada di hati gue." Ujar Shilla masih dalam tangis dan kekesalannya kepada Vano yang kini telah melukai hatinya sangat dalam.

Kini Vano pun menyesali perbuatannya, menyesali pikiran konyolnya. "Shil--Maaf." Ujar Vano yang kini menarik Shilla kedalam pelukannya.

"Gue capek Al, Gue capek." Ujar Shilla lemah di dalam pelukan Vano.

"Maaf. Maaf. Gue mohon, maafin gue." Ujar Vano dengan penuh penyesalan sambil mengecup dan mengusap lembut pucuk kepala Shilla. Berusaha menenangkan gadis itu.

"Atau mungkin--" Ujar Shilla sambil melepas pelukan Vano, "Kita emang ga ditakdirin untuk bersama?"

Dengan cepat Vano menggeleng. "Engga. Engga Shil--"

"Kayanya emang itu jalan satu satunya biar kita berhenti untuk saling nyakitin perasaan satu sama lain,Al."

Kini Vano merasa sangat takut jika Shilla mengatakan itu. Vano belum siap kehilangan Shilla lagi.

"Engga Shil."

"Mungkin mulai sekarang--kita lebih baik jalan masing masing. Gue capek."

Vano menggeleng, "Shil, kasi gue satu kesempatan lagi buat perbaiki semuanya. Kita mulai semua dari awal, oke?" Ujar Vano yang kini menggenggam tangan Shilla erat.

Shilla tersenyum sambil menggeleng.

"I think that's enough."

"Shil--"

"Oh iya, gue denger lo bakal pergi ke London besok? Wish you luck Al. Dan--gue harap lo bisa nemuin cewe yang lebih baik dari gue disana." Lanjut Shilla yang kini melepas genggaman Vano dari tangannya.

Vano menggeleng. "Shil, please--"

Kemudian Shilla pun memeluk Vano,"Thanks for everything." Bisik Shilla pelan kemudian ia melepaskan pelukannya dari Vano.

Vano pun mengangguk pasrah dan membiarkan Shilla pergi meninggalkannya.

Kini kekhawatiran Vano terwujud.

Shilla pergi... Lagi.

*****

Haloo readers setiaaa :) Mohon maaf yang sebesar besarnya dari author yang udah gantungin cerita ini hampir 3 bulan.

Maaf banget. But aku selalu bilang terima kasih banyak buat kalian yang walaupun digantungin tapi tetep setia untuk baca cerita ini.

Maaf. Big thanks. And happy reading my lovely readers!! 🙏💞

PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang