Bagian 4

5.8K 402 8
                                    

Bel pulang sekolah telah berdering nyaring di SMA Merpati siang itu.

"Serius deh, gue kesel banget sama Pak GH. Gue jelas jelas ngerjain sendiri eh malah dituduh nyontek." Curhat Gita kepada Shila dan Milly yang kini tengah berjalan menuju gerbang sekolah.

"Pak GH mah gausah heran Git. Emang gitu. Hidup dia dipenuhi su'udzon terus." Ujar Milly yang ikut mendengus sebal jika membayangkan guru Fisika nya itu.

Shila hanya tertawa hambar mendengar penjelasan dua orang sahabatnya itu.

"Udahlah. Gabaik ngomongin guru. Ntar nilai kalian jelek tau." Ujar Shila yang tiba tiba harus menghentikan langkahnya ketika sebuah tangan kokoh menahan pergelangannya.

"Shil, tunggu."

Dengan malas Shila pun menghentikan langkahnya sambil memasang wajah datarnya.

"Astaga! Itu muka atau cetakan rengginang rez? Bonyok gitu." Ceplos Milly yang ikut terkejut melihat Arez yang kini telah berdiri dihadapan Shila.

"Hahaha--- Eh--em-- kayanya gue sama Milly pulang luan aja kali ya. Bye Shil." Ujar Gita yang yakin Shila dan Arez membutuhkan waktu berdua untuk menyelesaikan masalah mereka.

"Eh tapi Git---"

"Udah, ayo." Ujar Gita sambil merangkul Milly dan berjalan menjauh dari mereka.

Setelah mereka pergi, Shila menatap datar kearah Arez yang telah babak belur. Walaupun sejujurnya tak mengurangi ketampanan Arez sedikit pun.

"Shil," Panggil Arez sekali lagi.

Ia tau ia telah mengingkari janjinya untuk tidak berkelahi lagi.

Namun namanya naluri lelaki, tak bisa ia hindari. Apalagi jika menyangkut sahabatnya.

Arez pun menggenggam tangan Shila.

"Shil, maaf." Ujar Arez berusaha mendapat balasan tatap dari Shila.

"Hm." Ujar Shila datar.

Arez pun mendengus, "Shil, maafin gue. Lo tau kan, fandy itu sahabat terbaik gue Shil. Gamungkin---" Ucapan Arez terhenti ketika Shila tiba tiba merogoh tas nya.

"Shil--"

Dan akhirnya sebuah plaster pun berhasil mendarat di atas hidung mancung Arez.

"Iya, gue ngerti. Mending pulang sana, obatin gih luka lo." Ujar Shila yang kini mulai menghangat.

Arez menatap Shila tak percaya.

Ia mengira Shila akan memutuskannya setelah ini. Namun justru Shila menutupi lukanya.

"Shil, lo ga marah?" Tanya Arez takut takut.

"Enggak. Gue ngerti kok. Mungkin kalo gue ada diposisi lo pun gue bakal ngelakuin hal yang sama kaya lo." Ujar Shila sambil tersenyum simpul.

Arez pun langsung memeluk Shila, "Thanks." Ujar Arez.

Shila pun mengangguk.

"Yuk, pulang." Ujar Arez.

*****

"Vano, anterin ini gih kerumah Shila." Ujar Poppy.

"Ma, Vano baru sampe rumah, capek." Keluh Vano yang merasa lelah.

"Yah, kok gitu. Ayo dong Van. Sekalian temuin calon mantu mama."

"Ma---"

"Iya iya, Mama tau Shila udah punya pacar. Tapi kan gaada salahnya mama masih berharap. Dan juga Mama ga nerima penolakan. Sana sana. Mau masuk surga gak?"

Mau tak mau Vano pun menganbil kantong makanan yang sejak tadi disodorkan Poppy kearahnya.

"Yaudah Vano pergi dulu."

*****

"Rez, ayo masuk. Luka lo harus di obati dulu." Tawar Shila kepada Arez.

"Ayo ayo." Ujar Arez girang.

Semangat bat dah ni anak. Batin Shila.

"Ini juga karena muka lo luka, kalo engga ogah gue." Gerutu Shila.

****

"Tunggu sini, gue ambil kompres dulu." Ujar Shila yang kini mencampakkan tasnya di sofa ruang tamu.

Arez pun mengangguk paham.

Rumah Shila tergolong rumah yang cukup besar untuk ukuran 2 orang gadis remaja seperti Shila dan kembarannya.

Kemudian Arez memindahkan pandangannya ke arah jejeran foto disebelahnya.

Arez tersenyum simpul ketika melihat foto Shila kecil dengan flower crown diatas kepalanya.

Hingga tiba tiba derap langkah dari pintu masuk terdengar di telinga Arez.

Mata Arez seketika berubah menjadi menajam kearah lelaki yang baru saja masuk kedalam rumah Shila.

"Main masuk aja. Cih. Gapunya tata krama." Ujar Arez sambil menampilkan wajah tak senangnya.

"Shila mana?" Tanya Vano datar seakan tak perduli perkataan Arez barusan.

"Ada perlu apa lo sama Shila gue?" Tanya Arez dengan tatapan menelisik sambil melangkah mendekati Vano.

Memang dasar Vano adalah manusia paling cuek dan dingin, ia justru mengabaikan pertanyaan Arez dan melangkah menuju dapur.

"Woy! Lo ngapain main masuk masuk aja. Lo kira---"

"Vano?" Pekik Shila sambil memegang peralatan kompres nya.

Mendengar panggilan Shila, Arez pun mundur dari hadapan Vano.

Arez tau, Shila paling tidak suka jika Ia harus ikut campur dengan urusan mereka.

"Ngapain?" Tanya Shila datar.

"Ini, titipan dari nyokap buat lo." Ujar Vano sambil menyodorkan bungkusan yang tadi dititipkan kepadanya.

"Oh," Ujar Shila sambil menyodorkan baskom berisi air hangat yang tadi ia genggam kepada Arez.

Arez yang dari tadi menatap tajam kearah Vano, kini berubah jadi manusia paling cengo didunia.

Astaga Shil, kaga ada lembut lembutnya ya sama gue. Batin Arez.

"Bilang ke nyokap lo makasih banget." Ujar Shila yang terlihat senang melihat isi bungkusan yang tadi Vano berikan.

Merasa malas, Arez pun kembali duduk di sofa Shila dan meletakkan baskom tadi di atas meja.

"Michel mana?" Tanya Vano.

"Bimbel." Ujar Shila singkat.

Shila yakin setelah ini Vano akan mengatakan, Gue pulang ya Shil.

Namun nyatanya salah.

Vano justru melenggang melewati Shila dan duduk di sofa.

Vano menyandarkan tubuhnya sambil memejamkan matanya serasa tak ada makhluk hidup disana.

Shila dan Arez saling melemparkan tatapan heran kepada Vano.

"Lo ngapain? Gue rasa urusan lo sama Shila udah kelar." Ujar Arez.

Vano tetap diam tak menghiraukan ucapan Arez lagi dan lagi.

Melihat tingkah Vano yang menurutnya terlalu seenak jidat, Arez merubah tatapan menjadi tatapan ingin membunuh Vano saat itu juga.

"Rez udah. Sini luka lo gue obatin." Ujar Shila yang kini harus duduk diantara Arez dan Vano.

Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini. Batin Shila yang kini mencoba fokus mengobati luka diwajah Arez.

Gagal deh gue beduaan sama Shila. Dasar es lilin, hobi banget ganggu kebahagiaan gue sama Shila. Batin Arez yang kini mendengus sebal dan pasrah.

PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang