48 : : FALSE

2.6K 120 7
                                    

Kupikir ia adalah hujan dan aku adalah payung yang meneduhkannya. Namun aku salah, aku memanglah payung, yang berusaha untuk meneduhkan.

Namun pada akhirnya aku tetap akan menghindari hujan, dan meneduhkan diriku sendiri.

-Boy Under the Rain

...

Terima kasih telah mencintaiku, mulai sekarang tertawalah dengan baik

Makanya sedikit pun aku tidak melupakannya

Suara gitar mengalun, terdengar lembut, lagi-lagi berhasil membuat siapapun yang melihatnya seakan termakan suasana. Rasa sakit, sedih, seolah-olah berhasil tersalurkan oleh siapapun yang mendengarnya.

Rein tersenyum samar, gadis yang tengah berada di jalan pulang itu menyumbatkan headset di kedua telinga seraya memerhatikan rekaman panggung tadi dari handphone-nya.

Motor berjalan kencang, membuat jaket Radin yang tidak tertutup rapat itu sedikit menyibak ke arahnya. Radin...

Petlahan Rein memerhatikan ekspresi anak laki-laki itu dari kaca spion. Entah mulai srjak kapan Radin yang Rein lihat sekarang bukanlah seperti Radin.

Berubah, anak itu sungguh benar-benar berubah. Mungkin masih dengan hemat bicaranya, tapi entah kenapa jika sudah bersuara selalu kalimat yang tidak mengenakkan, selalu dengan nada tinggi, dan ayolah benar-benar Radin yang berbeda.

Pandangan tegas nan tajam, meskipun terkadang sering tertangkap oleh Rein anak itu tengah menerawang kosong. Mungkin bagi Radin yang sekarang, marah, berbicara dengan nada tinggi, dan sorot pandang yang tidak enak itu dapat membuat orang lain melihatnya sebagai kekuatan. Tapi sebenarnya?

Rein menggeleng pelan. Radin salah. Anak itu semakin terlihat sisi lemahnya. Dan bodohnya, dengan sikap itu malah membuat orang lain semakin ingin menjauhinya, sudah lelah untuk bersabar, dan ingin menyelamatkan diri masing-masing.

Bahkan di saat situasi seperti ini saja Rein tidak berani berbicara sedikitpun dengan anak laki-laki itu.

Tanpa sepengetahuan, Radin melirik diam-diam, memerhatikan penumpang belakang dari kaca spion. "Lo mau bicara apa?" tanya Radin, menurunkan bahu yang tadi terangkat kaku, berusaha mungkin terlihat tenang.

Rein menggeleng. Mencengkram belakang jaket Radin. "Nanti aja setelah sampai rumah aku."

Tak ada jawaban dari Radin, angin malam berhembus kencang, langit malam yang biasanya yang dipenuhi bintang sekarang seolah tidak bersahabat, mendung, tanpa kerlap kerlip di atas sana.

Ya mendung, perlahan Rein tersenyum samar. Sama seperti hubungan persahabatannya sekarang. Tak ada yang menyangka dulu yang dipenuhi gelak tawa dan pertengkaran kecil kini malah berakhir seperti ini.

Semuanya sirna, hilang satu persatu, entah itu mrnuju impian masing-masing, maupun seseorang dengan sikap yang berubah terlalu drastis.

Kendaraan beroda terhenti, tepat di rumah krim bertingkat dua milik Rein. Rein turun dari motor sejenak, lalu menyerahkan tas gitar Radin yang sedari tadi di sandangnya.

"Bicara apa?" tanya Radin, kedua alis tebal itu terangkat tampak penasaran. Seraya menyandang tas gitar di punggungnya.

"Aku..." Berusaha mungkin Rein tersenyum, memerhatikan mata cokelat tegas itu dengan lembut. "Aku mau ngejar impian aku juga Radin. Mulai dari besok."

Boy Under The Rain [TERBIT]Where stories live. Discover now