47 : : GONE

1.7K 130 16
                                    

Kamu boleh meraih sesuatu, kamu boleh mendapatkan sesuatu yang berharga bagimu. Tapi ada satu hal yang enggak boleh kamu lupa...

Terkadang hal yang berharga itu bukanlah seutuhnya milikmu. Adakalanya kamu harus belajar melepaskan, merelakan, dan berlapang dada untuk menerima kenyataan bahwa kamu akan  kembali lagi dalam kesendirian.

-Boy Under the Rain

...

Seumur hidupnya, Radin tidak akan lagi pernah percaya jika ada kata yang paling indah di dunia adalah kata yang diucapkan dari seorang sahabat. Ya, indah, memang menenangkan, membuat dirinya terasa hidup seketika.

Namun siapa sangka semuanya seperti ini? Siapa yang menyangka, jika pada akhirnya kata perpisahan itu benar-benar ada. Menyakitinya, menghempaskannya, dan percayalah ini rasanya jauh lebih buruk dibandingkan perceraian antara Papa Mama.

Brakk!!

Pintu rumah dibanting dengan kuat, tampak Radin dengan kaos hitam dan celana pendek hitam selututnya melangkah dengan lebar, baru saja dari luar, meniti anak tangga dengan tak sabar.

Sudah lima hari. Ya tepat lima hari setelah perpisahan sekolah begitu juga dengan perceraian kedua orangtuanya ia seperti ini. Tak ada sorot mata tenang lagi sendu, tak ada suara bass lembut, bahkan senyum manis milik anak laki-laki itu lagi.

Bibi. Perempuan paruh baya itu tersentak, mendengar suara bantingan barang di sekitar rumah. Jelas sudah berasal dari Radin, apapun yang ada di hadapan anak itu, entah pintu, buku, maupun perabotan lainnya, maka kini tidak dapat berakhir dengan baik.

"Den, tutup pintunya baik-baik."

Tak ada jawaban dari Radin. Anak laki-laki itu kini tidak lagi menghiraukan apa yang ada di sekeliling. Sudah cukup, keputusan Papa secara sepihak benar-benar membuatnya kesal, hak asuh anak kini berada di tangan Mama. Dan itu tandanya pula Radin harus tinggal di rumah ini, bersama perempuan paruh baya itu.

Terserah Radin tak peduli.

"Radin!" panggil Mama, perempuan yang baru saja melihat kepergian mantan suaminya itu kini masuk ke dalam rumah, mengangkat kepala memerhatikan Radin dari ruang tengah dengan kesal.

"Jangan kayak anak enggak tahu sopan santun kamu! Banting sana banting sini, kamu pikir Mama mudah urus rumah ini?"

"Susah!" jawab Radin dari lantai atas. Ditolehkannya kepala ke lantai bawah memerhatikan Mama. "Barang-barang ini mahal! Jauh lebih berharga dari apapun! Sama berharganya dengan uang Mama! Pekerjaan Mama!"

"Radin!" Belum sempat perempuan itu meneriakinya lagi, secepat mungkin Radin membanting pintu kamar, masuk dalam tempat bernuansa klasik itu dengan cepat.

Suara hembusan napas terdengar memburu, begitu sesak, dimana mulai sekarang dirinya seperti kehabisan oksigen di sekelilingnya. Radin memejamkan mata, menelan ludah, tampak bulir keringat dingin mengalir dari dahinya begitu banyak.

Sakit. Sungguh dirinya terasa sakit sekarang. Mulai dari Papa, Mama, lalu Dhei. Tiga orang berharga yang selalu ia genggam, selalu teringat di pikiran dan tiga orang yang pernah membuat dirinya hidup lalu membuangnya begitu saja.

"Sial," umpat Radin pelan, sekali lagi digepalkan tangan dengan erat lalu memukul dinding kamar berkali-kali tanpa ampun, membiarkan setiap buku jari itu memerah, dan bodoh, semerah apapun warnanya dirinya tidak dapat merasakan sakit sama sekali.

Ada rasa yang jauh lebih sakit dibandingkan buku jari ini, dan parahnya ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara mengobatinya kembali, tak ada yang membantunya, tak ada sama sekali yang berada di sampingnya.

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang