27 : : YOUR LIE

1.5K 107 13
                                    

Mungkin kamu lupa. Sini, sebagai sahabatmu biar kuingatkan.
Untuk meraih harapan, kita memang harus melewati berbagai macam rintangan kan?

-Boy Under the Rain

...

Sinar matahari tampak mulai terbit, burung-burung berterbangan, berkicau menghinggapi ranting-ranting pohon. Terdengar begitu indah, sunyi, dan tenang.  Pintu kamar bernuansa klasik itu terbuka, dari sana tampak perempuan paruh baya masuk dengan pakaian rumah begitu juga kemoceng di tangannya.

Gorden kamar dibuka dengan lebar, berhasil membuat kamar yang terlihat remang kini terang seketika. 

"Den Radin, bangun Den, sekolah."

Perempuan itu menepuk sebelah bahu Radin dengan pelan. Tampak mata bundar anak laki-laki itu masih terpejam, cekungan hitam terlihat dibagian bawah mata, begitu juga rona wajah yang tidak biasa. Terlihat pucat dan posisi tidur yang meringkuk itu seperti menahan sakit yang amat sangat. 

"Den?" Perempuan itu mengernyit, meletakkan punggung tangannya ke atas dahi Radin, merasakan suhu tubuh anak itu. Dari semalam ada yang aneh ketika ia memerhatikan anak ini. Mendadak kedua mata perempuan itu membulat begitu merasakan suhu panas yang menyentuh punggung tangannya.

"Den!" panggil Bibi menepuk pipi Radin dengan pelan, berharap anak itu merespon panggilannya. "Den Radin demam? Kenapa enggak bilang ke Bibi Den."

"Mama..." gumam Radin, masih dengan mata bundarnya yang tertutup, kedua ujung alisnya tampak turun, meringis. "Enggak..."

"Den," Berusaha mungkin perempuan itu berjongkok, menepuk pipi Radin yang tidur dengan posisi miring itu berulang-ulang. "Bangun Den, bangun."

"Hmmh?" Radin mengerang, perlahan mata bundar itu terbuka, tampak begitu sayu. Suara ringisan terdengar seketika, belum sempat Radin memijit pelipisnya, perempuan itu sudah melakukannya terlebih dahulu.

"Bibi sana aja Bi, Radin bisa sendiri," gumam Radin, menjauhkan tangan perempuan paruh baya itu dari pelipisnya.

Kedua alis Bibi terangkat, perempuan itu nenyibakkan selimut. Berhasil membuat tubuh anak laki-laki itu semakin meringkuk kedinginan. "Den, kalau demam jangan selimutan Den, jangan pakai jaket. Nanti makin enggak sembuh. Den Radin enggak usah sekolah dulu, istirahat," suruh perempuan itu.

"Radin mau sekolah," ucap Radin berat, mata itu terpejam sejenak, begitu rasa kantuk dan lelah masih saja menghantui tubuhnya. "Radin enggak mau kotorin absen Radin di kelas." 

Bibi menggeleng pelan, untuk kesekian kalinya mengembus napas panjang menghadapi tingkah laku anak majikannya itu. Memang menyenangkan melihat seorang anak begitu mudah bersekolah, prestasi yang diukir juga membanggakan, serta sikapnya pun dapat terkendali. 

Namun entah kenapa di saat situasi seperti ini, hal menyenangkan tersebut seolah menjadi sebaliknya, menjadi siksaan tersendiri bagi si pemilik tubuh. Memaksakan diri untuk melakukan kegiatan, berusaha beraktivitas seperti orang biasa, dan lebih mengutamakan pendidikan maupun karir dibandingkan kesehatan sendiri. Seolah-olah tidak ada kata toleransi untuk mengistirahatkan tubuh. 

Berpikir, bekerja, tanpa peduli memikirkan kesehatan diri.

"Den, dengar Bibi," ucap perempuan itu, sesekali mengusap rambut hitam Radin dengan lembut, berusaha melindungi hati serta memberikan semangat kepada anak itu. "Jangan paksakan diri,  Den Radin manusia, bukan robot Den. Den Radin harus istirahat kalau mau cepat baikkan ya?"

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang