31 : : I DONT CARE

1.5K 106 6
                                    

Aku ingin ia berbicara.
Aku ingin ia mengungkapkan yang sebenarnya.
Tanpa ada ditutupi, tanpa ada yang tersembunyi.
Kamu tahu kenapa?
Karena rasa ini terlalu sesak,
Adakalanya aku ingin menyerah dan berhenti berharap dengan apa yang ada.

-Boy Under the Rain

...

Hal paling menyebalkan yang pernah Rein rasakan adalah ketika hati tak berjalan sesuai dengan logika, selalu saling berlawanan, berdebat dalam diri, dan menimbulkan kebingungan bagi si pemilik diri.

Dimana hati mengatakan iya, dimana hati begitu ingin namun logika tak berbaik untuk menuruti. Logika menepis, meminta untuk berhenti berharap kepada hati untuk tidak sakit kembali.

Bagus memang, tapi keduanya akan merasakan sesak yang sama. Ketika mengikuti logika, maka ada rasa sesak berupa rindu yang tak tertahankan. Namun apabila mengikuti hati? Sama saja, apalagi kita tidak mengetahui bagaimana bentuk perasaan orang yang kita cintai. Terbalaskah? atau malah sebaliknya.

"Nah sampai," Dhei tersenyum puas, mengembus napas lega, meletakkan motornya ke garis batas parkiran. Masih juga tidak turun gadis di belakanganya, Dhei mengernyit heran. "Rein?"

"Ah! Iya!" Rein tersentak. Secepat mungkin gadis itu membuyarkan lamunan, turun dari kendaraan.

Dhei turun mengulurkan sebelah tangan ke hadapan Rein. Rein mengernyit seketika, tak lama tersenyum, mengangguk puas. Gadis itu meraih sesuatu dari saku bajunya lalu meletakkan sesuatu di telapak tangan lebar milik Dhei.

Dhei tersenyum samar, memerhatikan permen di telapak tangannya sejenak, lalu memandang  punggung gadis yang berjalan beberapa langkah darinya.

Benar-benar miris.Rein pintar. Bukan hanya dalam pelajaran, namun bisa menulis setiap scene di dalam ceritanya, tapi kenapa gadis itu tidak bisa memahami hal-hal kecil seperti ini?

Oh ayolah, Dhei mempercepat langkah, menyamakan langkah dengan Rein. Dirinya ingin berjalan seiringan dengan gadis ini, bercanda bersama, seperti apa yang biasa dilakukan gadis ini dengan Radin. Entah kenapa terlihat nyaman dan menyenangkan. 

"Rein..." panggil Dhei, menaiki anak tangga begitu juga Rein. Rein menoleh, seraya memegang kedua tali tasnya dengan erat.

Dhei memandang lurus, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Tatapan itu tampak serius, tanpa candaan seperti biasa. Entah kenapa Dhei dimata Rein saat ini terlihat jauh lebih dewasa dibandingkan Dhei yang terlihat gila ketika sedang berada di sekolah. "Cowok kayak apa yang bisa membuat lo jatuh cinta?" 

Kedua mata Rein membulat, anak itu tertawa sejenak, seolah memastikan pertanyaan Dhei di sampingnya. Rein bergumam, cewek itu mengangkat kepala, memerhatikan setiap sudut jalan koridor rumah sakit. "Yang pendiam, lembut, suka buku, bisa menghargai wanita." 

Sungguh, ingin rasanya Dhei terjungkang ke belakang sekarang. Baru tipe pertama saja dirinya sudah kalah jauh. Dhei berbelok ke arah kanan, melewati lorong ruangan, begitu juga Rein. 

Bibir bawah Rein terangkat, kembali membayangkan. "Yang penting baik, jujur. Yah..." Rein menyengir, menggaruk belakang kepalanya tidak gatal, tersenyum tidak enak. "Aku enggak pernah benar-benar ngerti seperti apa tipe yang kusuka. Aku enggak pernah ngerti masalah cinta. Aku enggak tahu." 

Kedua alis Dhei terangkat, heran. Gadis itu benar-benar tampak bingung sekarang, bola mata itu tampak bergerak kanan kiri mencari jawaban, namun nihil tak kunjung didapatkan. "Ahh! Pokoknya aku enggak ngerti!" ucap Rein sedikit meninggikan volume suara. Kedua pipi gadis itu tampak memerah, menahan malu. "Makanya aku enggak pernah nulis tentang cinta-cintaan, aneh menurutku, enggak realistis."

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang