4 : : HATE

5.3K 323 23
                                    

Enggak seharusnya gue bilang, gue benci sama pekerjaan, gue benci sama uang. Bagaimanapun juga gue membutuhkannya. Tapi kalau kedua hal itu berhasil ngendaliin keluarga gue, gue bakal membencinya.

-Boy Under The Rain

....

Seandainya saja langit malam tidak terlihat gelap maka kita tidak akan pernah dapat melihat indahnya bintang. Seandainya saja langit siang tidak terlihat terang, mungkin kita akan kehilangan pesona gumpalan awan yang berarak di setiap detiknya.

Ya, semua sudah digariskan. Tergantung bagaimana cara seseorang memandangnya. Ingin memandang langitnya saja, objeknya saja, atau mungkin keduanya?

Terserah, setiap orang memiliki beribu cara untuk menikmati kebahagiaannya tersediri.

Kedua mata bundar Radin mengerjap, tubuhnya ia sandarkan ke sisi ranjang seraya menatap langit gelap dan bintang secara bersamaan.

Perlahan helaan napas panjang terdengar begitu kuat seolah-olah melepaskan sedikit beban yang bersarang di tubuhnya. Diam-diam Radin menunduk, membenamkan wajah di antara kedua lutut seraya mengacak setiap ujung rambut yang berada di kepalanya.

Dirinya tengah mengasihani diri sendiri mungkin?

Ya, kasihan kenapa harus hidup di lingkungan layaknya robot seperti ini. Kasihan kenapa hubungan dirinya dengan orang di rumah ini sungguh berbeda dengan anak-anak lain. Jika yang lain bisa tertawa dan melemparkan candaan satu sama lain, maka ini sebaliknya. Bukan tawa, melainkan masalah dan pertengkaran.

Entah berapa puluh kali Radin mengutuki, benar-benar menyebalkan.

Suara kertas dan keyboard laptop dari lantai bawah terdengar samar. Padahal jam sudah menunjukkan 9 malam, dirinya yang tadi mencoba untuk belajar malah tidak berkonsentrasi akibat keinginan Mama yang menginginkan dirinya untuk pindah dari suatu jurusan.

Sekali lagi Radin mengembus napas panjang, memerhatikan pemandangan luar melalui jendela kamar. Bohong jika dirinya tidak kasihan dengan Mama. Ya, melihat kesibukkan perempuan itu terkadang membuat Radin menegak ludah sendiri. Tidak pernah beristirahat, sibuk berkutat dengan kerjaan, dan tiada henti.

Apa mungkin jika nanti ia bekerja. Dirinya akan seperti Mama?

Secepat mungkin Radin menepiskan pikirannya. Tentu saja tidak. Radin tahu menjadi orang dewasa memang terlihat sibuk, tapi jika dapat mengontrol waktu atau hanya memberikan waktu lima menit saja dalam sehari untuk keluarga mungkin rasanya akan menyenangkan sekali.

Dengan kedamaian tentunya, bukan dengan pertengkaran.

Tok... tok...

Ketukan pintu kamar terdengar jelas. Tanpa mengalihkan pandangan, Radin menekuk sebelah kaki, memasang wajah datar. "Masuk."

Pintu terbuka perlahan. Menampakkan perempuan paruh baya yang masuk ke dalam sana. Percayalah itu bukan Mama, melainkan perempuan yang rajin mengurusi rumah ini, dan seseorang yang merawatnya sejak kecil.

Kamar terlihat gelap hanya dengan nuansa remang di kawasan jendela. Perempuan itu melangkah masuk, sedikit berhati-hati agar tidak tersandung sesuatu. "Den, lampunya boleh Bibi hidupin?"

"Hidupin aja Bi," ucap Radin, secepat mungkin cowok itu mengusap mata dengan sebelah lengan. Takut tiba-tiba saja ada buliran bening yang sedari tanpa sadar menggenangi matanya.

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang