41 : : CALLED LOVE (?)

1.2K 94 7
                                    

Entah ini yang dinamakan kebodohan atau kepikunan secara mendadak. Yang pasti kata putus sudah menunggu setiap dua insan yang tengah berpacaran bukan?

-Boy Under the Rain

...

Entah kenapa jika tengah dilanda jatuh cinta seseorang seolah-olah seperti lupa ingatan, menutup mata, bahkan menutup telinga akan resiko yang di hadapkan.

Apalagi pacaran, ketika menjalin hubungan itu seolah-olah manusia lupa kalau hubungan itu tidak akan dapat berlangsung selamanya, hanya bertahan hitungan waktu saja dan putus.

Tak apa jika mereka siap dengan konsekuensi akhirnya. Tapi jika tidak? Ya, begitulah. Miris, dimana khayalan mereka terhempas begitu kuat, karena pada nyatanya tak semua kisah dapat terlihat indah layaknya di dalam sebuah dongeng, dimana setiap tokoh utamanya diciptakan dengan akhir bahagia, hidup selamanya-lamanya.

Selamanya-lamanya?

Jujur saja, baik Rein maupun Dhei sebenarnya juga meragukan hal itu. Seperti cinta monyet, hanya datang dan pergi, begitu cepat bertahta di hati, dan menghilang serta meninggalkan luka di sanubari. Komitmen?

Oh ayolah, tak semua orang terpikirkan hal seperti itu. Apalagi dirinya masih remaja belasan tahun. Masih banyak umur yang tersisa, masih banyak perjalanan yang harus dilalui dan perjalanan itu tidak hanya membahas tentang cinta antar dua manusia.

Jika adapun, mungkin hubungan itu juga akan putus dan diganti menjadi sebuah identitas yang baru.

Dhei. Cowok dengan kaos putih dibalutkan kemeja biru tua itu menyesap minuman, duduk di sebuah tempat makan seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Terasa membosankan.

Tidak Rein, tidak Radin, kedua irnag itu sama sekali tidak pernah meelpaskan buku dari genggamannya. Seolah begitu fokus dan takut akan kurangnya persiapan di masa yang akan datang.

Dhei mengalihkan pandangan memerhatikan pemandangan di sekelilingnya. Tampak begitu indah, langit senja, nuansa kursi dan meja putih serta beberapa hiasan yang dimiliki temoat ini seolah memiliki nilai tambah tersendiri.

Apalagi bila semua makanan dan minumam ini gratis. Pasti Dhei akan jauh lebih senang lagi.

"Rein, istirahat sebentar, tenangin pikiran lo."

"Enggak bisa Dhei," ucap Rein, bahkan di tempat makan saja bisa-bisanya gadis itu masih membawa beberapa buku di tasnya, belajar, mengerjakan latihan soal. "Sebentar lagi kita bakal hadapin tiga ujian berturut-turut..."

Dhei memutar bola mata dengan malas, menutup buku soal gadis itu sejenak, lalu menariknya. "Ujian sekolah, ujian praktek, ujian nasional. Dan jangan lupa pula ujian buat masuk universitas," jelas Dhei jenuh. "Lo bukan robot, lo manusia, tenangin pikiran lo sejenak. Nikmatin dunia lo sebentar Rein."

Rein tampak gelisah, gadis dengan sweater merah mudanya itu menggigit bawah bibir sejenak, lalu memotong cake dengan sendok kecilnya sejenak, melahap, berusaha mungkin menikmari suasana di sekelilingnya.

"Lo enggak capek Rein?" tanya Dhei, mencondongkan tubuh, masih menyita buku soal itu di tangannya.

"Hmm?" Keedua alis Rein terangkat bingung seraya mengunyah makanannya. "Capek kenapa?"

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang