45 : : LEAVE

1.4K 115 12
                                    

Selamanya saya tidak ingin hidup bersama gadis yang saya cintai, saya tidak akan membalas perasaannya meskipun rasa ingin itu sangat ada. Saya bukan orang yang baik, saya bukan orang yang benar-benar mengerti tentang cinta.

Saya tidak bisa menjaga kamu, bahkan untuk mengendalikan diri saja saya masih belum mampu. Saya tidak mau kamu terjebak di dalam sikap buruk saya. Posesif? Ya, saya tidak ingin kamu merasakannya.

Saya ini berlebihan, saya akan menjaga satu hal yang berharga dengan begitu erat. Namun, ketika orang berharga itu merusak kepercayaan saya, maka saya akan melepaskannya dan melupakan bayang-bayangnya dengan cepat.

Ya, karena itu saya diam, saya hanya tidak mau kamu menderita jika nanti hidup bersama saya.

-Boy Under the Rain

...

Papa Mama pisah...

Radin. Cowok bermata bundar itu menggenggam pensil 2B-nya dengan erat, berusaha mungkin ia menahan getaran tangannya yang meminta untuk membanting dengan kuat. Dapat ia rasakan setiap ujung jarinya mendingin seketika, begitu juga dengan setengah pikirannya yang sekarang entah melayang kemana-mana.

Fokus dengan soal?

Sungguh jika bisa ingin rasanya Radin mengumpat sekarang. Pikirannya begitu penuh, segala memori di rumah, keributan, dokumen-dokumen untuk perceraian, lalu...

Radin menunduk, memejamkan mata,seraya menarik ujung rambut dengan erat. Bagaimana bisa ia menjawab soal-soal jika berada di dalam situasi seperti ini? Dan parahnya ini Ujian Nasional. Waktu tinggal tersisa sedikit lagi, sementara lingkaran hitam yang tertera di lembar jawaban hanya ada setengah dari soal dan sungguh Radin tidak dapat fokus sama sekali.

Bolehkah ia keluar dari kelas sekarang? Bolehkah ia pulang dan tidur dengan cepat? Percayalah, otaknya sedang butuh istirahat sekarang.

"Diam... diam..."

Dibalik kelas yang hening itu Radin menggumam, berusaha menenangkan pikirannya yang terasa begitu penuh. Mungkin tak ada suara di kelas ini, para murid tengah fokus mengerjakan soal ujiannya, namun di dalam pikiran Radin sendiri? Terasa berisik, begitu berisik, suara berada di sana sini berhasil membuatnya seolah ingin berteriak meminta untuk pikirannya diam sekarang juga.

Radin menggigit bawah bibir, bulir keringat dingin tampak menyembul di dahinya, tak lama anak itu menelan ludah berusaha mungkin meredam emosi sekaligus pikiran gilanya. Abaikan suasana rumah, abaikan suara kedua orang yang selalu saling membentak. Dirinya sekarang berada di sekolah dan bukannya ia hanya butuh fokus menjawab soal ujian? Jauh lebih mudah kan?

Ya, hidup segampang itu.

"Kamu yang duduk paling belakang! Sudut jendela kanan!"

Sontak, semua murid menegakkan kepala, menoleh ke arah yang dipanggil oleh pengawas. Mendadak saja pandangan heran sekaligus sorot mata aneh beralih ke arah anak laki-laki itu. Radin masih saja memejamkan mata, menggumam seraya memepererat cengkraman rambutnya. Pucat, siapapun yang melihat jelas wajah anak itu sudah pasti akan mengatakan pucat.

Dimas yang duduk di depan menoleh ke arah kiri, memerhatikan Dhei. Begitu juga dengan Dhei, kedua ujung alis anak itu tampak turun, hanya bisa memandang pasrah sahabatnya yang berada di bangku belakang. Memanggilpun rasanya tidak mungkin, terlalu jauh.

Rein yang berada di samping kanan Radin,kini menoleh. Dapat ia lihat sesekali anak laki-laki itu mengatup mulut dengan rapat, menahan rasa mual yang mendera pada tubuhnya. "Radin..." panggil Rein setengah merundukkan tubuh, berbisik. Nihil, anak itu tidak mendengarnya sama sekali.

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang