39 : : LAST CLASS

1.3K 95 17
                                    

Kamu benar, semua cerita kita seperti sebuah scene film, begitu banyak kisah, begitu banyak masalah, dan begitu cepat berlalu. Hanya saja jika film kita dapat memutarnya berulangkali, mengulang kenangan manis-pahit itu sekali lagi maka tidak dengan hidup kita.

Kita tidak bisa mengulangnya. Kenangan itu, waktu itu, hanya bisa tersimpan di dalam memori dan benak kita. Sekuat apapun kamu memberontak...

Na'as kamu takkan pernah bisa mengulangnya.

-Boy Under the Rain

...

Waktu itu seperti kita mengedipkan kedua mata. Terbuka dan tertutup dengan cepat, apa yang kita lihat setiap detiknya akan menjadi masa lalu yang takkan bisa diputar.

Mungkin awalnya tidak terasa, tidak ada menyangka jika suatu saat nanti akan terasa kehilangan. Tidak, karena kita masih memiliki dan belum merasakan kehilangan hal-hal kecil yang tanpa disadari itu adalah hal yang sangat berharga.

"Ahhh!!"

Dhei. Anak laki-laki dengan seragam olahraga itu merenggangkan tubuh, diangkatnya kepala memerhatikan pemandangan di sekelilingnya.

Langit tampak begitu biru cerah, awan-awan putihnya tampak mengumpal serta berjalan berarakan dengan lambat. Ya, suasana yang begitu indah, apalagi melihat lapangan sekolah yang tidak begitu ramai di saat-saat seperti ini.

Hanya ada beberapa kelas mengikuti jam pelajaran olahraga, lalu belum lagi anak laki-laki baru saja usai dari keseruannya bermain basket, bersama Dimas dan Radin.

Dhei menyambar sebotol minuman, duduk atas tepian panggung sekolah bersama kedua sahabatnya. Sedangkan Rein? Bukannya cewek itu sudah berstatus sebagai pacarnya?

"Terlalu cepat," ucap Dhei tiba-tiba mnecondongkan tubuh, memerhatikan beberapa siswi yang masih bermain voli di sisi kiri lapangan. "Kita udah kelas dua belas, bentar lagi bakal tamat dari sini."

Dimas yang duduk di samping kanan Dhei, mengangguk, tersenyum samar. "Ya," gumam Dimas.

Kedua sudut bibir Dhei terangkat, masih saja memerhatikan lapangan sekolah, seolah-olah tengah mencoba menikmati setiap masa yang pernah dilaluinya. "Gue masih ingat pertama kali gue ketemu Radin, lo, Rein."

Dhei menoleh sejenak, memerhatikan Radin yang tengah sibuk dengan buku bacaan di sampingnya. Kelas dua belas sangat diidentikkan dengan ujian, dan dimasa-masa itu pulalah, bukannya menikmati masa terakhir di sekilah, Radin malah sibuk fokus dengan segala jenis buku soalnya.

"Orang pertama yang gue temui dahulu di antara kalian bertiga itu Radin," ucap Dhei. Tersenyum miring. Sesekali mengembus napas panjang. "Gue enggak tahu gimana nasib gue di sekolah ini kalau enggak ketemu dia, kalau gue enggak ke kelas kita yang di lantai dua waktu itu, mubgkin gue bakal pernah sedekat ini sama lo semua."

"Gue enggak bakal pernah duduk sama Rein, gue enggak bakal pernah ada niatan buat band, dan parahnya gue pernah mutusin buat jadi suram di masa-masa ini. Tanpa candaan, tanpa gue yang..."

Dhei meringis, mengingat segala bentuk tingkah anehnya selama dua tahun lebih di sekolah ini. Pecicilan, tidak pernah serius, bahkan dirinya sering mengajak Radin dan Dimas lomba lari tanpa mengenakan sepatu dari kantin hingga kelas dengan melewati lapangan ketika jam pelajaran istirahat. Memalukan? Ya, sangat memalukan.

"Gila," Dhei tertawa pelan. Menunduk, menggeleng pelan.

"Gue enggak tahu gimana bentuknya lo kalau jadi pendiam Dhei," ucap Dimas, menoleh serius, lalu tertawa pelan. "Lo harus diabadikan di museum kayaknya."

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang