25 : : MUSIC

1.5K 113 17
                                    

Tanpa kamu sadari hidup itu seperti mimpi, entah itu baik ataupun buruk, ia akan begitu cepat pergi.

Seperti film, ia terus berganti dari satu scene ke scene lain, kita sebagai penonton dituntut menikmati alur, dan merasakan setiap perubahan emosi kepada apa yang terjadi.

-Boy Under the Rain

...

Terima kasih telah mencintaiku,  bagaimanapun juga hal itu hanya tak terkatakan

Karena aku bahagia saat berada disampingmu

Terima kasih telah mencintaiku, mulai sekarang tertawalah dengan baik

Makanya sedikit pun aku tidak melupakannya

Kedua mata bundar Radin terpejam, memegang mic dengan erat. Tampak bergetar? Ya dulu awalnya, bahkan Dhei tertawa terbahak-bahak untuk pertama kalinya ketika Radin menjadi vokal.

Suara tegukan ludah, sesakkan napas, dan suara bergetar itu benar-benar begitu terdengar. Dan sekarang? Ya, untungnya juga Radin begitu cepat terbiasa, meskipun dengan cara memaksakan diri.

Dhei menyengir, melirik Radin dan Dimas sejenak lalu Rein di hadapannya yang tak bosan-bosan menikmati irama lagu. Gadis itu, memang fans setia nomor satu.

Tok... tok...

Suara ketukan pintu ruang musik terdengar. Semakin kuat, dan menyebalkannya lagi... Dhei mendesis, menghentikan permainan gitarnya sejenak, berhasil membuat Radin berhenti melantunkan vokalnya. Oh ayolah! Bukankah ini masih jam istirahat! Ruangan ini juga tidak ada yang menggunakannyakan!

"Din..." panggil Dhei cepat. Radin yang sedari tadi menunduk, menatapi tiang mic itu menoleh ke arah kiri, mengangkat kedua alis. "Lo bantu bukain pintu sana, lihatin siapa yang daritadi ganggu, kepo amat kayak Dora," gerutu Dhei.

"Hah?" Radin mencondongkan tubuh, setengah heran. "Kenapa gue?" 

"Karena muka lo yang paling tenang. Mana tau aja, ngelihatin lo mereka enggak jadi ngamuk-ngamuk, yah meskipun..." Dhei tersenyum tidak enak, seraya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Meskipun bisa jadi mereka makin kesal gara-gara ekspresi polos lo." 

"Kurang ajar," kutuk Radin pelan, terdengar datar di telinga ketiga sahabat itu. Rein tertawa pelan, begitu Dhei dan Dimas. Radin melangkah, membuka pintu ruangan musik, sontak saja kedua mata bundar itu membulat seketika memerhatikan puluhan murid yang berdiri di depan sana. Adik kelas? Ya, dari seragamnya saja dapat ditebak dengan mudah.

Anak-anak itu berdempetan, saling tolak menolak, berusaha memerhatikan dalam ruangan musik dengan penasaran. Radin mengernyit. "Kenapa? Udah bel masuk? Lo semua ada pelajaran musik habis ini?"

Serempak anak-anak itu menggeleng, tersenyum lebar. 

Kedua mata Radin mengerjap, menoleh belakang, memerhatikan ketiga sahabatnya yang berada di dalam ruangan. Seolah-olah mata bundar itu mengatakan. Tolongin gue ngapa! Jangan cengar-cengir lo pada!

Dhei tertawa pelan, lalu menggeleng. "Lo tanya aja dah sama mereka. Mau ngapain."

Radin mendesis, kembali menoleh, berdiri di ambang pintu ruangan musik. "Jadi pada mau ngapain? Oh atau jangan-jangan..." Sebelah sudut bibir Radin terangkat, memerhatikan Dhei yang cengar-cengir layaknya kuda.

Jika ditanya siapa wajah yang paling polos, maka tidak segan Radin akan menunjuk wajah seolah tidak berdosa milik Dhei itu.   

"Lo semua mau minta tanda tangan Dhei? Minta foto sama dia?" tanya Radin. 

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang