7 : : HONESTLY

3.3K 215 12
                                    

Sejujurnya gue ragu dengan langkah yang gue ambil, apalagi tanpa persetujuan dari orangtua gue.

-Boy Under The Rain

...

Sulit ketika harapan yang kita inginkan bertentangan dengan orang yang berharga dalam hidup kita, orang yang begitu dekat apalagi yang telah merawat kita dari kecil hingga beranjak dewasa.

Ada rasa bersalah? Tentu saja iya, tapi entah kenapa ada juga rasa ingin untuk membahagiakan diri, mengikuti jalan pikiran sendiri, dan mencari rasa nyaman maupun kebahagiaan sejenak.

Ya, itu yang Radin rasakan sekarang. Dirinya seperti berada di tengah-tengah, antara mengikuti keinginan orangtua atau mengikuti ego sendiri.

Meskipun Radin melihat keduanya mengandung hal yang positif maupun negatif dalam hidupnya secara bersamaan.

"Radin pulang," ucap Radin pelan, lalu melangkahkan kaki ke dalam rumah.

Rumah tampak sepi, pintu depan yang terbuka lebar berhasil membuat sinar matahari terbenam masuk ke dalam sana, membuat dinding disinari cahaya jingga dan nuansa terasa begitu sendu.

Tidak seperti biasa, jika biasanya Radin langsung menuju kamar, kini anak itu sangat tidak selera. Ada suatu hal yang ingin ia bicarakan sebelum masuk ke dalam ruangan itu, ada hal yang ingin ia ucapkan sebelum ia membiarkan tubuhnya beristirahat.

Suara helaan napas panjang terdengar begitu kuat, Radin menghempaskan tubuh ke atas sofa. Dipejamkan kedua matanya sejenak, berusaha menghilangkan pikiran gila yang berkecamuk dalam otaknya.

Seperti senja, anak laki-laki itu terlihat tenang namun ada kegelisahan ketika sudah berganti malam. Dan seperti senja pula, anak laki-laki itu tampak begitu labil, layaknya diperbatasan antara siang malam, terang dan gelap, cerah dan kelam.

"Eh, Den Radin udah pulang?!"

Radin menoleh belakang, berusaha mungkin anak itu mengangkat kedua sudut bibirnya dengan senang menatap seseorang yang baru saja keluar dari dapur. Radin mengangguk, bangkit menyalami perempuan paruh baya itu sejenak.

Percayalah, itu bukan Mama. Dirinya tidak begitu dekat dengan Mama. Bahkan Radin rasa Bibilah yang lebih banyak memberikan waktu dan kasih sayang kepadanya.

"Bi, Mama sama Papa belum pulang?"

Dapat Radin rasakan perempuan itu tercengang sejenak, mungkin heran, dan jarang-jarang dirinya seorang Radin Anggana menanyakan kehadiran kedua orang itu.

Karena yang Radin tahu, dirinya sedari dulu seolah-olah hanya bersikap tidak peduli, dirinya seolah menghindari fakta kalau kedua orang itu terlalu sibuk hingga tidak memiliki waktu untuknya.

Belum sempat Bibi menjawab. Suara deruan mobil memasuki halaman rumah. Radin menoleh, memerhatikan ruang ramu. Mama? Ya, benar. Perempuan itu baru saja pulang dengan seragam formal kantornya.

Secepat mungkin Radin menghampiri, mencegat langkah perempuan paruh baya itu. "Ma, ada yang mau Radin bicarakan sebentar."

"Mama sibuk," ucap perempuan itu, datar. Mama meletakkan tas ke meja ruang tengah sejenak, tanpa basa-basi perempuan itu menuju dapur, meraih segelas air putih.

Radin berjalan mengekori. "Ma, sebentar."

Gelas dihentak ke meja dengan kuat. Bukan hanya Radin yang tersentak, tapi Bibi yang ikut-ikut mengintip dari ambang pintu juga merasa sama. Radin menahan napas, menegak ludah.

"Radin," panggil perempuan itu, menatap anaknya dengan pandangan menekankan. "Kamu enggak lihat saya baru pulang? Saya masih lelah, mengerti?"

Tanpa mengerjap, mata bundar Radin memerhatikan Mama, tampak menerawang, dengan sedikit harapan semoga perempuan itu dapat merasakan apa yang tengah ia rasakan sekarang. Radin tersenyum sinis. "Memang kapan Mama pernah punya waktu untukku? Enggak pernah ada bukan?"

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang