19 : : SILENT

Mulai dari awal
                                    

"Pakai kacamata hitam juga!" tambah Radin cepat, tertawa kencang, sesekali memukul meja tidak berdosa di hadapannya. 

Kelas hening seketika, murid-murid yang tadinya tampak berisik menoleh ke arah Radin seketika. Jangankan anak sekelas, Dhei yang dekat saja terdiam seketika, sebelah sudut bibir Dhei terangkat, megerjapkan mata tidak percaya, memerhatikan orang di hadapannya tertawa sungguh benar-benar langka, dan tampaknya harus diabadikan di museum terdekat. 

Radin mengernyit, tawa yang sempat terlontar kencang itu terhenti seketika, memerhatikan sekeliling dengan heran. Rein tecengang begitu juga dengan Dhei, dan Dimas? Cowok itu tampak mengerjapkan mata tidak percaya sebelum kembali mengalihkan pandangan. "Kenapa?" tanya Radin, polos. 

Dhei menggeleng, cowok itu bangkit sejenak lalu menepuk sebelah bahu Radin dengan kuat, kembali dengan tawanya, begitu juga Radin. Kedua orang itu akui memang receh, namun entah kenapa terdengar lucu sekali, humor aneh dengan banyak kandungan halusinasi. Yang hanya dapat dipahami oleh makhluk-makhluk tertentu.

Radin tertawa lepas. Diam-diam kedua sudut bibir Rein terangkat senang, mata bulat berbinar itu tak henti memerhatikan Radin dengan kagum. Seperti sebelumnya, Radin seperti teka-teki, begitu banyak menimbulkan pertanyaan, namun tak pernah ada yang mengira jawaban itu dekat sebenarnya. 

Ya, mungkin jika dilihat sekilas sangat sulit menemukan selera humor anak ini, tapi siapa disangka? Jawabannya begitu dekat, sangat mudah membuat anak ini untuk kembali ceria dan melupakan permasalahannya sejenak.

Dan percayalah, meskipun dunia tidak cukup baik untuk mengabulkan setiap harapan manusia, tetapi setidaknya Rein berharap hal ini berlangsung selama-lamanya. Anak laki-laki itu hidup dalam bahagia selama-lamanya.

☔☔☔

Jangan terlalu berharap, dan jangan terlalu bahagia.

Radin menunduk, fokus dengan buku tugas di hadapannya. Cukup lama menunggu bel masuk berdering. Mungkin suatu anugerah bagi anak-anak di sini, sudahlah masuk lambat, ketika jam pelajaranpun guru hanya memberikan tugas lalu pergi entah kemana.

Meskipun soal yang diberikan cukup banyak tetapi setidaknya bisa dikerjakan bersama-sama, dan dapat mengadakan ritual nyontek massal.

Radin memghentakkan pena ke atas meja, seraya mengembus napas lega, merenggangkan tubuh. "Selesai."

Rein yang duduk berhadapan dengan Radin juga menutup buku, sementara Dhei? Mata anak laki-laki itu membulat, tampak tersiksa dengan soal sastra di hadapannya. "Cara ngencerin otak gimana Ya Tuhan, apa harus gue blender dulu kali ya?" gerutu Dhei seraya membenamkan wajah di atas meja.

"Seram tahu Dhei," balas Rein, cewek itu menunduk. Usai dengan tugasnya kini malah asyik membuat ilustrasi di buku coretannya.

Tak sabar lagi, Dhei menyambar buku tugas Rein, membolak baliknya. Berhasil mendapat pukulan bertubi dari tangan kecil Rein. "Dhei! Kamu usaha sendiri! Jangan lihat jawaban aku dul..."

"Rein," Belum sempat Rein menyelesaikan ucapan. Suara bass Dhei seolah terdengar serius. Rein mengernyit, memerhatikan objek yang tengah ditunjuk Dhei.

Radin dan Dimas. Seperti biasa, hawa dari bangku belakang itu memang selalu terasa tidak menyenangkan. Entah kenapa seperti ada masalah namun seperti tidak pernah terselesaikan. Sungguh berbeda dengan bangku depan, yang terlihat menyenangkan meskipun dipenuhi pertengkaran gila antara Rein dan Dhei setiap harinya.

Boy Under The Rain [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang