DEEP [DUA PULUH TIGA]

Start from the beginning
                                    

"Taulah, tanpa lo sadar gue sering ngeliatin lo, dan tingkah lo bikin gue jadi ketawa ketawa sendiri."

Omaygat, gak salah denger nih gue?

Jantung Quinta tak karuan. Dia jadi salah tingkah sendiri. Ternyata selama ini Amar sering mengamatinya, namun Quinta tak sadar.

"Quin?" panggil Amar lirih.

"Iya?"

Amar terdiam. Dia mengumpulkan niat dan merangkai kata-kata.

"Quin, lo mau gak jadi pacar gue?"

Deg!

Jantung Quinta berdebar tidak karuan. Kakinya lemas. Dia mencoba menetralkan itu semua. Mengontrol perasaan senangnya.

Amar nembak gue? Gak salah denger kan ya?

"Lo gak salah ngomong?" pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Quinta. Quinta meruntuki dirinya.

"Enggak, gue serius. Mungkin ini terlalu dadakan buat lo. Sebenernya udah lama gue suka sama elo. Elo itu beda. Elo periang. Gue suka itu. Elo crewet tapi gak rempong kayak cewek-cewek yang lainnya. Pernah denger kabar tentang gue suka anak DA?"

Quinta jadi ingat omongan Selika. Dia menganggukkan kepalanya pelan.

"Itu elo Quin. Anak DA itu elo." jawab Amar mantap.

Quinta bimbang. Jujur saja, selama ini dia memang tertarik dengan Amar. Dia hanya memandang Amar dari kejauhan. Dan sekarang rasanya terbalaskan.

"Gue gak bisa jawab itu sekarang" cicit Quinta.

Saat itu juga terpancar raut wajah Amar yang kecewa. Quinta yang melihat itu merasa bersalah. Bukan apa-apa, tapi dirinya takut akan di kecewakan seperti sebelum-sebelumnya.

"Kenapa?"

"Kita pulang aja yuk,"

Tanpa menunggu jawaban dari Amar, Quinta berlalu begitu saja meninggalkan Amar. Cepat-cepat Amar menyusulnya.

Amar dan Quinta sama-sama diam. Mobil mereka belum melaju, masih diam di tempat.

"Gue gak bakalan nyalain ni mobil kalo lo belum ngasih jawaban. Gue tunggu walaupun sampe besok." Amar keukeh dengan pendiriannya.

Quinta bimbang. Jujur, perasaannya sekarang ini senang karena rasanya terbalas. Namun dia meragu. Apakah Amar akan menjaga hatinya dengan baik?

Satu jam hanya dalam keheningan, Quinta akhirnya membuat keputusan. Di tariknya napas dalam-dalam. Memantapkan jawaban.

Semoga pilihan gue gak salah

"Iya gue mau," cicit Quinta akhirnya.

Amar yang mendengar itu langsung menengokkan kepalanya ke arah Quinta. Dia tak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun sedetik kemudian senyuman mengembang di bibirnya. Ada raut kebahagiaan terpancar di wajah datar itu.

Lagi. Hati Quinta menghangat ketika melihat senyum itu.

"Maaf, gue nembaknya gak romantis. Awalnya gue mau beli bunga, tapi gak jadi. Takut alay gitu." Yakin, wajah Amar polos banget. Membuat Quinta gemas sendiri.

"Lucu banget sih." Quinta tertawa.

"Gak usah ketawa, gak ada yang lucu." Amar cemberut.

Sedangkan Quinta masih saja tertawa melihat tingkah Amar yang berbeda 180 derajat.

"Dari pada lo ketawa-ketawa sendiri, mending Ikut gue yuk?"

"Kemana?"

"Nanti juga lo tau."

Quinta nurut nurut aja.

Mobil itu membawa mereka ke daerah hutan pinus. Gelap dan menanjak. Quinta celingak celinguk, namun dia sama sekali tak menemukan tanda-tanda kehidupan.

"Am? Lo gak mau nyulik gue terus bekap gue di hutan kan?"

Mendengar itu bukannya marah, Amar malah tertawa sambil mengacak rambut Quinta gemas.

"Enggak lah, kebanyakan nonton film action sih."

Sedangkan Quinta tersenyum kikuk.

"Habis tempatnya gelap kayak gini sih."

"Nanti juga lo suka sama tempatnya kalo udah sampe."

Quinta hanya bisa pasrah tanpa mau bertanya lagi. Setelah menempuh satu jam perjalanan, mereka sampai di sebuah tempat wisata daerah bantul. Tempat itu di penuhi lampu kelap kelip banyak sekali.

"Kesana yuk?"

"Yuk,"

Amar menuntun Quinta ke tempat yang di tunjuk tadi. Sesampainya di sana, Quinta di buat takjub dengan pemandangan di depannya. Lampu-lampu penduduk yang tersebar bak kunang-kunang membuat suasana menjadi indah. Di tambah lagi malam ini langit cerah, membuat bintang-bintang tak malu menampakkan keberadaannya.

"Gimana?"

"Keren banget Am," Quinta takjub.

"Tempat ini namanya pinus pengger. Di sini kalo malem bagus. Keren. Kalo pagi juga bagus, kita bisa lihat sunrise." Amar menjelaskan.

Quinta tak mengubris Amar. Dia terlalu menikmati suasana. Rasanya semua beban yang terpendam seperti hilang.

"Kok lo tau tempat kayak gini sih?"

"Cuma satu yang gak pernah gue tahu."

Quinta mengrenyitkan dahinya, "Apa?"

"Elo."

"Makanya cari tahu."

"Ini lagi cari tahu,"

Quinta tersenyum.

Lama mereka di situ. Berbincang bincang hal yang tidak penting. Sesekali Amar tertawa sampai perutnya sakit. Hal itu membuat hati Quinta di liputi perasaan senang.

Entah, melihat senyum Amar bisa membuatnya ikut tersenyum. Si kaku Amar menjadi lunak. Malam itu, Quinta si perianglah yang menaklukkan hati si Amar yang dingin.

Mereka berkebalikan. Tak ada kesamaan antara mereka. Tapi bagi mereka perbedaan itulah yang dapat membuat mereka saling melengkapi. Quinta dan Amar tak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Yang jelas, mereka memutuskan untuk bersama, sudah pasti mereka mempertimbangkan segalanya. Sudah pasti mereka akan menanggungnya bersama. Baik luka maupun rasa bahagia. Quinta tahu resikonya, begitupun Amar. Yang perlu di tekankan adalah bagaimana mereka akan menghadapi setiap masalah yang ada.

Malam itu, di bawah naungan bintang, dua anak manusia itu saling pandang. Melempar senyum dan tertawa. Tangan mereka saling berkaitan. Membuat bulan dan bintang ikut tersenyum melihatnya. Malam itu hati keduanya di selimuti rasa yang tak bisa di jelaskan kata. Hanya hati yang memahami dan mata yang saling bicara telah menyampaikan semuanya.

🌊🌊🌊

Salam jomblo!

-DEEP-Where stories live. Discover now