"Diem. Macet nih jalanan."

"Ya namanya juga malming, banyak orang pacaran keluar. Jomblo mah harusnya kaga keluar,  menuh menuhi jalan." ucap Abel enteng.

"Lha kita apaan?" Arel menengok ke arah sahabatnya sebentar dengan kening berkerut lalu fokus lagi menyetir.

"Kita emang jomblo, tapi kan lo cowok gue cewek. Jadi kita bukan jomblo ngenes. Setidaknya kita pergi malmingannya gak sama sesama jenis,  berdua pula,  tuh lihat kayak mbak-mbak depan kita." Abel menunjuk nunjuk dua orang yang sedang berboncengan persis di depan mobil mereka.

"Iyain aja, sekali kali nyenengin jomblo."

"Nih jomblo." Abel mencubit lengan Arel.

"Sakit bego! Lo kenapa sih hobi banget cubitin gue?" Arel menatap Abel sebal.

"Karena lo cubitable." jawab Abel dengan tampang watadosnya.

"Gara-gara sering lo cubit lengan gue gak perawan lagi. Udah ternodai." ucap Arel serius.

"Najis! Ogah banget tangan gue grepe grepe lengan lo!" Abel menatap Arel risih.

"Lha nyubit kan sama aja grepe grepe."

"Serah lo Rel. Otak di sekolahin hampir sebelas tahun kok kagak pinter-pinter."

"Gue tu pinter,  cuma gue gak mau sombong aja. Kan kata pak ustad kalo sombong tu gak boleh. Makanya gue menyembunyikan pinter gue."

"Yang waras mah ngalah,  ya kan?"

Arel tertawa keras,  dia suka melihat Abel dengan muka cemberutnya yang seperti itu. Apalagi muka cemberutnya itu di akibatkan karena dia kalah bicara.

Setelah menempuh macetnya Jogja di malam hari, akhirnya mereka sampai di sebuah kafe.

"Buruan turun dah sampe." Arel membukakan pintu untuk Abel.

"Percuma sweet kalo masih jomblo, mubazir." celetuk Abel.

"Ye!  Dasar!  Tu mulut emang lemes mulu ya?"

Sedangkan Abel hanya menjulurkan lidah, mengejek Arel.

🌊🌊🌊

Mereka berjalan memasuki sebuah kafe. Mengambil duduk di pojokan.  Karena memungkinkan mereka mempunyai privasi sendiri.

"Lo tumben ngajakin gue ke tempat elit,  biasanya juga di angkringan kalo enggak di burjonan. Gayaan lo Rel, ada maunya kan lo pasti?"

"Bawel amat lo kek burung beo."

"Sensi mulu lo ah,  Gak asik."

"Elah canda, ngambekan mulu lo ah." Arel menoel pipi Abel.

"Lo kira pipi gue squishi apa lo towel towel?"

"sebelas dua belas lah."

"sahabat laknat!"

Tak lama kemudian,  datang pelayan yang menanyakan pesanan

"Mau pesan apa kakak?"

"Mau pesen apa lo?"

"Ini aja deh, Es krim greentea sama  greentea cake."

Arel mengangguk.

"Ini mbak,  es krim greentea satu, Kopi hitam satu, greentea cake satu,  sama roti bakar keju coklat satu. Oiya mbak sama air putih satu."

"Baik,  di tunggu sebentar ya kakak." lalu pelayan itu pergi.

"Rel?"

"Hm?"

"Lo ngapain ngajak ke sini? Lo ada problem?" Abel bertanya dengan sangat hati-hati.

Arel tersenyum. Cewek di depannya ini selalu paling tahu keadaan orang-orang terdekatnya. Dia selalu paham dengan situasi sekitar. Dan tanpa Arel berceritapun, Abel paham gelagat Arel. Namun yang Abel lakukan selalu memberi ruang untuk menyendiri dan menunggu sampai siap bercerita. Dia tak pernah menghakimi. Begitulah cara Abel peduli. Dan Arel suka itu.

"Tahu aja lo."

Abel tersenyum tipis. Hal ini sudah Abel duga.

Tak lama pesanan mereka datang.

"I want story." Kata Arel tiba-tiba. Sorot matanya dalam menatap Abel Mengisyaratkan keseriusan.

"Tell me if you want."

"Tapi gue bingung Bel." mata itu ragu-ragu.

"Why? "

"Gue bingung. Gue takut untuk memperjuangkan lagi. Gue udah berusaha nepis semuanya. Gue udah berusaha ngelupain semuanya.  But?  nihil hasinya." kata Arel putus asa. Nadanya mengisyaratkan kepasrahan.

"Mencoba bukan berati langsung berhasil kan?"

Yah,  Abel benar. Tapi apakah Arel bisa mencobanya sekali lagi?

Arel menarik napas nya dalam-dalam. Mengumpulkan kata-kata yang ingin dia rangkai. Mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan hal yang menganggu pikirannya.

"Gue suka sama Nila."

Kata-kata itu mengalir begitu saja seperti air.

Abel terbelalak. Dia syok dengan pernyataan Arel. Abel kira cowok di depannya ini sudah move on dari Nila semenjak naik kelas 9 SMP. Ternyata cowok itu hanya sama dengan dirinya. Bedanya Arel memperjuangkan sedangkan Abel menunggu tanpa kepastian. Miris memang.

Kita sama ya Rel

"Lagi?"

"Gue gak tau Bel kenapa rasa ini balik lagi. Gue kira bakalan mudah ngelupain dia,  nyatanya susah Bel. Dua tahun gue nahan rindu. Dua tahun gue coba ngelupain perasaan itu. Tapi yang ada gue malah semakin sayang. Apalagi kemarin ketemu, rasanya gue pengen meluk dia." Terang Arel sambil menatap kosong gelas kopi hitamnya.

"Kalo lo emang sayang perjuangin Rel, lo berhak memperjuangkan selagi dia belum ada yang punya. Kita gak tau kan hati dia buat siapa?  Toh,  nantinya kalo lo tahu hatinya bukan buat lo,  setidaknya lo udah ngungkapin itu. Sikat man!" Abel menonjok lengan Arel pelan.

Jangan kayak gue Rel, gue pengecut

Arel tertawa. Abel memang selalu bisa menjadi penyemangatnya.

"I will try it." Arel tersenyum manis.

"Nah gitu dong,  itu baru bro gue! Tos dulu dong."

Abel dan Arel ber high five di udara,  lalu tertawa bersama.

Mungkin Abel memang terlihat tidak masalah akan pernyataan Arel. Namun sesungguhnya dalam hati dia meragukan sesuatu. Ada yang mengusik hatinya.

Semoga semua gak akan terulang lagi.

🌊🌊🌊

-DEEP-Where stories live. Discover now