"Iya iya, bener. Yaudah, rekam rekam."

****

Dibalik kemudi, Vano menghela nafas ketika berada ditengah kemacetan kota Jakarta.

Hingga tiba tiba matanya terpaku pada sosok wanita cantik di pinggir jalan.

"Shila?" Gumam Vano.

Dengan cepat Vano pun memarkirkan mobilnya dan kemudian turun menuju gadis tadi.

"Shil, ngapai?" Tanya Vano.

"Al? Ini-- aku lagi nemenin Cika beli soapbubles. Lo sendiri ngapain?"

Vano pun mengangguk, "Eng-- gue-- gaada sih. Tadi gue liat lo disini, makanya gue kesini."

Shila pun mengangguk paham.

"Loh? Ada kak Vano. Hai Kak Vanoo!!" Ujar Cika antusias yang kemudian berlari kearah Vano.

Vano mengelus pucuk kepala Cika, "Hai Cika, kamu apa kabar?"

"Baik dong kak. Oh iya, mumpung kak Vano ada disini, ikut kita main ke taman yuk kak!" Mohon Cika untuk menemaninya di taman bermain yang terletak tak jauh dari posisi mereka saat ini.

"Eh, Cik. Gausah. Sama kakak aja ya. Kak Vano nya lagi sibuk."

"Aa!! Gamau. Cika pengennya main bareng kak Vano. Lagian Cika kan jarang ketemu kak Vano."

"Tapi Cik--"

Ucapan Shila terhenti ketika Vano menggendong tubuh mungil Cika, "Ayo." Ujar Vano yang langsung membuat Cika tersenyum lebar.

"Horee!!" Pekik Cika senang.

Shila pun hanya tersenyum sembari menggeleng gelengkan kepalanya melihat tingkah Cika yang sangat menggemaskan itu.

*****

Gita tengah duduk di sebuah kafe didekat sebuah taman bermain yang selalu padat jika malam tiba.

Sambil menunggu Vano, ia menatap keluar jendela raksasa disebelahnya. Hingga tiba tiba seorang pelayang membuyarkan lamunannya.

"Permisi mbak, ada yang bisa saya bantu?"

"Engga mas. Makasih."

Kemudian pelayan itu pun kembali meninggalkan meja Gita.

"Vano kemana sih?" ujar Gita yang mulai kesal.

Sejak tadi Gita telfon, Vano tak menjawab ponselnya.

Gita menatap arloji di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 09.30, kemudian Gita menghela nafasnya.

"Lo kemana sih Van? Awas aja kalo lo sampe ga datang." ujar Gita yang mulai jengah menunggu Vano selama hampir 2 jam lebih.

*****

Malam itu Shila dan Vano tengah memandang langit malam penuh dengan bintang.

Seakan mereka terjebak pada masa lalu dimana mereka belum merasakan rumitnya kisah cinta yang hadir ketika mereka beranjak dewasa.

"Cika tidur?" Tanya Shila sambil melihat Cika yang kini tengah tertidur di pundak Vano.

Vano mengangguk.

"Kecapean pasti." Ujar Vano.

Shila pun mengangguk sambil mengelus pelan kepala Cika.

"Gatau kenapa, gue paling sayang sama dia diantara semua anak panti." ujar Shila.

Vano menatap wajah Shila.

"Lo nangis?" Tanya Vano ketika sada Shila meneteskan airmatanya.

"Eng--engga kok."

"Gausah bohong."

"Oke fine. Gue emang gapernah bisa bohong didepan lo." ujar shila sambil mengusap airmatanya.

"Kenapa?"

"Cika, dia ditinggal sama orang tuanya. Lebih tepatnya dibuang," Ujar Shila, "Sama kaya gue. Tapi dia tetep ceria dan juga paling mandiri diantara yang lain." Ujar Shila terang terangan kepada Vano.

"Tunggu-- sama kaya lo?-- Shil? Bukannya Om Tris dan--"

"Mereka orang tua angkat gue." Lanjut Shila.

Setelah hampir 17 tahun berada didekat Shila, bagaimana bisa dia tidak tau tentang fakta ini.

"Lo kaget ya?" ujar Shila sambil tersenyum kearah Vano, kemudian Shila kembali menatap langit.

"Awalnya gue juga bingung, kenapa bokap dan nyokap angkat gue bisa dengan mudah ninggalin gue sama Michel di Jakarta bertahun tahun sementara mereka diluar negeri, sampe akhirnya gue nemuin fakta kalo gue dan Michel bukan anak kandung mereka."

"Orang tua kandung lo--"

"Gue gatau. Maybe mereka udah meninggal, atau mereka lagi bahagia sama keluarga barunya." ujar Shila yang kini kembali meneteskan airmatanya.

"Lo ga niat buat nyari mereka? Gue siap bantu lo kapanpun lo butuh Shil."

Shila menggeleng, "Ga perlu al. Buat apa gue nyari mereka kalo emang dari awal mereka udah buang gue."

"Shil, gimana pun juga mereka tetap orang tua kandung lo. Lo harus cari---"

"Lo mau gue keliatan konyol waktu ketemu mereka dengan bilang 'hai ma, pa. Ini Shila sama Michel. Anak kalian yang dulu udah kalian buang. Anak yang ga pernah kalian harapin sekarang hadir didepan kalian.' Gitu?" Ujar Shila, "Bego banget tau ga." Ujar Shila.

Shila pun kembali terisak. "Dan anehnya, gue selalu tangisin mereka, padahal mereka juga ga pernah anggap gue ada." Ujar Shila.

"Shil, mereka pasti punya alasan."

"Udahlah Al. Bagi gue saat ini, gimana caranya ga bebani bokap dan nyokap angkat gue lagi. Gue lagi males mikirin orang yang udah nyia nyiain gue sama Michel. Kalo emang Tuhan pertemuin gue sama mereka, gue yakin takdir sendiri yang nuntun gue. Entah itu lebih baik gue ketemu mereka atau bahkan hidup gue bakal lebih hancur." Ujar Shila pasrah dengan keadaan.

Melihat gadis yang dicintainya begitu rapuh, Vano pun merengkuh Shila ke pundaknya.

"Lo boleh nangis di pundak gue untuk malam ini." Ujar Vano, "dan asal lo tau, lo cewek pertama yang gue izinin untuk nangis di sini." Ujar Vano sambil melirik pundaknya.

Shila pun terkekeh pelan didalam tangisnya, kemudian memilih bersandar dipelukan Vano.

'Astaga! Gita. Gue lupa!' Batin Vano sambil merutuki kebodohannya.

PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang