53 - Jantung Yang Tak Berdebar

5.8K 504 75
                                    

"Dok! Henti jantung!"

"Defibrillator!"

"120 Joule!"

"Shock!"

"200 Joule!"

"Shock!"

Suasana penuh ketegangan terjadi di dalam ruang instensif yang Rayden tempati, di depan kaca, Serena yang duduk di kursi roda menggelengkan kepala. Kedua tangannya gemetar menyentuh kaca, air matanya terus turun, dia memaksa ingin ke ruangan Rayden namun kini, harus melihat pemandangan yang membuatnya tak ingin berhenti menggeleng.

"Rayden,"

Di belakang, Hadrian yang memegang kursi roda Serena hanya diam begitu pula dengan Ares. Kedua pria berbeda usia itu ikut khawatir memikirkan kondisi Rayden di dalam sana, terutama Ares. Dia ini seorang Dokter, tapi tak mampu menangani sahabatnya sendiri. Karena kedua tangannya akan terus gemetar, Ares tak bisa mengendalikan diri jika melihat orang terdekatnya terluka.

Melihat Dokter melepaskan alat kejut jantung dan mengembalikan ke tempatnya, Hadrian menarik mundur kursi roda Serena bersamaan dengan pintu yang terbuka. "Pasien atas nama Rayden Schuyler De Arter mengalami henti jantung,"

"Dok?"

"Pasien atas nama Rayden Schuyler De Arter, meninggal pada hari Minggu, sepuluh mei, dua ribu dua puluh empat pada pukul dua belas lewat empat puluh tujuh siang. Saya turut berduka cita, semoga keluarga yang ditinggalkan bisa tetap tegar."

"Enggak! Dokter bercanda! Dok, bulan April sudah lewat!" Serena mencoba berdiri, tapi tak mampu yang akhirnya, membuat wanita itu terjatuh. Hadrian sadar dari keterkejutannya, dia segara memeluk sang putri dengan erat. "Papa! Dokternya bohong! Dokternya bercanda! Papa! Rayden baik-baik saja kan?"

Ares tatapannya berubah kosong, stetoskop di tangannya pun terjatuh dengan air mata yang tak bisa di tahan. "Ray, kau bodoh. Kau pergi begitu saja? Kau memberi kesempatan untukku merebut istrimu? Kau gila, Ray?" Ares mendorong Dokter yang menghalangi pintu, dia masuk ke dalam ruangan Rayden dengan langsung menarik kasar kain yang menutup seluruh tubuh Rayden.

"Bangun sialan! Belum puas kau melukai wanita yang aku cintai? Bangun! Jangan membuatnya kembali menangisi perbuatanmu!"

Ares menunduk, air matanya tak tertahankan. "Kau bodoh, Ray. Mau memberi peluang untuk orang yang sangat kau hindari karena mencintai istrimu, kau mau tetap memejamkan mata untuk selamanya? Kau yakin, Ray? Ray, kau belum memberikanku keponakan. Bangun bajingan! Jangan membuatku memaksa arwah dirimu untuk kembali!"

Sedangkan di depan ruangan, Serena kehilangan kesadarannya membuat Hadrian langsung menggendong Serena dan membawanya ke ruangan lain untuk mendapatkan perawatan segera. Dan kabar kematian Rayden, sampai ke telinga Camille juga Wilson yang tengah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Sopir bergegas mempercepat laju menuju rumah sakit karena Wilson yang tak karuan.

Sesampainya di rumah sakit, Camille dan Wilson, di susul kedatangan Charles langsung masuk ke ruangan Rayden di mana ada Ares di sana yang berdiri dengan tatapan kosong. "Rayden! Putraku!" Camille berlari, memeluk erat tubuh Rayden yang memejamkan mata dengan begitu rapat. "Bangun! Jangan tinggalkan Ibu! Kau mau Ibu membencimu karena pergi tanpa pamit? Bangun!!!"

Wilson hanya bisa menatap putranya dalam diam, pikirannya berkecamuk. Rasa sakit dan hancur tak bisa dia bendung terutama saat Charles memeluknya, "Dia hanya bercanda. Adikku pasti bangun,"

***

"M-meninggal?"

Sydney mendorong perawat yang menghalangi dirinya untuk masuk ke dalam ruangan, dia tak memedulikan siapa pun, dia hanya mendekati Rayden dan menggenggam erat jemarinya. Bahkan Camille memilih mundur kebelakang, dia tak mengenal siapa gadis itu tapi melihat tatapan penuh lukanya, Camille paham, dia pasti gadis yang pernah dekat dengan putranya.

"Ray, kau pergi bahkan sebelum membalas perasaanku? Kau kejam sekali, kenapa kau tidak bertahan sehari lagi saja? Jangan seperti ini, Ray. Banyak yang terluka melihat kepergianmu, aku, Serena, kedua orang tuamu. Semuanya terluka, Ray. Ayo buka matamu, jangan pergi meninggalkan aku sendirian."

"Rayden!"

Sydney menyingkir, dia membiarkan Serena mendekati Rayden dan mengambil alih menggenggam jemarinya. "Kau benar-benar pergi meninggalkan aku? Ray, kau tahu? Aku tahu apa yang membuatku merasa janggal sekarang, aku tahu sesuatu, Ray!" Serena mendekati telinga Rayden, "Jangan menyusul anak kita secepat ini. Aku tak mampu menerima semuanya, Ray."

Selama pingsan dari kecelakaan, semua ingatan tentang dirinya sebagai Serena Ovallius kembali. Dia mulai menyadari dan memahami makna ucapan Sydney tentang di mana jiwanya berada sekarang, Serena juga menyadari kejanggalan di hatinya meski Rayden berkali-kali bilang mencintainya dan masa lalunya akan tetap memiliki tempat khusus dihatinya.

Sekarang, Serena merasa lega. Masa lalu Rayden adalah dirinya yang pria itu tempatkan di posisi khusus, Serena merasa lega, karena kesakitannya tidak dia rasakan seorang diri. Kelegaan itu sirna saat melihat Dokter berlarian ke ruangan Rayden dan mengatakan jika Rayden henti jantung, "Jangan menyusul anak kita sendirian. Ajak aku, Ray. Tolong ajak aku," Serena mengecup punggung tangan dan telapak tangan Rayden begitu lama.

Dia tersenyum ke arah Rayden namun air matanya terus meneteskan air mata, saat Rayden mendekati wajah Rayden, semua orang menundukkan kepala karena tak kuasa menahan air mata. Apalagi, saat Serena mengecup bibir Rayden begitu lama. Hanya diam, dengan air mata yang juga mengenai wajah Rayden. Dia menjauh, sembari berbisik dengan suara lirih.

"Selamat jalan suamiku, jaga anak kita di sana ya. Tunggu aku, aku akan menyusul kalian suatu saat tapi tidak sekarang. Aku mencintai kalian,"

Tangan Serena bergetar, tapi tetap mencoba untuk menyentuh dada kiri Rayden. Dada yang dulu sangat senang dia menempelkan pipinya di sana, karena betah berlama-lama mendengarkan jantung Rayden yang berdebar. Tapi sekarang, debaran itu tidak lagi terasa. Bahkan sepasang mata yang selalu menatapnya penuh cinta, kini terpejam dengan rapat.

Bibir yang selalu tersenyum melihat tingkah lucu dan menggemaskan istrinya, kini rapat tanpa sedikit pun senyuman. Kehangatan dan kelembutan jemarinya membelai rambut Serena, kini sudah tidak ada lagi. Semua hanya tinggal kenangan, Serena tak akan pernah lagi mendengar suara lembut suaminya, suara yang selalu mengatakan kalimat manis.

Berkali-kali dibuat melayang dan semakin jatuh cinta setiap saat, semua tentang Rayden akan hilang sebentar lagi tapi kenangannya terkenang rapat di hati Serena. Serena, menunduk, dia mengusap dada kiri suaminya. "Aku sudah tidak merasakan debaran jantung kamu lagi, aku sudah tidak bisa mendengarkan kamu yang berdebar-debar karena salah tingkah."

"Rayden, aku tidak bisa merasakan debaran yang selalu membuatku geli pada dirimu. Kau begitu tenang tanpa jantung yang berdebar, bahkan kau tak lagi bernapas. Kau benar-benar pergi meninggalkan aku? Kau sekarang, ingin menemani anak kita saja di surga sana? Begitu? Apa kau rela melihat aku sendirian di sini? Kau rela, Ray? Jika iya, aku pun akan merelakan kepergianmu."

"Aku mencintaimu, akan selalu mencintaimu."

***

Perpindahan Jiwa Gadis PenggodaWhere stories live. Discover now