07 - Pengangguran

15.5K 885 112
                                    

"Buka mulutnya,"

Serena patuh dengan membuka mulutnya dan menerima suapan dari Rayden, gadis itu menahan tangan Rayden yang hendak menjauh darinya. "Suamiku,"

"Kenapa?" Rayden memusatkan pandangannya pada Serena.

"Kamu pengangguran?"

Mendengar ucapan tak terduga istrinya, Rayden hampir saja tersedak padahal tidak minum atau makan. Dia semakin merasa lucu dengan sifat baru istrinya ini, "Kenapa tanya gitu?"

"Kamu di sini terus dari kemarin, kamu enggak berangkat kerja. Tapi enggak apa-apa, nanti kalau aku sudah sembuh, aku juga ikut kerja supaya keuangan rumah tangga kita tetap stabil."

Bibirnya berkedut menahan senyum, dia tidak pernah menduga, jika istrinya ini bisa memiliki pikiran sampai ke sana. Dia pun tidak memperpanjang pembicaraan tentang pekerjaan, dia membiarkan Serena berpikir kalau dirinya ini seorang pengangguran. Rayden kembali menyuapi Serena sampai makanan yang di siapkan rumah sakit telah habis tak bersisa.

Rayden pun tersenyum sembari mengusap kepala Serena, "Pintar. Makanannya habis," dia memperlakukan Serena seperti anak kecil tapi Serena suka.

Dan Serena tersenyum lucu dengan menampakkan gigi putihnya, dia merasa senang saat Rayden memujinya dan itu bukan suatu kepura-puraan. Sebab, dari dalam diri Serena merasakan hal itu. Tidak, tidak. Maksudnya, raga Serena Yellen yang merasakan kebahagiaan itu karena baru kali pertama mendapat pujian dari suaminya.

"Suami,"

"Iya?"

Rayden menaruh mangkuk yang tadi berisi bubur ke atas nakas, dia mengambil obat yang harus Serena minum. "Aku umur berapa? Aku lupa tahu," Serena mengerucutkan bibirnya, dia merasa bodoh karena amnesia dan melupakan segalanya. Bahkan untuk umur saja, Serena melupakannya.

Sebelum menjawab, Rayden membantu Serena meminum obatnya yang ada beberapa butir, Serena pun tetap menurut. "Delapan belas tahun,"

Deg.

Serena mengerjap, "Kok masih kecil?"

Dan Rayden tidak bisa menahan tawanya, "Kenapa memangnya?"

"Kamu pedofil ya? Kok menikahi aku yang masih kecil?"

"Memangnya kamu masih kecil?"

Serena jadi menatap tubuhnya sendiri dan terhenti di dada, "Tidak juga. Dada aku besar,"

"Uhuk! Uhuk!"

Kali ini, Rayden benar-benar tersedak mendengarnya. Dia menatap Serena yang bicara dengan wajah santai, berbeda dengan telinga Rayden yang kini memerah. "Kamu suka mainin dada aku ya?"

Ya Tuhan! Sekarang, Rayden merasa wajahnya ikut panas. Pria itu mengalihkan pandangannya sembari berdehem beberapa kali, "Kok kamu buang muka? Kamu jijik ya sama aku?"

Rayden langsung kembali menatap ke arah Serena, dia hanya mencoba mengendalikan diri dan raut wajahnya, akan sangat memalukan kalau Serena melihat wajahnya yang memerah. "Bukan jijik, cuma kaget dengar pertanyaan kamu."

"Kok kaget? Kita kan suami istri, harusnya sudah biasa dong mainin dada istri."

Rayden semakin salah tingkah mendengarnya, "Anak kecil tahu dari mana yang kayak gitu?"

"Dari kamu dong!"

"Kok aku?"

"Kamu kan suami aku,"

Baiklah, Rayden tidak ingin melanjutkan obrolan yang berbahaya untuk jantungnya. Rayden diam, Serena juga diam sembari memandangi dadanya sendiri. Dia jadi penasaran, "Bagaimana cara kamu mainin dada aku ya?"

Ya Tuhan! Ini apa lagi? Kenapa istrinya selalu mendapatkan pertanyaan tidak terduga? Sampai Rayden tidak memiliki jawaban yang tepat, dia pun lagi-lagi berdehem agar rona di pipinya tidak terlihat dengan jelas. "Kamu masih kecil, enggak boleh mikir ke sana."

"Tapi aku kan sudah menikah, sudah jadi istri, enggak apa-apa dong."

"Ya enggak apa-apa, tapi kalau mau bahas itu, lebih baik di rumah kita."

"Kita punya rumah?"

Kening Rayden berkerut, "Tentu saja."

"Nanti bayar listriknya bagaimana? Kamu kan pengangguran,"

Ya Tuhan! Sudah berapa kali Rayden menyebut ya Tuhan dalam sehari ini? Istrinya, benar-benar memiliki banyak pertanyaan tak terduga yang membuat Rayden mati kutu. Biasanya, Rayden tidak pernah kalah dalam berdebat tapi dengan istri kecilnya ini, dia merasa kewalahan sendiri. "Katanya kamu mau bantu cari uang,"

"Iya juga, ya sudah, nanti aku yang kerja untuk bayar listrik."

Rayden terkekeh pelan, "Mau buah?"

Serena menggeleng, "Mau jalan-jalan keluar!"

"Enggak boleh,"

"Kok enggak boleh? Aku bosan tahu, aku tidak mau di dalam ruangan terus!"

"Okay, fine. Kita jalan-jalan keluar,"

"Yeay!"

Serena di bantu Rayden turun dari brankar, gadis itu tampak riang ingin jalan-jalan dan Rayden hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ketika keluar dari pintu ruangannya, Serena tak berkedip menatap 4 pria berbadan tinggi besar yang tampak menyeramkan. "Ih, seram. Mereka siapa, suami?"

Para pengawal yang berjaga hampir terbatuk mendengar sang Nyonya yang dengan mudah menyebut kata suami, dari status keduanya, memang tidak mengejutkan tapi jika melihat bagaimana hubungan mereka berdua sejak menikah, tentu saja rasanya sangat aneh saat Serena menyebut kata suami dan Rayden tampak biasa saja.

"Tukang bersih-bersih,"

Kembali para pengawal hampir terbatuk mendengar jawaban tak terduga Rayden, tukang bersih-bersih? Mana mungkin pria garang seperti mereka jadi tukang bersih-bersih? Ini aneh, "Benarkah? Tapi mereka lebih cocok jadi preman kampung,"

Ya Tuhan! Preman kampung? Para pengawal itu menatap Rayden sekilas namun Rayden memberi isyarat dengan sorot intimidasinya, mereka pun tidak berani membuka suara dan membiarkan Nyonya juga Tuan mereka pergi. Sembari mengikuti langkah istrinya, Rayden terus menatap tajam semua Dokter atau perawat yang ingin menyapanya agar mereka diam saja, beruntung mereka semua peka.

Di taman, Serena seperti lupa jika dia masih memakai infus dan ada Rayden yang membawa kantung infusnya. Gadis itu berlari, membuat Rayden ikut berlari agar infus di punggung tangan Serena tidak tertarik dan berakhir lepas. "Serena, jangan berlari, kamu masih di infus".

Serena melihat punggung tangannya sendiri, "Buka ya?"

"Tidak,"

Serena mengerucutkan bibirnya, dia mendekati bunga-bunga yang tampak cantik di sana. "Suamiku,"

"Hm,"

"Bunganya cantik kan seperti aku?"

Rayden langsung memerhatikan Serena yang tersenyum manis, istrinya ini bisa sangat percaya diri juga ternyata. "Iya, cantik."

"Aku atau bunganya?"

"Bunganya,"

"Kok bunganya?" Serena berdiri tegak dengan berkacak pinggang ke arah Rayden yang menaikkan satu alisnya bingung.

"Kalau begitu, kamu."

"Aku apa?"

"Kamu cantik,"

Serena tersenyum malu-malu, dia kembali memperhatikan bunga-bunga yang cantik itu sedangkan Rayden harus menahan pegal di tangannya karena membawa kantung infus. Rayden menyesal tidak membawa tiangnya sekalian, kalau begini, tangannya benar-benar merasa pegal. "Sudah belum jalan-jalannya?"

"Belum, kalau kamu mau cari pekerjaan, kamu bisa pergi."

Lagi-lagi pekerjaan yang di ungkit, Rayden menghela napasnya pelan. Apa Serena benar-benar berpikir jika dirinya ini seorang pengangguran? Apa Serena tidak melihat pakaian yang Rayden gunakan? Juga ruang rawat yang Serena tempati. Jika dia menyadarinya, semua itu tidak menunjukkan jika Rayden adalah seorang pengangguran.

***

Perpindahan Jiwa Gadis PenggodaWhere stories live. Discover now