49 - Kemunduran Rayden

6.7K 483 28
                                    

"Nona, Tuan Rayden menunggu Anda."

"Aku ingin sendiri,"

Sudah seminggu Serena memilih untuk pulang ke kediaman Ayahnya, Hadrian. Dia tidak pulang ke kediaman Rayden, salah satu alasannya, Serena hanya ingin menyembuhkan luka di hatinya. Luka yang dia sendiri bingungkan, dia harusnya sudah tidak terlalu merasa sakit mengingat Rayden yang sekarang telah mencintainya, sesuai harapannya.

Tapi, tiap kali mendengar jika masa lalu adalah masa lalu dan masa depan adalah masa depan, hati Serena selalu sakit. Dia membayangkan posisi wanita yang pernah mengandung darah daging suaminya, dia meninggal dengan cara tragis, bahkan sebelumnya pernah keguguran sampai depresi. Jika dirinya menjadi wanita itu, Serena yakin tak akan pernah kuat untuk hidup dan lebih memilih bunuh diri.

Wanita dengan gaun putih tulang itu berjalan menuju balkon kamarnya, dia terdiam melihat langit yang mendung dan perlahan-lahan menurunkan air dari atas sana. Kepalanya mendongak, melihat air hujan yang turun berlomba-lomba. Senyumnya pun terukir, hingga memudar saat menunduk, melihat Rayden di bawah sana yang mendongak menatapnya.

Pria itu berdiri di tengah hujan deras, dia tersenyum ke arah Serena yang berdiri di balkon. Gemericik air yang mengenai kakinya tidak Serena pedulikan, dia mengalihkan pandangan dari Rayden yang tak pernah mengalihkan pandangan dari dirinya. Perlahan, Serena memundurkan langkahnya, dia masuk ke dalam kamar, mengunci pintu balkon dan menutup diri di dalam selimut.

"Aku tetap sakit, Ray. Maafkan aku yang mungkin kekanak-kanakan bagimu,"

Di luar, Rayden tersenyum miris melihat Serena masuk ke dalam kamar dan meninggalkan balkon. Dia mengusap wajahnya yang terhalang air hujan, "Tidak apa-apa. Cuaca diluar sangat dingin, istriku tidak boleh kedinginan. Istriku memang bagusnya masuk ke dalam kamar," Dia menoleh ke arah ambang pintu utama, di sana berdiri seorang kepala pelayan dengan payung tapi Rayden melarangnya membawakan payung.

"Bi, tidak perlu. Aku tidak apa-apa,"

"Tuan, Anda bisa sakit."

"Saya tidak selemah itu,"

Kepala pelayan akhirnya tetap diam di ambang pintu, dia berharap Rayden mau mengubah keputusannya dan menerima payung. Tapi sampai hujan mulai reda, Rayden tetap pada keputusannya. "Tuan, Anda bisa masuk, Nona tidak akan turun dari kamarnya."

Rayden menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Saya cukup di sini, saya tidak ingin membuat istri saya merasa tidak nyaman."

"Tuan, diluar sangat dingin."

"Tidak apa-apa, Bibi silakan masuk dan kembali bekerja."

Kepala pelayan akhirnya masuk ke dalam, tapi dia kembali keluar dengan membawa nampan juga di bantu pelayan lain membawa payung. Dia mendekati Rayden, "Tuan. Jika Anda tidak ingin masuk, Anda bisa minum teh ini untuk menghangatkan tubuh Anda."

"Terima kasih," teh sudah dibuat, Rayden tak enak menolak. Dia pun meminum teh hangat yang memang menghangatkan tubuhnya.

Semakin lama, langit semakin gelap. Rayden menatap kepala pelayan yang setia di dekatnya, "Bi. Katakan pada istri saya, saya akan kembali setelah menyelesaikan satu masalah."

"Baik, Tuan."

Rayden akhirnya pergi meninggalkan kediaman Hadrian, dari atas tepatnya dari kaca jendela, Serena melihat mobil Rayden yang menjauh. Wanita itu menghela napasnya, dia tidak munafik, dia khawatir melihat Rayden kehujanan dalam waktu yang lama. Tapi Serena belum bisa berdamai dengan hatinya, dia masih ingin menenangkan dirinya.

Perpindahan Jiwa Gadis PenggodaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora