49. Kesempatan Kedua

129 12 5
                                    

Jadwal operasi Gani akhirnya tiba juga, setelah satu bulan ini rutin berkonsultasi dan mengikuti semua prosedur sesuai anjuran dokter, akhirnya Gani sampai pada pilihannya untuk operasi pengangkatan ovarium kanan. Pertimbangan bahwa makin hari nyeri yang dirasakan makin menyiksa hingga membuatnya sulit beraktifitas, membuat Gani memutuskan untuk menjalani operasi karena dia sudah tidak bisa mentolerir lagi rasa menyakitkan itu.

Sudah sejak kemarin dia menginap di rumah sakit, dan Dokter Niken memberitahu bahwa jadwal operasinya akan berlangsung pada jam delapan pagi ini. Saat Gani akan dipindahkan menuju ruang operasi, gadis itu terlihat celingukan seperti mencari seseorang.

“Nyari apa, Kak?”

“Mahesa belum datang, Wa?”

Mendengar bahwa putrinya mencari Mahesa, wajah Ibu langsung masam.

“Aku udah kasih tahu, kok, mungkin masih di jalan.” Dewa berusaha menenangkan.

“Udahlah, ngapain nungguin orang yang bahkan nggak bisa tepat waktu,” sindir Ibu.

“Tapi aku mau ketemu dia dulu sebelum operasi, Bu.”

“Ya, mana orangnya sekarang?”

“Mungkin macet, Bu.” Dewa membela.

“Kalau dia peduli sama kamu, harusnya berangkat lebih awal, dong, biar nggak kena macet.”

Wajah Dewa mendekat dan berbisik di telinga Ibu.

“Bu, kakak lagi mau operasi, nggak usah nambah beban pikiran dia.”

Ibu langsung diam.

“Kak, aku coba telepon dulu Mas Mahesa, ya. Siapa tahu dia udah dekat.”

Gani mengangguk sebelum Dewa mencoba menghubungi Mahesa.
Tepat saat itu juga, pintu diketuk dan muncul sosok yang amat dinantikan Gani. Lelaki itu berjalan dengan tergesa menghampiri Gani dengan napas yang masih tersengal karena berlari. Sebelumnya dia menundukkan kepala sambil menyapa keluarga Gani walau ditanggapi dingin oleh Ibu.

“Hai, maaf saya telat,” sapanya dengan suara lembut sambil mengusap rambut Gani.

“Nggak telat, kok, tapi hampir. Hampir aja saya nggak bisa lihat kamu sebelum operasi.”

Mahesa meringis malu. “Gimana udah siap, kan?”

Gani mengangguk mantap walau ketakutan masih tergambar jelas di matanya.“Tadinya enggak, tapi setelah ketemu kamu saya siap.”

Mahesa tersenyum. “Semangat, ya, saya akan tunggu kamu di sini.”

“Doain saya, ya.” Gadis itu mencari jari Mahesa untuk dia genggam sebagai penambah kekuatannya.

“Pasti.”


***


Begitu Gani memasuki ruang operasi, suasana ketiga orang yang menunggunya menjadi amat kaku. Mahesa mencoba mendekat untuk berbicara dengan Kirana, dia tidak mungkin bersikap tak acuh pada perempuan itu.

“Tante, say—”

“Wa, Ibu ke toilet dulu, ya.”

Menyaksikan sikap sang ibu yang begitu dingin terhadap Mahesa membuat Dewa berinisiatif mengajak lelaki itu untuk sarapan atau sekadar minum kopi di kantin.

“Mas, Ibu masih butuh waktu lagi. Sabar, ya.”

Mahesa hanya bisa tersenyum ikhlas. “Nggak apa-apa, Wa.”

“Mas udah sarapan belum? Mau temenin aku sarapan nggak sekalian ngopi di bawah?” tawarnya.

“Tante Kirana nggak diajak?”

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Where stories live. Discover now