32. Gemuruh di Ruang Hati

94 7 13
                                    

Ruang kerja yang dipenuhi percakapan kedua sejoli itu tiba-tiba terhenti karena mendengar suara ketukan pintu. Satria yang baru menyelesaikan setengah daftar tamu undangannya kemudian bangkit dan membuka pintu.

“Pak, pesan makanan lewat ojol, ya?” di tangan Aulia terdapat dua buah bungkus makanan.

“Oh, iya.” Satria lalu mengambil salah satu bungkusan yang berukuran lebih kecil. “Yang itu kamu bagiin ke anak-anak, ya.”

“Iya, Pak, makasih.”

Setelah menutup pintu, Satria kembali bergabung di sofa sambil mengeluarkan makanan dan minuman pesanannya. Dua buah sandwich beef truffle mayo dan dua es choco latte.

“Makan dulu.”

“Wah, toast!” seru Gani kegirangan. “Udah lama banget nggak makan ini.” Dia langsung menyambar toast bagiannya dan menyeruput kopi juga.

“Pelan-pelan, dong, makannya.” Satria mengelap sisa mayones yang terdapat di sudut bibir Gani. “Kamu selama di Larantuka nggak pernah makan memangnya? Barbar gini,” ledeknya karena melihat Gani yang makan dengan berantakan.

“Jangan salah, makanan di sana, tuh, enak-enak banget. Walaupun tradisional dan sederhana, tapi rasanya nggak kalah sama makanan western kayak gini. Malahan, kami bisa makan seafood hampir tiap hari, lho. Ikan sama lobster di sana masih fresh karena begitu ditangkap dari laut, langsung dibakar ramai-ramai di pinggir pantai sambil sunset-an,” pamer Gani dengan antusias mengingat sebagian kecil dari memori menyenangkan yang pernah dia alami di Basira.

Satria hanya mengangguk-angguk sambil membaca satu per satu nama-nama dalam daftar yang sudah selesai dibuat calon pengantinnya. Jika ada yang terlewat bisa dia ingatkan.

“Jadi kangen Basira, deh.” Gani menyandarkan kepala ke bahu Satria.

“Apanya yang dikangenin?”

“Semuanya, dong. Alamnya, makanannya, suasananya, pokoknya semua. Datang ke Basira, tuh, kayak mengingatkan aku waktu zaman KKN dulu di kampus. Bersyukur banget Mahesa ajak aku untuk bisa ke sana dan mengabdi walaupun hanya sebentar. Kapan, ya, bisa ke sana lagi? Kangen banget rasanya.” Gani tersenyum-senyum jika mengingat anak-anak Basira yang menggemaskan.

Satria merasa kurang nyaman mendengar ucapan Gani tadi. Terlebih ada nama Mahesa yang terselip di sana. “Minta Mahesa ajak kamu ke sana lagi, lah.”

Mendengar Satria berbicara dengan nada yang berbeda membuat Gani duduk dengan tegak sambil memperhatikan wajah Satria. Laki-laki itu tampak tak balas menatapnya, pandangan Satria masih tertuju pada kertas putih berisi nama-nama orang yang akan mereka undang ke pernikahan.

“Ini sudah semua?” tanya Satria yang akhirnya menoleh.

“Udah.” Gani mengangguk.

Satria kembali memalingkan wajah menuju kertas di tangannya. “Mahesa nggak kamu undang?” tembaknya begitu tidak menemukan nama Mahesa tertera di sana.

“Oh, iya kelupaan,” elak Gani. Dia tidak mungkin jujur mengatakan bahwa Mahesa sudah menolak diundang sebelumnya. Bisa-bisa Satria akan berpikiran yang macam-macam nanti.

Satria menurunkan kertas dan menghela napas. Sepertinya dia sudah tidak bisa menahannya lagi.
“Kamu lupa atau sengaja nggak mau ngundang dia biar nggak sakit hati?” serang Satria yang sudah tidak bisa mengontrol diri. Semua tentang Mahesa sudah sangat mengganggu pikirannya.

“Maksud kamu?” perasaan Gani langsung tidak enak.

Satria tersenyum sinis lalu balik menatap Gani. “Bahkan sampai detik ini aja kamu masih nggak mau jujur sama aku?”

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Where stories live. Discover now