45. Meminta Restu

136 12 3
                                    

Berita tentang meninggalnya Tante Salma ternyata sampai terlambat ke telinga Ibu. Itulah kenapa Ibu dan Dewa baru bisa datang melayat setelah Tante Salma dimakamkan. Suara tangis pilu Ibu karena kehilangan salah satu sahabatnya membuat hati Gani ikut hancur. Sejak mengetahui tentang penyakit yang diderita Gani, Tante Salma ternyata belum lagi menghubungi Ibu. Beliau mengambil sikap yang sama seperti Satria, yaitu memilih untuk menghindar dan tak memberikan penjelasan apa-apa pada Ibu sampai akhirnya kabar dukalah yang diterima setelah sekian lama menghilang.

“Kenapa Satria nggak kasih tahu Ibu soal ini? Kenapa nggak ada yang kabari Ibu soal sakitnya Tante Salma sampai beliau meninggal?” tanya Ibu sembari mengusap air matanya yang meleleh pilu.

“Satria pasti punya alasan, Bu,” Gani mencoba membuat ibunya mengerti.

“Alasan apa sampai nggak ngasih tahu kita? Dia itu calon suami kamu, dia juga calon menantu Ibu apa pun yang terjadi dengan keluarga dia, kita harus tahu supaya paling tidak bisa membantu.”

Pandangan Gani secara otomatis tertuju pada Mahesa yang berjarak satu meter di belakang mereka. Ucapan Ibu tentang Satria adalah calon suami dan calon menantu tentu bisa di dengar Mahesa dengan amat sangat jelas. Gani takut jika Mahesa mungkin akan tersinggung.

“Terus Satria di mana sekarang?”

“Dia udah pulang, Bu.”

“Kasihan anak itu, pasti dia sangat sedih dan terpukul sekarang. Gani, ayo sekarang kita pergi ke rumah Satria. Kita hibur dia, kasihan dia sendirian di rumah.”

Ibu kemudian bangkit dan menyeret tangan Gani untuk sesegera mungkin pergi ke kediaman Satria. Menurut Ibu, Satria pasti sedang sangat sedih dan kesepian.

“Bu, apa nggak sebaiknya kita jangan ganggu Satria dulu? Mungkin dia sedang ingin sendiri sekarang.” Gani berusaha menahan langkah kaki Ibu.

“Iya Bu. Mas Satria pasti punya alasan kuat kenapa dia nggak ngasih tahu kita soal sakitnya Tante Salma sampai meninggal. Itu juga bisa jadi alasan kenapa sebaiknya kita jangan ganggu Mas Satria dulu,” sergah Dewa yang bisa membaca situasi setelah Gani meminta tolong padanya lewat gerakan mata.

“Ya sudah kalau gitu biar kamu sendiri aja yang ke rumah Satria. Hibur dia dan jangan pernah tinggalkan dia sedetik pun, Satria itu sedang rapuh.” Ibu membujuk Gani agar mau pergi.

Gani sempat terdiam lama. “Aku nggak bisa pergi, Bu.”

“Kenapa? Kamu berantem sama Satria?”

Gani menggeleng. Dia berusaha menguatkan nyali untuk berani mengatakan yang sejujurnya pada Ibu bahwa rencana pernikahannya berantakan.

“Aku sama Satria sudah nggak bersama.” Setengah mati Gani menahan diri untuk tidak menatap wajah ibunya. Dia tidak sanggup melihat ekspresi Ibu begitu mendengar kabar ini. Gani hanya bisa tertunduk dan tak berani menegakkan kepala.

“Rencana pernikahan kami juga sudah batal,” sambungnya dengan kedua tangan terkepal.

Entah bagaimana ekspresi Ibu sekarang.

“Maaf, Bu.” Suara Gani mulai bergetar. Dia tak kuasa menahan tangis.

Keadaan hening. Jantung Gani jedag-jedug menunggu Ibu bersuara.

“Kita bicara di rumah,” ucap Ibu setelah terdiam sekian lama.

Ibu dan Dewa melangkah mendahului. Sedangkan Gani masih tertahan di tempat sambil menatap Mahesa. Setelah sampai rumah pasti akan terjadi percakapan panjang dan melelahkan.

“Jangan hari ini, ya.” Gani tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk memberikan kabar mengejutkan secara bertubi-tubi pada ibunya.

Mahesa mengangguk paham. Dia mendekat dan mengusap air mata yang Gani tumpahkan di kedua pipinya. “Kalau gitu saya pulang, ya. Kalau ada apa-apa, cepat kabari saya.”

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Where stories live. Discover now