30. Pulang

94 9 4
                                    

Rasa bersalah yang Gani rasakan kian amat mencekik leher begitu menerima perlakuan manis dari Satria saat mereka sudah tiba di homestay. Sementara Gani berganti pakaian kering, laki-laki itu membuatkannya teh manis. Dia datang saat Gani tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Tehnya diminum dulu. Awas panas."

Setelah menyerahkan cangkir teh pada Gani, Satria mengambil alih handuk dan mengeringkan helaian rambut panjang gadis itu yang masih basah dengan telaten. Setelah ujung rambutnya lumayan kering, Satria melingkarkan handuk ke kepala Gani dan menggosoknya agak kencang. Mereka tertawa geli karena merasa apa yang Satria lakukan terlihat seperti seorang ayah yang sedang mengeringkan rambut anaknya yang main hujan-hujanan.

"Maaf, ya, udah bikin kamu cemas tadi." Gani mulai bersuara.

"Kamu harus lihat gimana stresnya aku waktu tahu kalau kamu belum pulang juga. Udah daerahnya masih baru buat kamu, pakai nyasar, mana nggak bisa ditelepon lagi!" keluh Satria.

"Kamu sekhawatir itu, Sat?"

Tangan Satria mengelus puncak kepala gadis yang dikasihinya. "Aku takut banget kamu kenapa-napa. Aku takut banget kehilangan kamu."

Garis senyum Gani terangkat naik. Dadanya seakan membusung karena muatan oksigen dalam paru-parunya terisi penuh. Namun, itu tak berlangsung lama karena begitu merasa wajah Satria kian mendekat padanya, Gani langsung terserang panik. Saat bibir Satria sudah berjarak amat dekat, bayangan momen ciumannya bersama Mahesa di bawah hujan membuat Gani segera menghindar.

"Banyak orang, nggak enak," dalihnya.

Satria mundur karena apa yang Gani katakan benar adanya. Dia kemudian mengalihkan ciumannya ke kening dan kembali fokus mengeringkan rambut Gani.

"Frankfurt gimana jadinya, Sat?" tanya Gani mengalihkan pikiran agar Satria tidak tersinggung dengan penolakannya tadi.

"Masih aman. Ada Suri dan Vanya yang berangkat." Satria tidak bisa menyembunyikan kesedihannya karena gagal berangkat ke Frankfurt.

"Kamu melepas kesempatan demi aku, padahal aku tahu kamu pengin banget ada di sana dan memamerkan secara langsung buku-bukumu."

Satria menyudahi kegiatannya. "Aku memang sedih, sih, tapi kamu itu prioritasku, jadi aku sama sekali nggak menyesal lebih memilih terbang ke NTT daripada ke Jerman."

"I love you, Sat. So much ...."

Saat itu juga sosok Mahesa yang baru kembali ke homestay melintas dan berdiri tepat di depan kedua sejoli itu. Merasa Mahesa terus memandanginya dengan tatapan menguliti, Gani berusaha untuk menurunkan mata dan mencoba melihat ke arah lain. Mahesa yang sangat jelas terlihat gusar, melengos masuk ke dalam kamar pria secepat kilat.

Apa yang sempat Satria saksikan walau hanya beberapa detik membuat pikirannya kembali terganggu. Pandangan mata Mahesa terhadap kekasihnya dan penampilan lelaki itu yang juga basah kuyup sama seperti Gani memunculkan pertanyaan yang tak seharusnya menyelinap ke dalam kepala. Belum lagi baju mereka berdua yang terkena noda darah serta kemeja over size yang Gani kenakan membuat Satria yakin bahwa itu adalah kemeja milik Mahesa.

"Kata Lintang kamu pergi ke puskesmas diantar Mahesa? Terus kenapa kamu tadi sendirian, dia nggak nganterin kamu?"

"Oh, itu ... ehm, kita nggak pulang bareng, kok. Aku tadi numpang pick up, tapi cuma sampai gerbang desa aja. Makanya tadi aku jalan kaki."

Jawaban Gani dengan nada terbata mau tidak mau menciptakan kerutan tipis di dahi Satria.

"Terus, Mahesa ke mana?" telusur Satria lagi.

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang